Mohon tunggu...
michaelrogerprajuga1962024
michaelrogerprajuga1962024 Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Siswa SMA 3 di sekolah PENABUR Secondary Kelapa Gading

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Meningkatnya Disinformasi dan Misinformasi: Ancaman Bagi Kebenaran dan Demokrasi

2 Desember 2024   09:03 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:03 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era Informasi dan Tantangan Baru

Di dunia yang saling terhubung saat ini, informasi mengalir lebih bebas dan cepat dibandingkan masa mana pun dalam sejarah. Dengan satu klik, siapa saja dapat mengakses berita global, saran kesehatan, atau tren sosial terbaru. Internet telah mendemokratisasi pengetahuan, menjadikannya tersedia bagi jutaan orang di tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, kemudahan akses ini membawa sisi gelap: maraknya misinformasi dan disinformasi. Fenomena ini mengancam untuk merusak kebenaran, mendistorsi realitas, dan melemahkan sistem demokrasi.


Memahami Masalah: Misinformasi vs. Disinformasi

Untuk menangani masalah ini secara efektif, penting untuk memahami perbedaan antara misinformasi dan disinformasi. Misinformasi merujuk pada informasi yang salah atau tidak akurat yang tersebar tanpa niat jahat. Contohnya, berbagi saran kesehatan yang keliru dengan maksud baik. Sebaliknya, disinformasi sengaja dirancang untuk menipu atau memanipulasi. Ini adalah informasi yang digunakan sebagai senjata, seringkali untuk keuntungan politik, keuntungan finansial, atau pengendalian sosial. Bersama-sama, keduanya membentuk kombinasi yang kuat yang merusak kepercayaan publik dan mendestabilisasi masyarakat.

Penyebaran yang Semakin Cepat

Masalah ini berkembang pesat di era digital. Sebuah studi penting oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa informasi palsu menyebar jauh lebih cepat dan luas di media sosial dibandingkan kebenaran. Studi tersebut menunjukkan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin di-retweet dibandingkan berita yang benar. Mengapa? Konten yang membangkitkan emosi, terutama cerita yang menimbulkan ketakutan, kemarahan, atau kejutan, cenderung menarik perhatian lebih banyak. Ini bukan sekadar masalah teknologi, tetapi juga psikologi. Manusia secara alami tertarik pada informasi yang mengonfirmasi bias mereka atau membangkitkan emosi yang kuat.

Platform modern seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok memperkuat kecenderungan ini. Algoritma mereka dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, sering kali memprioritaskan konten sensasional dibandingkan keakuratan faktual. Hal ini menciptakan ruang gema---sistem tertutup di mana individu hanya terpapar informasi yang memperkuat pandangan mereka, tanpa memedulikan validitasnya. Akibatnya, platform ini dapat secara tidak sengaja mempromosikan narasi palsu, menciptakan lahan subur bagi kampanye disinformasi.


Konsekuensi di Dunia Nyata

Dampak disinformasi bukanlah teori belaka; ini memiliki konsekuensi nyata yang sering kali menghancurkan. Ambil contoh pandemi COVID-19: klaim palsu tentang virus, pengobatan, dan vaksin menyebar dengan cepat secara online. Misinformasi ini menyebabkan kebingungan luas, meningkatkan keraguan terhadap vaksin, dan kematian yang sebenarnya bisa dihindari. Sebuah laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti bahwa "infodemi" misinformasi secara signifikan menghambat upaya global dalam mengendalikan pandemi.

Di ranah politik, kampanye disinformasi telah menjadi alat untuk memanipulasi opini publik dan memengaruhi pemilu. Baik aktor domestik maupun asing menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi palsu, menciptakan perpecahan, dan merusak kepercayaan pada institusi demokrasi. Pemilu presiden AS tahun 2016 dan referendum Brexit adalah contoh nyata bagaimana disinformasi dapat membentuk hasil politik dan mendestabilisasi masyarakat. Kampanye ini sering kali canggih, melibatkan upaya terkoordinasi oleh bot, akun palsu, bahkan negara tertentu.


Lebih jauh lagi, disinformasi berdampak tidak proporsional pada komunitas yang rentan dan terpinggirkan. Kelompok ini sering menjadi sasaran narasi yang dirancang untuk mengeksploitasi ketidaksetaraan sosial atau ekonomi yang sudah ada. Misalnya, selama pandemi, beberapa komunitas dibanjiri informasi palsu tentang bahaya vaksin, memperburuk kesenjangan kesehatan.

Peran Media dan Menurunnya Kepercayaan

Meningkatnya disinformasi berkaitan erat dengan menurunnya kepercayaan terhadap media tradisional. Di banyak negara, media arus utama semakin dilihat dengan skeptisisme, seringkali dipicu oleh retorika politik yang berusaha mendeligitimasi jurnalisme kredibel. Meskipun jurnalisme berkualitas mematuhi standar ketat terkait akurasi dan akuntabilitas, erosi kepercayaan ini menciptakan kekosongan. Kekosongan ini sering diisi oleh sumber yang tidak diverifikasi, teori konspirasi, dan outlet partisan yang memprioritaskan sensasionalisme daripada kebenaran.


Lanskap media itu sendiri telah berubah. Siklus berita 24 jam dan tekanan untuk menghasilkan klik terkadang membuat outlet yang terpercaya sekalipun memprioritaskan kecepatan daripada akurasi. Lingkungan ini dapat mengaburkan garis antara berita dan opini, membuat publik semakin sulit membedakan informasi yang kredibel.

Peran Perusahaan Teknologi

Perusahaan teknologi memegang tanggung jawab besar dalam perang melawan disinformasi. Platform media sosial harus bergerak melampaui langkah-langkah reaktif dan mengambil tindakan proaktif untuk memerangi informasi palsu. Ini termasuk berinvestasi dalam mekanisme pemeriksaan fakta yang canggih, memoderasi konten dengan lebih efektif, dan menyesuaikan algoritma untuk memprioritaskan keakuratan daripada keterlibatan. Beberapa platform telah membuat kemajuan dalam hal ini, tetapi perkembangannya masih belum merata. Transparansi juga penting. Bagaimana platform memutuskan konten apa yang dipromosikan atau dihapus? Kebijakan yang lebih jelas dan akuntabilitas publik sangat dibutuhkan.

Gambar ini diambil dari CREST Research
Gambar ini diambil dari CREST Research

Pentingnya Literasi Media

Namun, regulasi dan tindakan perusahaan saja tidak cukup. Pendidikan adalah kunci penting. Program literasi media harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah, mengajarkan siswa bagaimana mengevaluasi informasi secara kritis, mengidentifikasi sumber yang kredibel, dan mengenali bias. Keterampilan ini sangat penting di era digital, sebagaimana membaca dan menulis di generasi sebelumnya. Orang dewasa juga memerlukan akses ke sumber literasi media. Lokakarya komunitas, kursus online, dan kampanye kesadaran publik dapat membantu mengatasi kesenjangan ini.

Peran Pemerintah: Keseimbangan yang Sulit

Pemerintah juga memiliki peran, tetapi harus berhati-hati. Kebijakan untuk melawan disinformasi diperlukan, terutama dalam bidang seperti integritas pemilu dan kesehatan masyarakat. Namun, kebijakan tersebut harus dirancang dengan cermat agar tidak melanggar kebebasan berbicara. Pendekatan regulasi apa pun harus transparan, diawasi publik, dan berakar pada prinsip-prinsip demokrasi. Langkah yang terlalu keras berisiko menciptakan masalah baru, termasuk penyensoran dan penindasan suara-suara yang berbeda.

Tanggung Jawab Bersama


Pada akhirnya, memerangi disinformasi adalah tanggung jawab bersama. Sebagai individu, kita harus menjadi konsumen informasi yang lebih bijak. Sebelum membagikan sebuah cerita, tanyakan: Apakah ini dari sumber yang kredibel? Apakah ini diverifikasi oleh outlet terkemuka lainnya? Apakah ini hanya bermain pada bias atau emosi saya? Dengan mengadopsi pola pikir yang lebih kritis, kita masing-masing dapat berkontribusi dalam mengurangi penyebaran informasi palsu.

Kesimpulan: Pentingnya Kebenaran

Internet telah membuat dunia lebih terhubung dari sebelumnya, tetapi juga memudahkan kebohongan untuk berkembang. Di era yang kaya informasi ini, kredibilitas menjadi semakin langka. Tanpa fondasi kebenaran yang kuat, demokrasi tidak dapat berfungsi secara efektif. Kepercayaan pada institusi akan terkikis, perpecahan akan semakin dalam, dan masyarakat akan menderita.
Masa depan kita bergantung pada kemampuan kita untuk menghadapi dan mengurangi penyebaran disinformasi. Dengan mempromosikan literasi media, meminta pertanggungjawaban perusahaan teknologi, dan mendukung jurnalisme yang bertanggung jawab, kita dapat melindungi integritas informasi. Dengan cara ini, kita menjaga bukan hanya kebenaran, tetapi juga inti dari masyarakat demokratis kita.

CREST ResearchScientific American

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun