Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemerintah Perlu Me-lockdown Negara

16 Maret 2020   22:55 Diperbarui: 17 Maret 2020   00:36 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang mengharapkan adanya kebijakan lockdown dari pemerintah. Tak kurang banyak juga yang menolak kebijakan tersebut. Kedua kelompok tersebut tentu punya alasannya masing-masing.

Saya berpikir bahwa pemerintah mesti menjalankan kebijakan lockdown minimal 14 hari. Semua yang terpapar COVID 19 dikarantina. Semua transportasi umum dibersihkan dengan disinfectant products seperti pegangan pada MRT dan lain-lain. 

Semua informasi terkait corona dibuka ke publik sehingga masyarakat mengetahui secara riil perkembangan kasus corona di Indonesia. Pemerintah jangan membuat asumsi keliru terlebih dahulu dengan menganggap masyarakat seperti anak Taman Kanak-kanak. Takut masyarakat paniklah. Takut ekonomi drop lah.

Masyarakat adalah orang dewasa dengan kematangan berpikir. Biarkan mereka menyikapi sendiri apa yang terjadi. Nyawa manusia yang hilang tidak bisa digantikan. Namun, ekonomi yang drop bisa dibangun kembali.

Memang banyak yang berpikir bahwa tentu saja ekonomi yang drop bisa dibangun kembali oleh pemerintah, tetapi rakyat yang berpenghasilan di bawah rata-rata terutama kuli harian akan semakin menderita kehidupannya.

Dengan adanya lockdown itu artinya menutup semua akses keluar-masuk Negara. Dengan begitu kalau ditutup maka semua jadwal penerbangan dari dan menuju Indonesia juga harus ditutup. Kalau sudah ditutup maka perusahaan travel, penerbangan, hotel, akan merugi dan bila sudah merugi maka siapa yang harus disalahkan. 

Di Hong Kong, akses keluar-masuk HK-China ditutup dari bulan Januari akhir menjelang IMLEK. Hasilnya, banyak orang kehilangan pekerjaan dan kehilangan mata pencaharian dari membuka usaha. Hotel melakukan diskon besar-besaran tetapi tetap saja tidak ada pengunjung.

Restauran yang sudah berdiri puluhan tahun juga harus gulung tikar karena tidak ada lagi pelanggan. Karena di Hong Kong turis terbanyak dari China. Setelah ditutupnya akses HK-China maka tidak ada lagi turis dari China. Harga sembako naik tiga kali lipat. Beras menjadi langka. Kalau pun ada harus antri ber jam-jam baru bisa dibeli.

Namun, jika kita lebih jeli tentu justru kondisi wilayah yang berbeda jauh antara Indonesia dan negara maju seperti eropa atau pun China memungkinkan sistem lockdown dapat diterapkan. Dengan negara kepulauan memungkin beban ekonomi tidak saja bertumpuk pada satu wilayah. Tentu saja keadaan ekonomi di Jakarta akan drop.

Tetapi lockdown justru akan sangat menguntungkan pada umumnya buat daerah-daerah yang penghasilannya tidak hanya berasal dari jasa wisata dan transportasi umum dan daerah-daerah di luar pulau Jawa khususnya. Selain terhindar dari COVID 19 juga ekonomi daerah tetap relatif stabil.

Beberapa provinsi di luar pulau Jawa seperti Papua, Kalimantan, NTT dan lain sebagainya mungkin akan mengalami ekonomi drop juga. Tetapi drop yang terjadi tidak akan sebanding jika akibat tidak adanya lockdown. Virus tersebut akan dengan mudah sampai ke daerah-daerah terluar. Mengapa? Karena rata-rata penghasilan masyarakat di luar pulau Jawa bukan bergantung pada orang asing atau travel dan transportasi umum lainnya. 

Namun, jika virus masuk sampai ke daerah-daerah terluar maka akan sangat berbahaya. Fasilitas kesehatan sangat tidak memadai. Bayangkan dengan sekian banyak pulau dalam satu propinsi dan dengan jarak antar daerah yang begitu jauh cuma ada satu rumah sakit yang memenuhi standar mengatasi COVID 19 yaitu rumah sakit yang berada di ibu kota propinsi. Jadi bisa dibayangkan akan ada berapa banyak nyawa yang hilang karena tidak tersedianya layanan kesehatan. 

Belum lagi di daerah-daerah pelosok, jangankan info dan pemahaman tentang cara pencegahan COVID 19 yang belum diketahui, apa yang sedang terjadi di dunia saat ini saja mereka tidak tahu. Mendengar kata corona merupakan kata asing ditelinga mereka. Terlebih mereka yang tinggal di kampung-kampung yang jangankan televisi, listrik saja belum ada. 

Jika ada salah satu teman atau warga yang terpapar Corona maka dengan lugunya mereka akan saling tolong menolong yang menyebabkan semakin banyak yang terpapar COVID 19 dan meninggal. Karena pemahaman mereka yang rendah terkait Corona.

Berbeda dengan orang-orang yang hidup di daerah seperti Jakarta atau Jawa pada umumnya, ketika muncul gejala COVID 19 pada seseorang maka bisa segera diperiksa. Di daerah luar jawa, pasiennya sudah mati di tengah perjalanan baru tiba di rumah sakit.

Tentu saja para kapitalis dan orang beruang akan mengalami kerugian besar-besaran tetapi tidak bisa dibayangkan akan berapa banyak rakyat kecil diluar sana yang akan merenggang nyawa. Mungkin bisa sedusun, sedesa, sekabupaten, atau bisa lebih buruk lagi.

Uang bisa dicari lagi namun anak-anak yang kehilangan orang tuanya tidak bisa dibangkitkan lagi dari kubur. Pemerintah terlalu egois jika lebih mengutamakan keselamatan ekonomi dibanding keselamatan nyawa rakyatnya.

Memang kelihatan sepertinya bukan lockdown yang dibutuhkan tetapi pembatasan pada daerah-daerah yang sudah ada pasien positif Corona dan juga diperbanyak petugas kebersihannya.

Paling tidak dengan kebersihan lingkungan akan memperlambat penyebaran virus, masyarakat diberi penyuluhan untuk lebih sering cuci tangan,membersihkan lingkungan dengan disinfectant products (Clorox/byclean/dettol).

Namun, untuk istilah pembatasan pada daerah-daerah tertentu tidak perlu diumumkan juga pasti dengan sendiri masyarakat akan berusaha melakukan pembatasan kunjungan dari dan ke daerah-daerah yang sudah ada penyebaran virusnya.

Persoalannya adalah pemerintah menutup-nutupi beberapa informasi dan fakta sehingga melemahkan daya waspada masyarakat. Alasan yang dikemukakan pemerintah sederhana saja yaitu takut masyarakat panik. 

Daerah yang terpapar Corona tidak disebutkan tempat spesifiknya hanya nama provinsinya. Tidak ada peta penyebaran Corona secara detail seperti yang dibuat negara-negara lain.

Soal sosialisasi kebersihan lingkungan memang mudah untuk daerah-daerah sekitar Jabotabek, selain karena media elektronik adalah bagian dari kehidupan hariannya sebagai media sosialisasi dan lebih penting lagi sudah ada kebiasaan cuci tangan dan lain sebagainya.

Di luar daerah itu, jangan alat elektronik, listrik saja tidak ada. Kebiasaan cuci tangan yang ada yaitu yang standar saja dengan pakai air tanpa sanitizer atau samacamnya.

Jangan sampai sosialisasi belum sampai dikampung-kampung sudah banyak yang lebih dahulu terpapar corona. Banyangkan saja jarak antar kampung 20an kilometer yang kebayakan hanya bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua. Karena itu, lebih aman adalah lockdown untuk sementara waktu.

Semua patut diberi perhatian soal keadaan ekonomi negara dan lain sebagainya. Tetapi mesti ada skala prioritas untuk hasil yang lebih baik. Bagi saya secara pribadi, nyawa manusia jauh lebih penting daripada keadaan ekonomi negara.

*NB: Tulisan ini merupakan hasil bincang-bincang di facebook dengan Chater Hamada Gholikhani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun