Mohon tunggu...
Michael Putra
Michael Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Airlangga

Seorang mahasiswa di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Iman Kristen di Tengah Era Post-Truth: Menyuarakan Kebenaran di Dunia Digital

9 Desember 2024   17:59 Diperbarui: 9 Desember 2024   18:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Word of The Year : Post-Truth ; Sumber : allrelease.id

Fenomena Post-Truth

Dalam era perkembangan teknologi yang pesat ini, sosial media maupun dunia digital telah menjadi bagian dari keseharian manusia, baik media informasi ataupun hiburan. Sehingga tidak heran jika dunia digital dibanjiri oleh begitu banyak informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh semua orang, akan tetapi hal tersebut juga memiliki sisi negatif karena mudahnya akses untuk menyebarkan atau mendapat sebuah informasi di dalam sosial media. Contohnya adalah fenoma post-truth, tapi apa sih fenomena post-truth itu? Jika diartikan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia post-truth berarti pasca-kebenaran.

Dilansir dari kompaspedia, dalam pemekanaannya, kedua kata tersebut menunjukkan sebuah momentum yang telah melampaui masa kebenaran yang dipenuhi tipuan dan tanpa kredibilitas. Post-truth juga menjadi istilah untuk menggambarkan situasi di mana opini pribadi, emosi, atau keyakinan subjektif lebih memengaruhi opini publik daripada fakta objektif. Istilah ini menjadi populer setelah Oxford Dictionaries menjadikannya Word of the Year pada 2016, terutama karena meningkatnya hoaks, propaganda, dan polarisasi selama kampanye politik global. Ada beberapa ciri-ciri era post-truth, antara lain : mengabaikan data dan fakta, mengaduk emosi masyarakat, memviralkan berita yang tidak jelas kebenarannya, menggabungkan gerakan populer dengan teori konspirasi (Di et al., 2022).

Post-Truth dalam Pandangan Kristen

Perjanjian lama telah memberikan beberapa contoh fenomena post-truth dengan memaparkan pola-pola kebohongan dan kepalsuan yang diperankan oleh Setan dan kroni-kroninya, sehingga kepalsuan atau kebohongan yang ada saat ini hanyalah kelanjutan dari apa yang telah terjadi dalam Perjanjian  Lama.

  • (Kejadian 3) Kejatuhan manusia akibat tipu daya Iblis
  • (Kejadian 4) Kain yang memberikan berita palsu kepada Allah
  • (2 Raja-raja 5:22) Berita palsu dari raja Gehazi
  • (Yeremia 28:1-17) Berita palsu dari Nabi Hanaya

Dituliskan juga dalam beberapa kejadian di dalam Perjanjian Baru

  • (Matius 26:59) Kesaksian palsu imam-imam dan seluruh Makamah Agama
  • (Lukas 23:2) Tuduhan rakyat Yahudi kepada Yesus
  • (Matius 28:11-15) Kesepakatan menyebarkan berita palsu terkait kebangkitan Yesus
  • (Kisah Para Rasul 5:1-11) Kebohongan Ananias dan Safira
  • (Matius 24:11, 24; Markus 13:22; 2 Korintus 11:13) Munculnya Nabi-Nabi palsu, Mesias-Mesias palsu, serta Rasul-Rasul palsu

Dari pemaparan Alkitab kita dapat mengetahui bahwa fenomena post-truth telah terjadi sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru hingga pada masa sekarang (Di et al., 2022).

Menyuarakan Kebenaran di Dunia Digital di Era Post-Truth

Era post-truth menandai perubahan besar dalam cara manusia mempersepsi dan memproses informasi. Di dunia yang didominasi oleh berita palsu (hoaks), emosi sering kali lebih memengaruhi opini publik dibandingkan fakta objektif. Hal ini menciptakan tantangan signifikan bagi orang Kristen untuk tetap menyuarakan kebenaran Injil di tengah arus informasi yang sering kali menyesatkan. Gereja, sebagai saksi kebenaran Allah, dipanggil untuk mengambil peran aktif dalam melawan disinformasi dan menjaga integritas pesan Injil (Di et al., 2022; Tuminah et al., 2024).

Pendidikan nilai teologi menjadi salah satu solusi penting dalam menghadapi tantangan era post-truth. Dengan membangun fondasi pemahaman yang kokoh tentang kebenaran Alkitab, gereja dapat mempersiapkan umat untuk mengembangkan sikap kritis terhadap narasi yang beredar di media. Hal ini tidak hanya membantu umat memahami perbedaan antara fakta dan opini, tetapi juga mendorong mereka untuk memanfaatkan media digital secara bijaksana. Promosi dialog lintas iman, misalnya, dapat menjadi sarana untuk membangun hubungan yang toleran dan damai di tengah perbedaan, sekaligus menyuarakan nilai-nilai Injil (Jurnal et al., n.d.)

