Mohon tunggu...
Michael Nugraha Budiarto
Michael Nugraha Budiarto Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Director of ASEAN Youth Organization | Founder eDUHkasi | Passionate Leader

Tertarik untuk berdiskusi, memperbincangkan topik yang pernah atau sedang menjadi polemik. Memiliki blog pribadi di www.huangsperspective.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan di Hadapan Desentralisasi

30 Januari 2024   12:55 Diperbarui: 30 Januari 2024   13:33 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya rasa tidak ada gunanya juga untuk melarang manusia untuk bereksplorasi karena cepat atau lambat, dengan adanya sistem informasi yang terdesentralisasi sekarang, informasi itu juga akan cepat atau lambat sampai ke tangan masing-masing individu.

Justru, peran institusi pendidikan dan fasilitator sekarang seharusnya semakin berfokus pada membimbing anak didik untuk memilah informasi-informasi yang ada di internet. Pemerintah harus semakin fokus dalam mendukung berkembangnya kualitas guru yang ada di Indonesia. Bahkan, menurut Nunuk Suryani, Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), di tahun 2021, Indonesia kekurangan 1 juta guru di sekolah negri. Itu pun hanya melihat kuantitas guru yang ada, belum mempertimbangkan kualitas guru yang ada.

Di era desentralisasi, informasi tentang rumus, soal-soal yang rumit, dan penjelasan tentang materi yang cukup kompleks dapat dengan mudah didapat di berbagai situs-situs edukasi di internet, dan lama-kelamaan, sekolah bisa dianggap formalitas saja supaya bisa mendapatkan gelar.

Lulus sekolah bukan menjadi pribadi yang terdidik tetapi hanya menjadi individu yang memiliki ijazah, tidak memiliki aspek lain seperti bersosialisasi, sopan santun, keuletan dalam berpikir kritis, dan berfungsi sebagai individu di dalam sebuah sistem kemasyarakatan.

Hilangnya Urgensi Bersekolah

Ketika makna pendidikan direduksi menjadi proses menerima informasi, sekolah menjadi sarana formalitas belaka. Sekolah tidak lagi dilihat sebagai institusi pendidikan yang memanusiakan manusia muda, tetapi oleh masyarakat dilihat sebagai sarana untuk mendapatkan sertifikasi legal, membuktikan bahwa manusia ini" telah mendapatkan nilai yang ditetapkan oleh standar sekolah, maka dari itu bisa dianggap lulus.

Bersekolah tidak lagi perihal menjadi terdidik" melainkan datang dan memperoleh dokumen legal". Jika kita tidak mempercepat proses perubahan sistem evaluasi manusia muda sehingga terfokus pada membimbing dan meluluskan manusia muda untuk menjadi kritis dalam berpikir dan bertindak, cita-cita seperti generasi muda Indonesia yang mampu bersaing di kancah internasional" akan menjadi angan-angan belaka.

Eksistensi sekolah menjadi tidak relevan lagi jika kita tidak hati-hati dalam menanamkan definisi menjadi terdidik dan pergi ke sekolah di era ini. Salah satu pemegang kepentingan dalam sistem pendidikan yang mampu menangkal pandangan irrelevansi eksistensi sekolah adalah guru; mereka yang menghabiskan kurang lebih delapan sampai sembilan jam bersama murid-muridnya setiap hari.

Maka dari itu, pemerintah, terutama Kemendikbud Ristek, seharusnya lebih berinvestasi pada menciptakan guru-guru yang justru semakin menekankan relevansi pendidikan di era desentralisasi ini. Informasi bisa didapatkan dari manapun, tetapi pendidikan karakter dari guru dan instansi pendidikan tidak akan pernah hilang.

Bersekolah bukan berarti mempersiapkan manusia muda untuk bekerja. Sekolah berarti mempersiapkan manusia muda untuk menghadapi kondisi lapangan dengan kritis. Jika kita dididik untuk siap bekerja, lantas, bagaimana kalau kondisi sedang tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia?

Selama bersekolah (SD-SMA) manusia menerima berbagai macam input dari keluarga, guru, teman dsb, untuk membentuk karakter dan pola pikir mereka atau yang disebut Bourdieu sebagai proses interiorisasi eksterior (Bourdieu, 1987); dengan kata lain pembentukan pondasi utama dari manusia muda tersebut.

Jika sekolah dengan adanya desentralisasi informasi dianggap tidak relevan lagi dan hanya dilihat sebagai sarana memperoleh sertifikasi, sudah pasti kita akan gagal menciptakan manusia dewasa. Bisa jadi, mereka tetap bisa bekerja, tetapi apakah tujuan pendidikan hanya sekadar untuk menjadi robot pekerja atau, melalui proses pendidikan, kita mau generasi baru tidak hanya mampu mengaplikasikan pengetahuannya, tetapi juga mampu menjadi manusia yang humanis. Kita butuh manusia yang pintar beradaptasi, bukan robot yang diberi sertifikasi yang tidak bisa dibedakan dari robot-robot pekerja yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun