K13 juga membimbing anak dalam masalah mengembangkan Interpersonal dan Intrapersonal dengan memberi kesempatan anak untuk berkreasi, membangun relasi, komunikasi dan mengimplementasikan hal yang diajarkan. K13 terlihat seperti kurikulum yang sempurna bukan? Tapi kenapa bisa K13 tidak berjalan sebaik yang sudah direncanakan?
Masalah pendidikan Indonesia saat ini adalah siswa yang diajarkan secara tidak langsung berfokus pada bagaimana siswa dapat mencapai nilai tertinggi dalam suatu ujian. Siswa mendapat tekanan tersirat dari berbagai belah pihak mulai dari keluarga, sekolah, teman dan terutama masyarakat untuk mendapatkan nilai yang baik di berbagai ujian agar dapat diterima di lembaga pendidikan yang lebih baik di jenjang berikutnya. Ini menjadi racun bagi pikiran masyarakat karena hidup tidaklah sekedar mendapatkan nilai 100 di atas kertas.Â
Kurikulum Indonesia yang ada saat ini membimbing siswa agar bersaing, bagaimanapun caranya bisa mendapatkan nilai yang maksimal. Kenapa harus maksimal? Agar mereka bisa diterima di Universitas ternama di kemudian hari.
Banyak anggapan bahwa ketika seseorang diterima di Universitas atau sekolah ternama, masa depannya dapat dijamin. Semua bermuara pada sekolah bagus= masa depan baik. Sebagian besar orang berpikiran hanya sampai pada bagaimana mereka mampu diterima di universitas yang baik, bukan bagaimana mereka akan menghadapi dunia kerja. Masyarakat beranggapan bahwa bila seseorang bersekolah sebaik mungkin, pekerjaan akan menunggu. Masalahnya, sekarang tidak lagi seperti itu, ditambah dengan automasi yang semakin marak berkembang.
Sarana yang Kurang
K13 yang digadang-gadang mampu mempersiapkan generasi muda Indonesia pun masih belum begitu efektif dalam membentuk generasi yang kritis karena kurangnya berbagai aspek. Masih begitu banyak kekurangan di berbagai aspek K13 terutama eksekusinya. Perubahan pola pikir sangatlah diperlukan karena kita berganti kurikulum, dari KTSP yang memberi kewenangan kepada sekolah-sekolah untuk mengembangkan kurikulum 2006 sendiri, menjadi K13 yang mengharuskan sekolah-sekolah mengajarkan menyambungkan materi satu sama lain, mengajarkan tiap-tiap siswa untuk berpikir kreatif dsb.
Dalam mengembangkan pola pikir yang kreatif dan kritis, juga membentuk karakter generasi muda tentu memerlukan sarana-prasarana yang baik. Mulai dari guru yang memahami betul apa itu K13, bagaimana mereka dapat membimbing anak-anak berpikir kritis, sampai sarana seperti teknologi yang memadai.
Saat ini, sebagian guru masih beranggapan bahwa cara mendidik siswa agar memiliki pola pikir yang kreatif dan kritis adalah dengan cara memberi kesempatan siswa untuk presentasi dan berdiskusi yang ujung-ujungnya membuat guru sendiri bingung. Berdasarkan survey yang dilakukan kompas pada tahun 2013, masih ada 71,8% guru yang bersertifikasi yang tidak paham isi K13, 24,1% guru yang tahu garis besar dan 3,1% guru yang sangat tahu, sedangkan ada 58,3% guru yang tidak bersertifikasi yang tidak paham isi K13, 38,1% guru yang tahu secara garis besar dan 3,6% guru yang sangat paham isi K13.
Di sisi lain, sarana yang dimiliki juga sangatlah kurang. Contohnya di Jerman, kelas-kelas di Jerman memiliki Smart-Board yang digunakan untuk membuat kegiatan beajar mengajar lebih interaktif. Guru-guru di Jerman mampu menghidupkan suasana pembelajaran sehingga siswa mau secara aktif bertanya. Di sana, tidak sedikit orang yang ingin menjadi guru karena sadar betapa pentingnya mentransfer ilmu dan lagi, mereka digaji cukup banyak untuk menjadi guru, berbeda dengan Indonesia. Orang tentu cenderung ingin mendapatkan penghidupan yang layak dari profesi mereka, sayangnya guru-guru di Indonesia belum mendapatkannya, jadi peminatnya pun kurang.
Terlalu Banyak Beban