Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia"Â
Penggalan kata diatas adalah buah pikiran para pemuda dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam rapat/kongres sumpah pemuda yang dilaksanakan Oktober 1928. Tulisan tersebut dihasilkan pada saat kongres pemuda ke 2 tanggal 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesisch Huis Kramat atau yang sekarang dikenal museum sumpah pemuda, tetapi satu hari sebelumnya Kongres sumpah pemuda dilaksanakan digedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) atau yang kini menjadi Gedung Pertemuan Gereja Katedral Jakarta. Artikel ini akan membahas mengenai kongres sumpah pemuda pertama, peran gereja katolik dan nilai moral yang boleh diambil untuk kehidupan beragama dimasa kini.
27 Oktober 1928, Katedral Jakarta.
Pasti dari kita muncul pertanyaan "mengapa gedung KJB dipilih menjadi lokasi kongres?" Ide pemilihan gedung KJB dicetuskan Johanes Leimena aktivis dari Jong Ambon. Leimena yang berlatar belakang katolik mengusulkan kongres diadakan diaula KJB saat pertemuan para aktivis dikos-kosan Leimena. Usul Leimena diterima baik oleh aktivis lain karena posisi saat itu dibutuhkan ruangan luas untuk melangsungkan rapat/kongres karena jumlah aktivis yang hadir kurang lebih 750 orang.Â
Sugondo Djojopuspito dari PPPI (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia) yang menjabat sebagai ketua kongres membuka kongres dengan harapan dapat memperkuat semangat persatuan dalam jiwa para pemuda. Dilanjutkan pidato dari Moh Yamin sebagai sekretaris dari Jong Sumatranen Bond sepucuk kalimatnya mengatakan ini "Persatoean dan kebangsaan Indonesia difaktori sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan bersatu." Selain Leimena ada pemuda dari kalangan Katolik di antaranya Agustine Magdalena Waworuntu dan kalangan Protestan ada RCL Senduk, dan Arnold Monotutu.Â
95 tahun setelahnya..Â
Sumpah pemuda memiliki cita-cita agar para pemuda bersatu menuju kemerdekaan abadi disegala aspek dan bidang. Cita-cita itu mungkin tercapai tapi menurut saya belum sepenuhnya tercapai, mengapa? karena diera sekarang pemuda malah menjadi "api penyulut" dari perpecahan agama diIndonesia. Para pemuda yang rentan secara pikiran dan kuat secara fisik menjadi momok mematikan bagi para pemuka-pemuka agama. Setidaknya sudah lebih dari 200 tahun Gereja ditutup dalam medio satu dekade dan alasannya pun sepele hanya terkait izin yang saya kira tak sepenuhnya izin (ada bumbu budaya, politik dlsb) Saya berpikir pula Johanes Leimena dan Moh Yamin sedih disurga sana melihat perilaku kita yang kurang beradab sebagai pemuda dan rakyat Indonesia yang mereka harapkan cinta damai. Memang susah saya rasa menjaga keharmonisan umat beragama diIndonesia apalagi berbicara mengenai nasrani dan muslimin. Nasrani yang notabene minoritas sering dianggap remeh oleh kaum muslimin yang mayoritas dinegeri ini, tetapi apakah kita benar-benar sama sekali tidak bisa menjaga keharmonisan?
Saya rasa masih bisa dengan mengabungkan agama dengan kebudayaan seperti masyarakat dahulu. Contoh daerah rumah saya adalah mayoritas kaum muslimin dan muslimat yang taat, namun mereka tetap menghargai saya sebagai nasrani yang minrotas. Mereka mengunjungi saya ketika natal dan sebaliknya saya juga mengunjunginya ketika lebaran menu kami juga sama opor ayam sebagai tanda persamaan kebudayaan walaupun agama kami berbeda. Saya rasa perjumpaan atau cara mudah seperti ini bisa dilakukan didaerah kita untuk merawat kebersamaan antar agama lebih-lebih para pemuda yang semakin terintegrasi dengan media sosial.
sumber:
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/imagecollection-kitlv
https://penakatolik.com/2023/10/21/katedral-jakarta-dan-kisah-kelahiran-sumpah-pemuda/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H