Akhir-akhir ini, kita marak disibukan dengan beragam berita seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selanjutnya disebut KDRT. KDRT yang terjadi kerap berhubungan anak-anak dan perempuan sebagai korbanya. Kalau dalam kasus tertentu yakni sang suami yang jadi korbannya, itu jelas kasus yang jarang terjadi.
Secara moral, KDRT itu sendiri adalah perbuatan yang dipandang buruk oleh masyarakat. Ada banyak alasan mengapa KDRT sering kali terjadi. Salah satu alasan yang banyak diamini oleh masyarakat yakni adanya budaya patriarki. Akan tetapi, di sini penulis menolak alasan tersebut secara tegas.Â
Sejauh pembacaan dan pemahaman penulis, budaya patriarkat in se tidak sepenuhnya buruk. Pada hakikatnya, budaya patriarki mempunyai nilai yang luhur dan mulia. Budaya patriarkat tidak mengajarkan bahwa seorang suami berhak menjadi hakim atas istrinya.
KDRT itu sendiri muncul akibat penyimpangan atas budaya patriarkat. Suami terlena atas kepercayaan yang diberikan, dan bertindak seolah-olah menjadi hakim atas istrinya. Pendapat ini dapat ditinjau dari beberapa segi.
Pertama, sifat khas masing-masing. Seorang istri memiliki sifat lembut, perhatian dan suka memperhatikan hal-hal kecil. Sedang suami itu agresif, kuat, suka bersaing, suka keluar rumah. Kekhasan ini menjadi latar belakang dalam setiap pengambilan kebijakan dalam rumah tangga.
Sifat khas yang dimiliki perempuan (istri), lalu diplintir sebagai kelemahan oleh laki-laki (suami). Suami berkuasa, dan istri dinomorduakan. Pelaku KDRT (si suami) lalu menganggap dirinya sebagai yang terkuat dalam keluarga.
Kedua, kedudukan suami dan istri dalam budaya patriarki. Selayaknya, kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga adalah sama. Suami dianggap sebagai kepala keluarga namun setiap keputusan diambil berdasarkan hasil rundingan bersama.
Penyimpangan terjadi ketika suami merasa kedudukannya lebih tinggi dibanding istrinya. Masalah mulai terjadi ketika sang suami menyalahgunakan jabatannya ini untuk mengusai istri dan anak-anaknya. Inilah yang bisa menyebabkan terjadinya KDRT.
Ketiga, soal belis. Belis adalah pemberian material dari keluarga pria kepada keluarga wanita. Belis dilihat sebagai bentuk ucapan terimakasih karena kesediaan seorang perempuan untuk tinggal dan hidup bersama keluarga pria.
Namun, penyelewengan relasi keakraban itu bisa terjadi, ketika belis diperlakukan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Bahkan di beberapa tempat di Indonesia, belis yang diberikan seorang laki-laki kepada keluarga perempuan menjadi sangat mahal. Hal ini sebenarnya terimplisit apa yang dikenal dengan human trafficking. Akibatnya, keluarga pria merasa bahwa istrinya "barang milik" keluarga laki-laki yang sudah dibeli. Sebagai "barang", maka sang suami dapat bertindak bebas atas istrinya. Praktik ini pun menjadi sumber KDRT.
Keempat, pembagian tugas. Dalam budaya patriaki tugas suami adalah mencari nafkah, sedangkan seorang istri adalah menata, dan mengurus rumah.
Penyimpangan atas kriteria pembagian tugas ini bisa terjadi ketika suami mengklaim dirinya sebagai seorang yang bertanggungjawab penuh dalam menghidupi keluarga. Alhasil, ia merasa berkuasa dalam menentukan segala sesuatu. Hal inilah yang menjadi sumber konflik yang berujung pada terjadinya kasus KDRT.
KDRT bukanlah kasus yang terencana dan terorganisir. KDRT yang sering terjadi adalah suatu bentuk spontanitas tak terkontrol atas suatu situasi tertentu. Maka, alternatif utama untuk mencegah tindak kriminal ini, yakni kembali kepada kesadaran diri sendiri. Solusi lainnya yakni, menjalin dialog antar pribadi. Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk kembali kepada apa yang menjadi nilai luhur dari budaya patriarki itu sendiri. Keluhuran budaya patriarki itu sendiri antara lain: saling menghargai antarpribadi (suami-istri), sikap saling percaya akan tugas dan kewajiban masing-masing, dll.
Selain itu, dengan adanya Undang Undang no 23 tahun 2004 atau yang dikenal UU PKDRT, bisa menjadi pedoman untuk membina suatu kehidupan rumah tangga yang harmonis dan terhindar dari kasus KDRT. Pasal 1 ayat 1 undang-undang ini, berbunyi: "Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga".
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa keluarga adalah sebuah ruang privat maka dalam pelaksanaannya undang-undang ini, tidak boleh melampaui ruang privat itu. Tidak semua hal dalam rumah tangga bisa diatur oleh undang-undang.
Undang-undang dapat berfungsi, sejauh ia mengatur kehidupan warga Negara dalam sebuah ruang publik. Dalam artian ini, Negara juga bisa turut campur tangan apabila terjadi persoalan dalam keluarga, dimana masalah intern keluarga tersebut dapat mengganggu wacana kehidupan ruang publik dan melanggar HAM.
Sudah saatnya orang-orang sadar untuk kembali kepada nilai luhur yang terkandung dalam budaya patriarki dan tidak melakukan penyimpangan atas nilai-nilai mulia budaya patriarki. Undang-undang penghapusan KDRT jangan hanya sekadar dilihat sebagai alat-alat untuk menakut-nakuti, tetapi harus dilihat sebagai alat yang menegaskan agar orang-orang tidak melakukan penyimpangan atas nilai luhur budaya patriarki. Dengan kesadaran baru ini, diharapkan angka kasus KDRT semakin berkurang bahkan bila perlu hilang dari dalam kehidupan berumahtangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H