Masih teringat jaman saya SMP, guru sejarah saya bicara tentang 3 kata yang kedengeran kayak mantra Harry Potter. "Bhinneka Tunggal Ika". Ditulis dengan bahasa Jawa Kuno yang artinya "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Semenjak dulu saya tertarik sama topik persatuan, mungkin karena background saya dari kalangan minoritas kuadrat (udah turunan cina, dari keluarga nasrani pula). Hal ini membuat saya terkesima dengan kalimat itu, dimana isu perbedaan jadi salah satu jargon utama Indonesia. Wauw amajing.
Tetapi seperti layaknya semua ideologi dan jargon, kita harus berani untuk melihat mereka lepas dari rose-coloured-glasses-nya kita. Harus berani kritis, harus berani lihat secara objektif --- terlepas dari sesuka dan se-relate apapun kita sama hal tersebut. Jadilah saya banyak mencari dan nonton debat, diskusi dan seminar tentang pengaruh diversity penduduk sebuah negara terhadap kesejahteraan/kekayaan negara tersebut. Beda-beda bat pendapatnya. Ngga ada satu kesimpulan yang jelas karena emang faktor penentunya banyak banget.
Diversity bisa jadi alat untuk membuat inovasi-inovasi yang didasari dari kultur etnik. Dengan banyaknya kultur etnik, 'bank data' untuk bikin inovasi jadi banyak! Contohnya pada proses perkembangan obat malaria; dibahas dengan sangat bagus di video TEDx oleh Michael Gavin disini;
Dari informasi yang saya cari, yang saya pahami ada beberapa tipe diversity di sebuah negara. Ada yang disebabkan dari imigrasi, ada juga yang memang dari awal negara tersebut punya banyak kantung-kantung etnik dan golongan. Macem Indonesia gitu deh.
Imigrasi jelas membawa banyak manfaat. Tapi kalau melebihi kapasitas efektif negara itu untuk menyerap imigran masuk ke kulturnya negara juga akibatnya bisa membawa distabilitas di kohesi sosial. Contohnya kayak di salah satu argumen pembahasan dari Godfrey Bloom di sesi Oxford Union UK tentang topik imigrasi di video disini;
Lebih lambatnya kapasitas natural para imigran untuk menyerap budaya negara itu ketimbang dengan debit arus masuk imigran bisa bawa ketegangan sosial yang tinggi. Karena, salah satunya--- ke-efektivan program sosial service/cohesion pemerintah itu tergantung sama tingkat homogen-nya penduduk sebuah negara. Jadi, ga bisa asal serba diversity sana-sini aja.
Nah sekarang, kalau emang dari awal udah beda-beda etnik gimana? Mungkin ketegangan sosial bakalan lebih kecil daripada kasus imigran. Karena ada satu faktor yang ngga dimiliki oleh para imigran itu; yaitu faktor, "ini tanah babeh gue". Masing-masing punya tanah asli. Tetangga lama. Lucunya orang Indonesia isunya tetep sama; contoh, kasus orangtua yang ngewanti anaknya jangan main sama si anu dari etnis a, b, c, cukup banyak disini. Walaupun mungkin dengan frekuensi dan level arogansi yang lebih rendah dari mereka yang memperlakukan imigran di tanah ibu mereka.
Kita bisa aja mikir, "Gw ga akan berkelakuan gitu" atau "Kalau gw jadi orangtua, gw ga akan begitu!", eits tunggu dulu ferguso--- kalau kata Oom Jordan Peterson, kita belum tentu sebaik yang kita pikirkan. Alasan altruistik itu baik, namun lebih baik lagi kalau alasan altruistik itu tercipta dengan natural, bukan dengan paksaan policy dari pemerintah. Menciptakan alasan natural itu sangat-sangat ngga mudah. It goes deep down in our evolutionary biological trace. Kita butuh satu sama lain simply karena we have higher survivability together. Prosesnya gimana, itu susah sekali di trace dengan pasti, pemikir-pemikir hebat kayak Bret Weinstein, Sam Harris dan Richard Dawkins bergelut dengan topik macem ini--- dan, belum ada kesimpulan pastinya bagaimana.
Balik lagi ke Bhinneka Tunggal Ika. Kalimat ini sebenarnya lowkey paradox. Berbeda kok tetep satu, dan bersatu tapi kok beda? Kalau minjem perumpamaannya Dan Barker, "Married Bachelor". Single tapi nikah. Ngga mungkin kejadian. Trus maksudnya apa? Kok paradox? Menurut saya, paradox itu berfungsi sebagai alat untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang susah/kompleks buat dijelaskan dengan cara biner seperti hitam-putih, gelap-terang, benar-salah.
Paradox dalam bentuk cerita seperti kans yang dipakai oleh Biarawan Zen zaman dulu berguna untuk menjelaskan sesuatu yang kompleks, yang punya elemen multifaktorial dalam aplikasinya. Kayak teori Erwin Schrdinger tentang quantum. Njelimet kuadrat.
Dan mungkin saja teori Bhinneka Tunggal Ika ini, despite all odds, adalah sebuah fenomena yang ngga masuk akal secara biner, tetapi toh tetap terjadi secara natural (walaupun tidak ideal) di Indonesia sekarang--- masuk dalam daftar panjang paradox Indonesia yang belum terselesaikan.
(Psstt, Mungkin butuh ruang debat/diskusi seperti Oxford Union lagi yang dapat menjadi sebuah medium efektif untuk diskusi high resolution tentang ke-absahan, relevansi dan kontinuitas Bhinneka Tunggal Ika di masa depan. Just my two cents!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H