Mohon tunggu...
Michael Nugraha Budiarto
Michael Nugraha Budiarto Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Director of ASEAN Youth Organization | Founder eDUHkasi | Passionate Leader

Tertarik untuk berdiskusi, memperbincangkan topik yang pernah atau sedang menjadi polemik. Memiliki blog pribadi di www.huangsperspective.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebenaran Agama dan Memahami Tuhan: Seri Kontemplasi

14 Juli 2020   01:14 Diperbarui: 14 Juli 2020   01:14 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa waktu lalu saya mulai membaca buku History of God yang dituliskan oleh Karen Armstrong. Dalam pendahuluan, beliau menuliskan bagaimana saat kecil ia akan mengikuti kata orang tuanya untuk ke gereja dan beribadah dengan taat. Saat waktu mulai berlalu ia semakin mempertanyakan untuk apa ke gereja dan beribadah? 

Pertanyaan yang kurang lebih sama muncul dalam benak saya sekitar 5 tahun yang lalu. Kenapa aku beragama? Kenapa ada agama? Kenapa harus ada Tuhan? Tuhan itu siapa? Apa arti beragama? Kenapa manusia mempercayai agama? Dan lain sebagainya.

Setelah pikiran saya membombardir dirinya sendiri dengan pertanyaan yang notabene tabu untuk dipertanyakan di lingkungan sosial kita, saya menguburkan pertanyaan itu dalam-dalam sampai saya bisa mendiskusikan hal tersebut dengan orang yang (mungkin) bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Seiring waktu saya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui literasi, diskusi, dan beberapa kali asumsi. Setiap sebagian kecil dari satu pertanyaan terjawab, semakin berkembang pula pertanyaan itu karena kompleksitas dari tema Tuhan dan agama ini. 

Agama dan Tuhan mencakup berbagai hal dimulai dari teologi, filsafat, sejarah, antropologi, sosiologi, budaya, dan masih banyak lagi. Namun, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas setidaknya Abrahamic Religions dalam konteks filsafat, teologi, dan sejarah.

Dalam mencari jawaban-jawaban, saya sekali dua kali menemukan bahwa ada beberapa similaritas yang ada pada agama Islam, Katolik/Kristen, dan Yahudi tanpa menyadari bahwa mereka memiliki akar yang sama, Nabi Abraham (Muslim di Indonesia menyebutnya Ibrahim) dengan tentunya versi cerita yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Yang kemudian menjadikan pertanyaan saya lebih menarik adalah: Mengapa bisa ada agama yang berbeda dari satu sumber yang sama? Dan mengapa agama itu kemudian bercabang-cabang lagi? (Aliran-aliran yang berbeda)

AGAMA SIAPA YANG PALING BENAR?

Sampai detik ini pertanyaan tersebut hanya terjawab oleh saya pada taraf asumsi, yaitu kebebasan manusia menginterpretasikan sejarah dan kebebasan manusia untuk percaya menjadikan hal tersebut mungkin. 

Namun, yang menggelikan bagi saya adalah sebagian orang berlomba-lomba membenarkan agamanya sendiri tanpa tahu apa yang harus dibenarkan dan bagaimana membenarkannya. Agama sendiri merupakan kepercayaan, hapuskan kepercayaan Anda dan seluruh orang yang percaya terhadap agama/kepercayaan tersebut, maka agama tersebut akan hilang. Mengacu pada salah satu buku Yuval Noah Harari yang berjudul Homo Deus, agama hanya sekadar realitas intersubjektif yang hadir hanya karena kepercayaan kolektif. 

Lantas, agama siapa yang benar? Apakah agama saya? agama Anda? agama mereka? Jika bertanya seperti itu... perlu lagi kita bertanya, apa itu kebenaran? Dalam parameter apa kita bisa menyebut agama itu benar? Apakah bila kita bisa masuk surga dengan agama tertentu? Bila seperti itu, bukankah surga dan neraka, setan dan malaikat, dan bahkan agama sendiri, merupakan konsepsi manusia? 