Teknologi digital juga memberikan peluang baru bagi pelayanan gereja. Platform daring memungkinkan pelaksanaan pemuridan dan konseling yang lebih fleksibel dan inklusif. Gereja dapat memanfaatkan media sosial, podcast, atau blog untuk menyebarkan pesan Injil secara kreatif dan relevan. Di sisi lain, teknologi ini juga dapat digunakan untuk melawan hoaks dengan menyampaikan informasi yang diverifikasi dan berbasis nilai kebenaran Injil (Di et al., 2022; Jurnal et al., n.d.)

Sebagai bagian dari tubuh Kristus, umat Kristen memiliki tanggung jawab untuk menjadi suara kebenaran di dunia yang kacau ini. Dengan menggunakan teknologi secara strategis dan menjunjung tinggi integritas dalam menyuarakan Injil, gereja dapat menjadi terang dan garam di era post-truth (Di et al., 2022; Tuminah et al., 2024)

Sikap Orang Kristen dalam Fenomena Post-Truth

Kita sebagai pengikut Kristus di dalam era fenomena post-truth ini, tentunya harus menjadi contoh bagaimana menghadapi banyaknya berita-berita palsu di era post-truth. Alkitab telah menyatakan kepada kita bahwa hendaknya kita menjadi garam dan terang bagi dunia (Matius 5:13-16). Tapi bagaimana contoh sikap kita sebagai pengikut Kristus dalam menghadapi fenomena ini?

  • Berpegang pada Kebenaran Firman Tuhan

"Firman-Mu adalah kebenaran." (Yohanes 17:17)

Standar tertinggi dari kebenaran bagi orang Kristen adalah kebenaran Firman Tuhan.

  • Menolak Dusta dan Menyampaikan Kebenaran dengan Jujur

"Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." (Efesus 4:25)

Orang Kristen dengan menolak segala bentuk dusta dan kebohongan.

  • Bersikap Bijak dalam Menggunakan Waktu dan Media Digital

"Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16)

Dalam konteks digital, orang Kristen harus menggunakan teknologi dengan bijaksana, termasuk berhati-hati terhadap algoritma media sosial yang menciptakan echo chambers.

  • Menyuarakan Kebenaran dengan Kasih

"Tetapi katakanlah kebenaran itu dalam kasih dan bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala." (Efesus 4:15)

Orang Kristen tidak hanya dipanggil untuk menyuarakan kebenaran, tetapi juga melakukannya dengan sikap yang lembut, penuh kasih, dan menghormati orang lain, termasuk mereka yang berbeda pendapat.

  • Mengasihi Sesama dengan Tindakan Nyata

"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39)

Orang Kristen dipanggil untuk mengasihi sesama, bahkan di tengah disinformasi dan polarisasi.

  • Memberi Teladan dalam Hidup yang Integritas

"Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." (Matius 5:16)

Dalam dunia yang penuh disinformasi, hidup dengan integritas adalah cara terbaik untuk menyaksikan kebenaran Injil. Orang Kristen harus memiliki intergritas dalam kejujuran dan juga kasih kepada sesama.

  • Berdoa untuk Hikmat

"Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah,  yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit , maka hal itu akan diberikan kepadanya." (Yakobus 1:5)

Di tengah banjir informasi, orang Kristen membutuhkan hikmat dari Allah untuk memilah mana yang benar dan salah.

SUMBER :

https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/

https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/memahami-era-pascakebenaran-post-truth

Di, G., Pusaran, T., Truth, E. P., Abner, A., Mbuilima, M., & Pasaribu, F. (2022). SCRIPTA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kontekstual. 13(1), 75--89.

Jurnal, H., Manaransyah, S., Tinggi, S., & Bengkulu, T. A. (n.d.). Jurnal Teologi Injili Berteologi di Era Post Truth dan Disrupsi: Tantangan Vs Peluang.

Tuminah, S., Budiyana, H., & Sukarno, M. B. (2024). Rekontekstualisasi Pendidikan Nilai Teologi di Era Post-Truth Berdasarkan Roma 1:18-32. Jurnal Teologi Berita Hidup, 7(1), 87--111. https://doi.org/10.38189/jtbh.v7i1.831

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun