"Balas dendam hanya akan membuat seluruh dunia buta." -- Mahatma Gandhi. Kutipan ini menyampaikan bahwa hukuman mati akan melanjutkan siklus kekerasan alih-alih mengakhirinya. Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang masih mempraktikkan hukuman mati.Â
Terlepas dari tren global menuju penghapusan hukuman mati, apakah hukuman mati benar-benar membawa keadilan atau hanya melanggar hak asasi manusia? Esai ini akan membahas tentang mengapa hukuman mati harus dihapuskan karena tidak efektif dalam bertindak sebagai pencegah, alasan etika, dan kesalahan peradilan.
Indonesia menerapkan hukuman mati terutama pada pengedar narkoba dengan dalih bahwa hukuman mati adalah pencegah yang efektif.Â
Namun, sebuah penelitian pada tahun 2004 dilakukan di Amerika Serikat yang membandingkan negara bagian dengan hukuman mati dan tanpa hukuman mati dan data menunjukkan bahwa, tingkat pembunuhan rata-rata negara bagian yang menerapkan hukuman mati adalah 5,71 per 100.000 penduduk, berbeda dengan negara bagian tanpa hukuman mati yang hanya 4,02 per 100.000. Selain itu pada tahun 2003 di Kanada, 27 tahun setelah negara tersebut menghapus hukuman mati, tingkat pembunuhan turun 44%.Â
Jadi penelitian menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara signifikan menghalangi kejahatan, hal ini mempertanyakan efektivitas hukuman mati dalam menghalangi kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika hukuman mati diberlakukan, hal itu lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.Â
Namun, kita masih harus mempertimbangkan bahwa perbandingan antar negara atau negara bagian mungkin tidak memberikan perbandingan yang akurat karena perbedaan budaya dan latar belakang sosial ekonomi. Di Indonesia, negara ini memiliki sedikit atau tidak ada jaring pengaman sosial, hal ini dapat mendorong kejahatan terlepas dari hukumannya.
Hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia menurut kerangka kerja PBB khususnya, Hak untuk hidup (pasal 3 deklarasi universal hak asasi manusia) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.Â
Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (pasal 5 deklarasi universal hak asasi manusia) khususnya di Indonesia, Indonesia menggunakan regu tembak sebagai metode eksekusi, hal ini dapat dianggap terlalu kejam dan karena narapidana tidak mengetahui tanggal eksekusi mereka, hal ini menyebabkan penderitaan mental yang melanggar hak asasi manusia mereka.
 Lebih jauh lagi, mendukung hukuman mati dapat menyebabkan masyarakat merasa baik-baik saja dengan mengambil nyawa untuk menyelesaikan konflik.
 Selain itu, ketika secara khusus berbicara tentang Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hukuman mati akan bertentangan dengan nilai mereka sebagai nilai pertobatan umat Islam. Namun, hukuman mati mungkin tampak sebagai bentuk keadilan terhadap kejahatan yang sangat serius.
Masalah lain dengan hukuman mati adalah sifatnya yang tidak dapat diubah, hal ini dapat menyebabkan kesedihan dan duka yang tidak diinginkan jika terjadi hukuman yang salah. Misalnya, Robert DuBoise dihukum secara salah atas pembunuhan pada tahun 1983 karena forensik yang tidak akurat, ia kemudian dibebaskan pada tahun 2020 dengan bantuan tes DNA.Â
Contoh lain, Carlos Deluna, dihukum karena pembunuhan pada tahun 1984.Â
Ketika ia pertama kali ditangkap, ia mengakui kejahatannya, tetapi pengakuannya tidak konsisten dan bertentangan dengan fakta yang mengisyaratkan bahwa pengakuan itu dipaksakan, ada juga kesaksian saksi yang tidak konsisten, dan kurangnya bukti fisik.Â
Kasus-kasus seperti itu menunjukkan bahwa sistem peradilan memiliki kekurangan, dan menyoroti beratnya hukuman mati yang dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak dapat diubah. Namun, kita harus mempertimbangkan bahwa forensik dan perlindungan hukum telah mengurangi risiko kegagalan peradilan.
Menurut Amnesty International, pada tahun 2022, 55 negara masih mempraktikkan hukuman mati. Banyak negara di seluruh dunia telah menghapus hukuman mati dan beralih ke pendekatan rehabilitasi.Â
Contoh negara yang telah menghapus hukuman mati adalah Kazakhstan pada tahun 2022 menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan dan meratifikasi perjanjian PBB terhadap hukuman mati, juga Sierra Leone pada tahun 2021 di mana parlemen mereka memilih untuk menghapus hukuman mati, juga Republik Afrika Tengah menghapus hukuman mati pada tahun 2022 setelah majelis nasional meloloskan rancangan undang-undang untuk menghapus hukuman mati, yang mengejutkan adalah eksekusi terakhir negara tersebut dilakukan pada tahun 1981, dan Guinea Ekuatorial dan Zambia menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa.Â
Pergeseran dari hukuman mati ke penghapusannya ini dapat dikaitkan dengan organisasi hak asasi manusia, seperti Amnesty International yang mendorong Meksiko untuk menghapus hukuman mati tetapi tidak terbatas pada itu, mereka juga mengirim delegasi dan melobi pemerintah Meksiko untuk melindungi hak asasi manusia.
Sebagai kesimpulan, hukuman mati di Indonesia tetap menjadi isu kontroversial, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa hukuman mati gagal mencapai keadilan. Bukti-bukti yang disajikan menunjukkan bahwa hukuman mati tidak efektif dalam memberikan efek jera, menimbulkan masalah etika, dan risiko hukuman palsu.Â
Karena tren global mendukung penghapusan hukuman mati, Indonesia harus mempertimbangkan komplikasi hak asasi manusia dan mengeksplorasi alternatif seperti rehabilitasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H