"Sebanyak 10 persen masyarakat Indonesia yang umurnya di bawah 10 tahun gemar membaca dan 90 persen penduduk Indonesia lebih gemar menonton televisi daripada membaca" --Kepala Kantor Perpustakaan Nasional, Sri Sularsih
Melihat dari kutipan Kepala Kantor Perpustakaan Nasional di atas membuktikan bahwa Indonesia saat ini krisis minat baca. Orang lebih menyukai visualisasi ketimbang membaca dan membayangkan kalimat-kalimat yang tertulis di dalam buku. Indonesia saat ini berada pada tingkat 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit per hari. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Melihat kondisi ini, dapat disepakati bahwa ketertinggalan Indonesia disebabkan oleh kemalasan membaca untuk memperoleh ilmu baru.
Kurang Arahan
Masyarakat cenderung tidak tahu bagaimana cara memulai budaya membaca. Anak-anak seringkali masih bingung dalam menentukan judul buku dan tema buku yang mau dibaca. Bila anak dibebaskan untuk memilih yang terjadi adalah buku yang diambil bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dibaca anak seumurannya atau anak sama sekali tidak memilih buku apapun untuk dibaca. Di sini peran orang tua sangatlah penting untuk membimbing dan menanamkan budaya literasi.
Saat kecil, anak-anak akan cenderung diberikan buku-buku bergambar, buku cerita bergambar untuk mengembangkan cara anak berimajinasi. Ketika buku-buku bergambar yang disuguhkan memiliki kualitas yang baik, tentu daya imajinasi anak akan berkembang pula. Orang tua memiliki peran penting pula bagi anak-anak. Kenapa? Orang tua-lah yang bertanggung jawab dalam memilah mana buku gambar yang memiliki ilustrasi yang baik mana yang ilustrasi ceritanya kurang cocok untuk buah hati mereka.
Masalahnya, orang tua saat ini "money oriented". Kenapa begitu? Orang tua cenderung berpikir bahwa mereka harus bekerja dengan maksimal untuk menghasilkan uang agar anak-anak mendapatkan fasilitas yang terbaik. Sayangnya, anak-anak tidak bisa diberi fasilitas secara cuma-cuma, perlu adanya arahan dan bimbingan. Ketika disodori dengan masalah seperti ini, orang tua cenderung memberi solusi dengan mempekerjakan pengasuh. Masalah akan timbul lagi ketika anak-anak ini hanya diasuh oleh para pengasuh. Para pengasuh akan mengasuh sesuai dengan dasar pendidikan yang ia miliki.
Para pengasuh tentu tidak akan menanamkan maupun membimbing anak dalam hal literasi. Kenapa?
Pertama, sebagian besar orang yang berprofesi sebagai pengasuh tidak pernah berpikir bahwa ia akan bekerja sebagai pengasuh. Profesi pengasuh di sini dipilih karena tuntutan hidup, jadi pengasuh pun tidak sampai berpikiran untuk menanamkan budaya membaca
Kedua, pengasuh tidak digaji secara cukup untuk peduli. Profesi mereka adalah mengasuh dengan gaji yang minimalis, bukan memberikan pendidikan mendalam tentang bagaimana budaya membaca sangatlah penting apalagi untuk membimbing anak, mana konten yang baik dan mana yang buruk dalam suatu bacaan.
Dalam hal mendidik anak, tentu orang tualah yang tau konten mana yang cocok untuk buah hatinya sendiri, orang tua sendiri yang dapat mengarahkan ke arah mana minat baca anak-anak ini. Namun yang terjadi sekarang, seperti yang sudah saya tuliskan, orang tua ingin memberi fasilitas yang terbaik untuk anaknya dengan cara bekerja mati-matian, melupakan bahwa anak juga memerlukan bimbingan mereka.
Buntu dalam Hidup