Mohon tunggu...
Michael Alexander
Michael Alexander Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Amatir

Ayah dan suami, pengamat Libertarian, Co-Founder dari SANROK Studio. Menulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuhan yang Ada dan yang Tiada

12 Juli 2020   20:18 Diperbarui: 12 Juli 2020   20:38 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin dulu kita yakin Tuhan itu tidak ada/ada, tapi kok semakin kita bertambah umur, makin susah buat kita untuk yakin dengan salah satu statement tersebut. Kenapa ya?

Kita datang dari background family yang berbeda-beda. Ada yang dari kalangan keluarga yang relijius banget, ada juga yang dari sisi kebalikannya-- datang dari kalangan keluarga yang sekuler banget, yang praktik keagamaannya sedikit atau bahkan nol sama sekali.

Progress sains yang lagi pesat banget dalam beberapa dekade terakhir ini membuat banyak orang yang akhirnya memilih untuk membuka pikiran pada argumen, "mungkin memang Tuhan sedang/sudah tidak relevan di jaman ini.". Dan dari banyaknya peristiwa politisasi agama di Indonesia akhir-akhir ini yang mungkin kurang berkenan pada kalangan tersebut, ngga heran banyak orang yang akhirnya memilih untuk menjauh dari religi dan praktiknya.

Di lain sisi, ada juga mereka yang justru berangkat dari sisi non-believers yang pelan-pelan mulai mempertimbangkan untuk buka pikiran pada keimanan dan Tuhan. Entah didasari dari mereka yang lagi mempelajari Jungian Psychology, nonton videonya Jordan B. Peterson, atau bahkan didasari dari pengalaman pribadi sendiri yang ada hubungannya dengan metafisika ke-Tuhanan. Magis.

1-notanjlsjtg2fb8s-2-ogg-5f0b09e6d541df1de833a655.jpg
1-notanjlsjtg2fb8s-2-ogg-5f0b09e6d541df1de833a655.jpg

Sains dengan logikanya, religi dengan imannya, merupakan dua tebing kokoh yang ngga lepas dari peradaban manusia. Kalau ngga ada agama/system of beliefs--- mungkin, manusia 12 ribu tahun lalu ngga akan bikin kuil Gobekli Tepe di Turki. Butuh dedikasi dan sistem kerja yang irrational untuk bisa ngontrol orang segitu banyak dalam jangka waktu yang sangat panjang untuk mengerjakan one-goal focused project macem kuil itu.

Dan kalau ngga ada sains dan pemikiran empiris (thanks Nicholas Steno!), ga akan bisa manusia terbang pake pesawat-- dan ngga ada tuh ceritanya manusia bermimpi buat ngirim Voyager keluar dari Tata Surya. Kalau ngga ada sains juga mungkin manusia masih percaya kalau bumi itu datar. (eh ya ampun-- ternyata masih ada yang percaya ya hehe).

1-jn8qrv6p5fiowrbmhvc-jq-5f0b0a8cd541df0dac4c3e43.jpg
1-jn8qrv6p5fiowrbmhvc-jq-5f0b0a8cd541df0dac4c3e43.jpg
Struggle topik begini udah ada dari jaman dulu banget. Thomas Aquinas, salah satu patron saint-nya agama Katolik juga mengalami dilemma tentang masalah kayak begini. Walaupun doi Katolik dan percaya Tuhan, dia bisa tetep kritis sama dogma yang bahkan datang dari ajaran agamanya sendiri. Sampai suatu saat dia mengeluarkan salah satu paham filosofi yang terkenal buat para kalangan orang Katolik--- Summa Theologica, tentang Eternal Law dan Natural Law.

Doi menyadari kalau sains sangat berguna untuk dunia nyata (dunia natural), dan ilmu sains bisa datang dari siapa saja, dari kalangan yang percaya Tuhan maupun tidak. Kedengerannya pernyataannya dia biasa aja buat sekarang, tapi pada jamannya --- bombastis sekali. Dan terlepas dari tulisannya yang ditulis dari sudut pandang relijius, Summa Theologica adalah salah satu pembanding kalau masalah religi ini bukanlah hal yang baru, ataupun taboo untuk dipikirkan.

Kembali lagi ke jaman sekarang--- saya pribadi mendengar dari banyak orang di lingkaran sosial saya yang merasakan manfaat praktik keagamaan yang mereka jalani dalam hidup mereka, dan saya bisa merasakan kejujuran di opini mereka karena saya hidup ditengah-tengah orang-orang ini. Tapi sayangnya, ngga jarang juga kita melihat konflik di grup chat keluarga besar, di grup chat alumni, atau di grup chat besar manapun yang ada konflik dari topik agama didalamnya. "Berantem" agama dari yang berbeda total seperti Islam dan Nasrani, ataupun yang beda liturgi/fikih semacam Katolik dan Kristen, NU dan Muhammadiyah udah jadi makanan sehari-hari buat banyak orang Indonesia.

Sekarang, adakah kesimpulan yang faktual dari topik pertanyaan ini? Menurut saya, ngga akan pernah ada satu jawaban yang bisa menjawab dan memuaskan ekspektasi banyak orang. Dan faktanya, pemahaman dan kepercayaan seseorang akan berubah/ter-update seiring dengan template perjalanan hidup mereka. People change, sedikit demi sedikit ataupun drastis, terlepas dari mereka mau mengakuinya, atau tidak.

Saya pribadi lagi seru menyebrang bolak-balik antara dua tebing peradaban ini. Dan semakin dijalani, semakin banyak mengalami, pelan-pelan mengubah aspek diri saya yang arogan, yang merasa "tahu-segalanya" menjadi "wow, ternyata masih banyak hal yang bisa ditantang dan dipelajari".

Dan mungkin, mindset yang tepat dalam mengarungi topik keimanan dan logika seperti ini adalah dengan pikiran yang terbuka, dengan diskusi dan informasi-informasi baru dari tebing sisi kita dan seberang--- bukan memperbesar jurang ditengahnya.

Kalau kamu lagi ada di tebing sebelah mana?

Tulisan ini adalah intro untuk journal perjalanan logika dan iman pribadi saya. Yang akan saya coba kembangkan di tulisan-tulisan berikutnya, dari sisi tebing logika, dan sisi tebing iman--- dalam urutan yang tidak beraturan secara kronologi. Selamat menikmati!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun