Semenjak kehadiran BitCoin sekitar 1 dekade lalu, tema tentang desentralisasi sistem semakin marak dibahas karena banyak pihak yang kecewa (terutama di dunia finansial) terhadap sistem sentralisasi. Salah satu contohnya adalah kekecewaan berbagai kalangan terhadap bank konvensional karena transparansi sistem sentralisasi yang terbatas dan memiliki celah keamanan besar.
Pada tahun 2018 pun, United Nations Development Programme mempublikasikan sebuah buku berjudul the Future is Decentralized yang berisi tentang penjelasan sederhana yang cukup akurat tentang sistem desentralisasi dan blockchain; dan mengapa sistem ini bisa disebut sistem masa depan.
Jika kita amati baik-baik, sistem desentralisasi ini sudah secara masif terjadi dengan manusia yang seringkali tidak mengandalkan media arus utama untuk mendapatkan informasi tentang suatu fenomena. Siapapun bisa menyebarkan informasi sekarang. Pertanyaannya, seberapa akurat informasi itu?
Dalam jangkauan detik, kita bisa menerima informasi tentang invasi Rusia terhadap Ukraina yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Bukan hanya dari media arus utama, tetapi juga teman-teman kita yang ada di Ukraina. Informasi yang kita terima pun berasal dari reduksi realitas yang terjadi melalui pengamatan yang terjadi.
Namun, ketika informasi ini bisa jadi tidak akurat, bisa juga informasi ini akurat, karena meskipun bukan datang dari media arus utama, informasi ini bisa datang dari jurnalis-jurnalis yang kebetulan teman kita, individu-individu independen yang mengabdikan diri untuk menyampaikan informasi akurat yang telah dikurasi, atau mungkin akun-akun media sosial yang memang berfokus untuk menjadi sumber informasi terpercaya.
Artinya, era desentralisasi meluluhlantahkan ketergantungan masyarakat terhadap media arus utama atau pemerintah untuk mendapatkan informasi. Tidak ada lagi monopoli audiens.
Lalu, apa dampaknya terhadap sistem pendidikan Indonesia?
Butuh Guru Berkualitas
Meski secara progresif bergerak, sistem pendidikan di Indonesia masih berfokus pada hafalan yang berfokus pada ingatan. Padahal, informasi-informasi seperti tanggal, nama-nama, fenomena yang terjadi di dunia, secara terus menerus diperbaharui keakuratannya, apalagi mengingat mata pelajaran di bidang sosial yang sangat multidimensional dan selalu berkembang dari ke tahun, yang berarti mengandalkan satu buku pelajaran kini sudah tidak relevan, apalagi menghafalkan isi dari satu buku pelajaran.
Lebih-lebih lagi, sistem pembelajaran dan penilaian yang mempolarisasikan benar dan salah semakin tidak relevan mengingat makna benar dan salah sesungguhnya lebih merupakan label yang diberikan untuk sesuatu yang lebih bisa ditolerir dan mana yang tidak, sehingga seringkali label benar" dan salah" tidak terletak di polar yang berbeda, tetapi seringkali terletak pada daerah abu-abu.
Jika kita berfokus untuk membentuk pribadi yang melihat dunia dengan hitam dan putih, kita mereduksi kemampuan anak didik kita untuk berpikir kritis dan menimbang-nimbang secara mendalam kedua opsi yang ada. Tentu kita tidak ingin anak-anak kita hanya bisa melihat dunia dengan dua warna yang kontras bukan?
Seharusnya, kita sudah mulai menerapkan lebih masif lagi sistem pembelajaran berbasis riset yang menciptakan ruang bagi anak didik untuk mengeksplorasi lebih dalam tema-tema pembelajaran yang dibawakan, mau itu Fisika, Biologi, Sosiologi, Ekonomi, PKn, dan berbagai mata pelajaran lainnya.
Saya rasa tidak ada gunanya juga untuk melarang manusia untuk bereksplorasi karena cepat atau lambat, dengan adanya sistem informasi yang terdesentralisasi sekarang, informasi itu juga akan cepat atau lambat sampai ke tangan masing-masing individu.
Justru, peran institusi pendidikan dan fasilitator sekarang seharusnya semakin berfokus pada membimbing anak didik untuk memilah informasi-informasi yang ada di internet. Pemerintah harus semakin fokus dalam mendukung berkembangnya kualitas guru yang ada di Indonesia. Bahkan, menurut Nunuk Suryani, Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), di tahun 2021, Indonesia kekurangan 1 juta guru di sekolah negri. Itu pun hanya melihat kuantitas guru yang ada, belum mempertimbangkan kualitas guru yang ada.
Di era desentralisasi, informasi tentang rumus, soal-soal yang rumit, dan penjelasan tentang materi yang cukup kompleks dapat dengan mudah didapat di berbagai situs-situs edukasi di internet, dan lama-kelamaan, sekolah bisa dianggap formalitas saja supaya bisa mendapatkan gelar.
Lulus sekolah bukan menjadi pribadi yang terdidik tetapi hanya menjadi individu yang memiliki ijazah, tidak memiliki aspek lain seperti bersosialisasi, sopan santun, keuletan dalam berpikir kritis, dan berfungsi sebagai individu di dalam sebuah sistem kemasyarakatan.
Hilangnya Urgensi Bersekolah
Ketika makna pendidikan direduksi menjadi proses menerima informasi, sekolah menjadi sarana formalitas belaka. Sekolah tidak lagi dilihat sebagai institusi pendidikan yang memanusiakan manusia muda, tetapi oleh masyarakat dilihat sebagai sarana untuk mendapatkan sertifikasi legal, membuktikan bahwa manusia ini" telah mendapatkan nilai yang ditetapkan oleh standar sekolah, maka dari itu bisa dianggap lulus.
Bersekolah tidak lagi perihal menjadi terdidik" melainkan datang dan memperoleh dokumen legal". Jika kita tidak mempercepat proses perubahan sistem evaluasi manusia muda sehingga terfokus pada membimbing dan meluluskan manusia muda untuk menjadi kritis dalam berpikir dan bertindak, cita-cita seperti generasi muda Indonesia yang mampu bersaing di kancah internasional" akan menjadi angan-angan belaka.
Eksistensi sekolah menjadi tidak relevan lagi jika kita tidak hati-hati dalam menanamkan definisi menjadi terdidik dan pergi ke sekolah di era ini. Salah satu pemegang kepentingan dalam sistem pendidikan yang mampu menangkal pandangan irrelevansi eksistensi sekolah adalah guru; mereka yang menghabiskan kurang lebih delapan sampai sembilan jam bersama murid-muridnya setiap hari.
Maka dari itu, pemerintah, terutama Kemendikbud Ristek, seharusnya lebih berinvestasi pada menciptakan guru-guru yang justru semakin menekankan relevansi pendidikan di era desentralisasi ini. Informasi bisa didapatkan dari manapun, tetapi pendidikan karakter dari guru dan instansi pendidikan tidak akan pernah hilang.
Bersekolah bukan berarti mempersiapkan manusia muda untuk bekerja. Sekolah berarti mempersiapkan manusia muda untuk menghadapi kondisi lapangan dengan kritis. Jika kita dididik untuk siap bekerja, lantas, bagaimana kalau kondisi sedang tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia?
Selama bersekolah (SD-SMA) manusia menerima berbagai macam input dari keluarga, guru, teman dsb, untuk membentuk karakter dan pola pikir mereka atau yang disebut Bourdieu sebagai proses interiorisasi eksterior (Bourdieu, 1987); dengan kata lain pembentukan pondasi utama dari manusia muda tersebut.
Jika sekolah dengan adanya desentralisasi informasi dianggap tidak relevan lagi dan hanya dilihat sebagai sarana memperoleh sertifikasi, sudah pasti kita akan gagal menciptakan manusia dewasa. Bisa jadi, mereka tetap bisa bekerja, tetapi apakah tujuan pendidikan hanya sekadar untuk menjadi robot pekerja atau, melalui proses pendidikan, kita mau generasi baru tidak hanya mampu mengaplikasikan pengetahuannya, tetapi juga mampu menjadi manusia yang humanis. Kita butuh manusia yang pintar beradaptasi, bukan robot yang diberi sertifikasi yang tidak bisa dibedakan dari robot-robot pekerja yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H