Apakah agama sendiri lebih penting dari sisi humanitas dan moralitas yang dimiliki manusia sehingga, sesama manusia harus terpisahkan karena memercayai agama lain? Bukankah salah satu fungsi agama adalah kompas moral? Menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk? Atau kompas tersebut hanya berlaku untuk sesama komunitas, maka berperilaku buruk terhadap yang tidak seagama pun tidak masalah?

Jika mengacu kepada kitab-kitab suci yang dimiliki tiap agama, bagaimana pula kita bisa menjustifikasi setidaknya kepastian dari terjemahan dari kitab tersebut, mengingat bahwa kitab-kitab yang kita pegang sekarang merupakan hasil dari interpretasi penerjemah zaman dahulu yang pastinya tidak luput dari kesalahan?

Agaknya terlalu berani untuk berkata bahwa salah satu agama saja yang paling benar karena kita sendiri tidak tahu kepastiannya, ditambah dengan fakta bahwa praktik agama dan teksnya pertama kali muncul ribuan tahun yang lalu. 

Pernah pada suatu titik saya bertanya kepada diri saya sendiri, buat apa beragama kalau yang beragamapun masih berperilaku kejam terhadap orang yang tidak seiman? Mungkin pertanyaan ini lebih menohok ketika melihat sikap intoleran yang ada di negara saya sendiri, tapi apalah daya saya? 

Mungkin lebih baik saya berhenti di sini dulu dalam pembahasan tentang agama agar tidak berlarut-larut dan agar bisa melanjutkan ke bagian yang selanjutnya.

TRINITAS DAN USAHA MANUSIA MEMAHAMI TUHAN

Seperti yang telah saya tuliskan, Islam, Yahudi, dan Kristen memiliki akar yang sama yaitu Nabi Abraham. Islam berkembang pertama kali di daerah Mekah, Yahudi dan Kristen di daerah Israel (Yerusalem/Palestina). Sebelum kehadiran YHWH, Kristus, atau, al-Lah, masing-masing daerah tersebut mempercayai dewa-dewa seperti Tiamat, Marduk, al-Lat, al-Uzzat, dan dewa lainnya.

Dalam tulisan ini saya tidak akan menuliskan bagaimana mereka akhirnya memuja YHWH, Kristus, atau al-Lah(Nabi Muhammad sendiri percaya bahwa Tuhan umatnya adalah Tuhan yang identik yang dipuja oleh agama Kristen dan Yahudi). Namun, saya akan lebih membahas tentang bagaimana para filsuf dan teolog yang menganut tiap agama ini mempertanyakan Tuhan, dan bagaimana aktivitas mempertanyakan Tuhan ini kemudian melahirkan berbagai aliran baru yang bernaung di bawah agama-agama tersebut.

Pada 20 Mei 325, Kaisar Konstantin mengadakan sidang yang dihadiri oleh para Uskup untuk menyelesaikan perdebatan pandangan antara Athanasius dan Arius tentang ex nihilo[1], yang berarti "dari ketiadaan" dalam bahasa Indonesia. Athanasius sendiri berpandangan bahwa ex nihilo benar adanya dan mengacu pada Kitab Kejadian dan maka dari itu percaya bahwa Yesus memang benar merupakan utusan-Nya dan setara dengan-Nya, sedangkan Arius, tanpa berintensi untuk menghina Yesus, percaya bahwa seharusnya ada perbedaan yang esensial dari Tuhan dan ciptaan-Nya, di mana Tuhan merupakan entitas yang secara mutlak ilahi, sedangkan Yesus merupakan manusia yang "diangkat" ke tahta suci.

Pertemuan itu diakhiri dengan Kredo Nicene dengan keputusan bahwa Yesus memiliki keilahian yang sama dengan Tuhan. 

Dengan terjemahan sebagai berikut:

We believe in one God, 

the Father Almighty, 

maker of things, visible and invisible, 

and in one Lord, Jesus Christ,

the Son of God,

the only-begotten of the Father,

that is, of the substance(ousia) of the Father,

God from God,

light from light,

true God from true God,

begotten not made,

of one substance (homoousion) with the Father,

through whom all things were made,

those things that are in heaven and 

those things that are on earth,

who for us men and for our salvation 

came down and was made man,

suffered,

rose again on the third day,

ascended into the heavens, 

and will come to judge the living and the dead.

And we believe in the Holy Spirit.

Meskipun Konsili Nicea I muncul dengan keputusan tersebut, penolakan oleh Aria tetap lanjut, hingga akhirnya 3 teolog dari Kapadokia memberikan jawaban yang membawakan konsep Trinitas ke dunia modern ini. Mereka beranggapan bahwa Tuhan sebagai entitas merupakan sesuatu yang esensinya (ousia) tidak ada duanya dan tidak bisa disamakan dengan apa yang dimiliki oleh Bapa, Putra, Roh Kudus(Roh Kudus di bagian akhir dari Kredo Nikene menimbulkan pertentangan sendiri, tetapi tidak akan saya bahas di sini). Dan Trinitas merupakan wujud(hypostasis) yang tidak sama "nilai"nya dengan esensinya.

Beberapa orang seperti St. Jerome beranggapan bahwa ousia dari Tuhan sama dengan hyposthase yang merepresentasikan ousia-nya. Namun, dilihat secara arti kata, ousia merepresentasikan sesuatu yang murni, sesuatu yang mendefinisikan dirinya sendiri seperti kalimat YHWH saat menyatakan eksistensinya. Sedangkan hypostasis mendeskripsikan suatu objek bukan dari maknanya, tapi sesederhana sebuah objek, sehingga tidak bisa disamakan dengan Tuhan sebagai entitas yang membuktikan esensinya diri sendiri. Gregory dari Nyssa, salah seorang dari ketiga Teolog dari Kapadokia berkata:

the divine nature(ousia) is unnameable and unspeakable"; "Father," "Son" and "Spirit" are only "terms that we use" to speak of the energeiai by which he has made himself known"

Gregory of Nyssa, Not Three Gods

Salah satu sejarah teologi yang menurut saya sangat menarik karena kehati-hatian mereka terhadap kemuliaan dari esensi dari Tuhan sebagai entitas yang membuktikan dirinya sendiri, seperti sebuah konsep dari Aristoteles tentang the Unmoved Mover atau the Prime Mover.

Perdebatan tentang konsep Tuhan kemudian dilanjutkan oleh salah satunya Faylasufs dengan konsep Falsafahnya(Faylasufs terbentuk ketika ilmu filsafat mulai memasuki dan dikenal oleh cendekiawan Arab), Mutazili, kemudian dengan tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, Ibn Rushd, Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. 

Para Mutazili begitu pula Faylasufs yang berusaha memahami Tuhan dari sisi logika dan nalar dianggap terlalu "memanusiakan" Tuhan sehingga menurut pandangan saya sendiri bisa dikatakan "melucuti" Tuhan sehingga mereka ditentang oleh para tradisionalis yang percaya bahwa Tuhan tidak bisa dan tidak mungkin bisa dipahami oleh sekadar manusia. 

Berbagai cara dilakukan oleh berbagai teolog dan filsuf untuk memahami Tuhan, berbagai konklusi pula muncul. Namun, satu hal yang pasti, adalah kita manusia terlalu kecil dan terlalu fana untuk memahami bahkan sebagian kecil dari esensi Tuhan. Untuk berkata bahwa kita dapat memahami Tuhan adalah sebuah "penghinaan" ciptaan terhadap penciptanya.

Tuhan hadir tanpa perlu pengakuan dari kita manusia, realitasnya objektif. Apa yang kita bisa pahami dari Tuhan adalah kita tidak bisa memahami Tuhan, karena apabila kita bisa memahami Tuhan sampai ke taraf esensi dari eksistensi Tuhan itu sendiri, bisakah ia disebut Tuhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun