Berita perdagangan manusia (human traffiking) di provinsi Nusa Tengara Timur (NTT) menjadi seolah santapan biasa dalam media massa maupun dalam diskusi formal atau non-formal. Persoalan perdagangan manusia di NTT tidak saja menyangkut persoalan lebih tingginya kasus perdagangan manusia di NTT dibandingkan dengan di Provinsi lain.Â
Seperti yang terungkap pada Desember 2009, dalam kunjungan kerja Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Propinsi NTT, didapat laporan ada 1.300 kasus perdagangan manusia dan pengiriman tenaga kerja ilegal dari NTT. Tetapi juga soal keterlibatan oknum polisi, pejabat nakertrans, perusahaan jasa tenaga kerja, dan pihak lain lagi yang secara sengaja maupun tidak ikut terlibat dalam kasus perdagangan manusia (Pos Kupang, 07/12/2014). Â
Adapun tujuan perdagangan manusia itu antara lain bekerja baik di dalam maupun di luar negeri, pelayan di tempat-tempat hiburan malam, dipekerjakan di rumah-rumah pelacuran, perkawinan dengan orang dari negara lain, dipekerjakan secara paksa di pekerbunan, dijadikan sebagai pengemis (khusus anak-anak), nikah kontrak dan lain sebagainya.
Menurut pasal 11 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengakutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi tertentu, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara mapun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Ada beberapa alasan kian meningkatnya kasus perdagangan manusia di NTT.
Pertama kurangnya kesadaran pemerintah melihat persoalan human traffiking. Pemerintah lebih menyibukkan diri dalam persoalan politik, pilkada, tambang, batas wilayah, penggunaan aset daerah ketimbang menyoroti persoalan human traffiking. Hal ini bukan dimaksud bahwa mulai saat ini pemerintah mesti mengabaikan berbagai persoalan lain di atas dan hanya fokus pada persoalan traffiking. Tidaklah demikian. Harus ada keseimbangan dalam menyoroti berbagai persoalan karena persoalan traffiking juga adalah persoalan yang penting untuk ditangani karena menyangkut pengingkaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan manusia.
Kedua, kasus korupsi begitu besar di NTT. Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), Ilian Deta Arthasari, angka korupsi di NTT tinggi dan banyak dana yang bocor di tengah jalan, tak sampai ke tangan masyarakat. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup harian dan juga minimnya lowongan pekerjaan menyebabkan banyak orang berusaha mengadu nasib dan mencari rejeki di luar negeri. Alih-alih mendapatkan pekerjaan yang layak dan rejeki berlimpah, mereka malah diperdagangkan oleh oknum-oknum tertentu yang mengejar keuntungan kelompok dan pribadi.
Ketiga longgarnya hukum. Ada pandangan yang menyatakan bahwa maraknya perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak) di NTT bermula dari kebiasaan kalangan aparat pemerintah tingkat kota yang mempermudah proses penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Akta Kelahiran bagi seseorang dengan memanipulasi umur atau pun alamat. Uang menggoda mereka untuk mengabaikan proses administrasi kenegaraan yang sah serta menghancurkan masa depan Calon Tenaga Kerja (Pos Kupang, 11/02/2009).
Menjawabi masalah ini maka hemat penulis ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:Â
Pertama, UU No. 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa perdagangan manusia bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap HAM. Undang-undang ini harus dijadikan landasan dan motivasi untuk berjuang. Persoalan traffiking bukan saja menjadi tanggung jawab pihak kepolisian atau pemerintah semata. Sebagai warga negara yang bernaung di bawah payung hukum dan undang-undang maka kita mempunyai hak dan berkewajiban melawan traffiking.Â
Hal itu bukan berarti bahwa warga mempunyai hak untuk main hakim sendiri. Tidaklah demikian. Warga mesti bersama-sama membantu proses penangkapan mafia perdagangan manusia, yang selanjutnya untuk proses akhir diserahkan kepada pihak yang berwajib menjatuhkan putusan.
Kedua, salah satu faktor terbesar munculnya traffiking adalah kasus korupsi yang begitu besar. Karena itu, seruan ICW yang mendesak komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (STPMH) agar menelaah dugaan korupsi di Propinsi NTT harus ditindaklanjuti. Pemerintah mesti mendesak agar segera mendatangkan KPK dan STPMH untuk menangani persoalan korupsi yang  begitu masif di NTT.