"Anthropologists have described Sumba as home to the world's last surviving megalithic culture. Like the lost civilization who once carved the uncanny Easter Island heads or the Mayans who mysteriously disappeared leaving only their great pyramids among the rainforest of Central America, the people of Sumba have often been driven almost to ruin by their obligation to build the mightiest tombs."
Potongan artikel tersebut saya temukan pada buku pemandu wisata dalam penerbangan pesawat Garuda Tambolaka-Denpasar. Selama kurang lebih 45 menit lama penerbangan, saya membayangkan bagaimana bisa masyarakat Sumba mempertahankan budayanya di tengah terpaan angin globalisasi dan modernisasi yang begitu deras.Â
Selama berabad-abad sejarah Sumba berusaha mewariskan kekayaan tertingginya, yakni Marapu kepada generasinya. Ibarat sebuah mutiara yang terpendam namun tampak juga, Marapu diminati oleh banyak peneliti asing dan lokal.
Dari hasil penelitian itu, banyak kajian yang bermuara pada ruang absurd. Ada yang cepat menempatkan Marapu dalam kategori kekafiran, kekolotan, keterbelakangan; dan oleh karena itu saran mereka adalah kepercayaan tersebut harus segera ditinggalkan.Â
Ditambah lagi sistem dan ada beberapa aturan dalam kepemerintahan di Indonesia yang kadang mempersulit keberadaan penganut aliran kepercayaan Marapu, cukup menyulitkan akses dan beberapa pemenuhan hak-hak dasar mereka seperti KTP, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan dan lain sebagainya. Mungkinkah Marapu memang sedang menuju kepada era kemusnahan secara senyap?
Belum selesai dengan persoalan aliran kepercayaan dalam konteks lokal, di sisi lain index persoalan Human Trafficking kian meningkat di dunia.Â
Bentuk eksploitasi korban yang terdeteksi perdagangan orang (Trafficking in Person) di seluruh dunia pada tahun 2010, eksploitasi seksual 58%, pekerja paksa 36%, jenis lain trafficking in person 6%, dan pengambilan organ 0,2%. Berdasarkan trafficking database IOM Counter dari tahun 2005 sampai Desember 2015 diketahui eksploitasi tenaga kerja berjumlah 6.826 (80.16%), eksploitasi seksual 747 (8.77%), belum bekerja namun terindikasi dapat mengalami eksploitasi tenaga dan seksual 938 (11.02%), tidak ada data 4 (0.05%). Total seluruhnya adalah 8.515 (100%).Â
Di Indonesia diperkirakan ada 736,100 orang yang hidup dalam perbudakan modern, atau 0,029% dari total populasi Indonesia 257,564,000 orang. Korban termasuk laki-laki, perempuan dan anak-anak. [Global Slavery Index, 2016].
Ketika berbicara tentang orang-orang Marapu berarti berkaitan dengan anal-anak mereka sebagai generasi penerus, dan ketika berbicara tentang Anak Buruh Migran (ABM) di Sumba itu berarti melibatkan anak-anak orang Marapu yang kerap kali menjadi korban.
Karena itu kita diajak agar membagi segala potensi yang dimiliki untuk pertama, meningkatkan pemahaman warga penganut aliran kepercayaan marapu mengenai hak-hak komunitas marapu serta regulasi pemenuhan hak-hak mereka, dan kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya.Â
Kedua, meningkatkan kapasitas, pengetahuan, dan ketrampilan bagi kaum milenial penganut aliran kepercayaan marapu sebagai agen perubahan dalam lingkungan mereka terlebih khusus dalam mencegah terjadinya perdagangan orang dalam lingkungan mereka.Â
Ketiga, meningkatkan partisipasi aktif dan berkelanjutan dari warga dalam akses dan kontrol terhadap layanan kewarganegaraan. Keempat, menyiapkan warga Marapu agar kelak mereka sendiri mampu bergerak dari diri mereka sendiri dan mampu melakukan analisis dan advokasi kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang inklusif bagi komunitas mereka.
Perjuangan kemusiaan bukanlah persoalan seperti mengerjakan tugas perhitungan matematika 2 X 2=4 dan selesai.Â
Perjuangan kemanusiaan adalah proses panjang yang diwarnai berbagai sentimen perasaan seperti senang, bahagia, bangga namun terkadang juga melelahkan, membosankan, merasa terancam, bahkan kadang menuntut kucuran air mata. Itulah yang namanya perjuangan kemanusiaan. Perjuangannya tidak sekali jadi. Tidak juga hanya bisa dilakukan oleh satu orang.
Semua orang mesti terlibat aktif dalam perjuangan menggangkat martabat kemanusiaan manusia yang didiskredit oleh sesama manusia sendiri lewat tingkah laku, pengaturan sistem yang merugikan pihak tertentu, diskriminasi, indoktrinasi dan lain sebagainya.
No man is an island, kata penyair Inggris John Donne. Dan ia benar. Tak seorangpun hidup sendirian terpulau. Ia butuh sesama. Ia butuh orang lain. Manusia dalam kebertentuannya sebagai agen kedirian otentik adalah homo amans, makhluk yang mencinta.Â
Diskriminasi, stigmatisasi, pengaturan sistim yang diskriminatif merupakan potret buram dari wajah keseharian yang kadang terjadi di lingkungan kita. Kenyataan ini lebih merupakan negasi dari hakikat manusia sebagai makhluk mencinta.Â
Orang-orang Marapu dan Anak Buruh Migran adalah sesama manusia yang patut mendapatkan hak-hak mereka sama seperti manusia lainnya, dicintai sama seperti diri kita sendiri, dan dilayani oleh Negara dan perlu diakui keberadaannya oleh sesama manusia lainnya.Â
Marilah kita sama-sama bergandeng tangan, merangkul satu sama lain untuk bangkit berjuang demi martabat kemanusiaan yang lebih baik, utuh dan setara satu sama lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI