Sinar mentari perlahan mulai larut di ujung laut sana. Perlahan gelap pun mulai melumat semesta. Sedang dingin-dingin kita masih tetap duduk di pesisir pantai. Lalu dengan bahasa yang tak terucap sepakat kita namai malam. Namun, sejak kemunculan bulan yang seperti sedang mengejar matahari yang pergi terbenam, pantai Kapihak masih terlihat cukup jelas bertabur pasir putih nan indah.
Angin sepoi mulai melunturkan pelukan persahabatan yang hangat. Di hadapan kita dua ekor kuda berpacu pelan-pelan. Penunggangnya dua bocah yang baru selesai melatih kudanya berlari di pasir. Mereka tertawa sambil berjalan pulang ke rumah. Sedangkan dingin dingin kita masih duduk membayangkan kisah yang seakan betah tinggal dalam ingatan kita.
Seorang bapak tua dengan berderet ikan ditenteng pada tangan berjalan cepat seolah tidak mau menghilang di telan gelap. Atau mungkin dia ingin menyampaikan kepada istri dan anaknya tentang lauk makan malam yang harus mereka santap. Secepat percikan kebahagiaan yang keluar dari matanya.
Empat pemuda telanjang dada berlari kejaran di bawah purnama yang bersinar terang. Anjing yang menyalak tidak mereka hiraukan. Asik masyuk mereka bersenda gurau. Sama seperti kisah yang tidak peduli kepada dingin ia senang mencadai ingatan kita.
Teh di cangkir putih sudah selesai kita minum. Bibir cangkirnya pun sudah mengering sama seperti bibir kita. Namun kita belum juga beranjak pergi. Dingin dingin kita duduk nikmati malam yang mulai pekat diujung sana yang seakan menelan habis gelombang laut.
Pantai Kapihak, Sumba Timur
6 Sept 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H