Membincang paham utilitarianisme berarti membicangkan satu aliran filsafat yang berpegang pada prinsip kebahagiaan. Bahwasanya segala sesuatu mesti diukur dari manfaat yang dapat mendatangkan kebahagiaan.Â
Gagasan utilitarian itu sendiri dikembangkan oleh Jeremy Betham dan muridnya John Sturt Mill. Pertama-tama Bentham menggagas paham ini dengan fokus pada kebahagiaan pelaku saja. Konsep ini kemudian direkonstruksi oleh Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan juga demi kebahagiaan semua, yang disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory).
Banyak pengamat melihat bahwa dalam kubu utilitarianisme sendiri ada silang pendapat. Hal ini tentu berdampak pada berakhirnya utilitarianisme. Di satu sisi argumen teleologis yang mementingkan keadaan dengan itu melihat orang sebagai sarana, bertolak belakang dengan tradisi utilitarian sendiri yang mengatakan bahwa tujuan saja yang lebih penting tanpa melihat proses atau keadaan saat tujuan itu diperjuangkan.
Jika paham utilitarianisme diteropong berdasarkan teori keadilan John Rawls, seorang dengan latar belakang penganut sistem liberalisme politik, maka dapat diangkat berbagai kepincangan sebagai kelemahan dari paham utilitarianisme. Namun pertama-tama perlu disadari bahwa tidak ada paham politik yang murni tanpa kritik.
Rawls sendiri sebenarnya dikritik juga atas pandangannya yang dianggap gagal untuk memperjuangkan keadilan yang fair. Robert nozik sebagai pengkritiknya mengatakan bahwa yang minoritas dalam pandangan Rawls tidak pernah mendapatkan tempat. Oleh karena situasi itu, Nozik mengakui paham utilitarian sebagai yang baik.
Dalam politik utilitarianisme terdapat penegasan bahwa paham utilitarian harus berdiri sendiri tanpa merasa wajib atau harus bersaing dari praktik politik sehari-hari. Penegasan ini, seolah menjebak orang pada satu pilihan kontradiktif yaitu memperjuangkan keadilan tanpa menyertakan kelompok utilitarian yang sebenarnya serentak telah jatuh dalam semangat utilitarian itu sendiri dan menyudutkan paham utilitarianisme.
Namun, sebenarnya politik itu sendiri merupakan dinamika hidup bersama yang erat dengan kesetaraan dan perjuangan untuk berkuasa. Membaca politik dari posisi utilitarian ini, menimbulkan kecemasan tersendiri bahwa alih-alih mengharapkan kolaborasi bersama politik, paham utilitarian justru menjadi boomerang bagi kehidupan bersama itu sendiri. Ada ketakutan bahwa paham utilitarian menjadi ideologi yang mengarahkan orientasi politik kepada kepentingan kaum utilitarian saja.
Pada dasarnya utilitarian adalah prinsip etis. Bentham mengatakan the greatest happiness for the greatest number menyiratkan apa yang buruk sebenarnya ditentukan oleh kualitas, dengan itu mengorbankan kepentingan kaum minoritas dan kelompok tertentu.
Selanjutnya John Stuart Mill, yang lebih egaliter dengan pengandaian mentalnya dan lebih menaruh minat kepada kepentingan orang lain menegaskan prinsip etika utilitarian yang lebih sosial dari Bentham. Etika utilitarian Mill lebih memperhitungkan konsekuensinalisme dari sebuah tindakan dan orientasi yang mau dikejar. Selanjutnya dari pengambaran ini, kita bisa mempertimbangkan bahwasanya prinsip etika utilitarian bisa saja masuk dalam ranah politik sejauh memperhitungkan konsekuensinalisme yang serentak juga memicu pembuat kebijakan untuk merancang bentuk politik yang betul menjaga keseimbangan antara kepentingan kelompok mayoritas dan minoritas. Lebih jauh ide ini lebih relevan lagi untuk konteks demokrasi di Indonesia terlebih menyangkut penentuan kebijakan yang lebih menekankan kesetaraan antara satu dengan yang lain.
Mengenai keunggulan paham utilitarianisme, mengapa konsekuenalisme dan tanpa Allah, jiwa dan agama menguntungkan? Menjawabi pertanyaan ini tentu saja pertama-tama kita perlu bertitik tolak dari latarbelakang Kymlicka sebagai seorang komunitarianisme. Dia bertanya sebenarnya agama yang bagaimana dalam Negara modern yang kita butuhkan??Â
Kalau semua entitas agama itu disandingkan dimana titik temu dan orientasi dari sebuah kehidupan. Apalagi saat ini kita hidup dalam modernitas dengan situasi pluralitas yang penuh ketegangan. Hematnya ideal etika universal lumayan rumit untuk dibangun.Â
Oleh karena alasan itu, utilitarianisme menjadi jawaban atas tuntutan adanya etika universal. Kalau kita melihat bahwa utilitarian jauh lebih menjanjikan manfaat (maksimalisasi manfaat dan mengurangi penderitaan). Etika universal utilitarian malahan mencegah adanya konflik yang kemungkinan bisa saja dimunculkan oleh pelbagai kelompok yang mayoritas atau fundamentalis dalam sebuah kehidupan bernegara.
Lalu mengapa konsekuenalionisme menguntungkan? Karena ia sesuai dengan intuisi moral kita. Utilitarianisme terindikasi dalam pernyataan bahwa apakah tindakan bermanfaat atau tidak? Sehingga ia meninggalkan doktrin moral dan lebih dekat kepada kecendrungan pragmatisme. Pada dasarnya pengandaian moral tidak bersifat abstrak. Bertindak benar menentukan efek dari kehendak kita. Selanjutnya hal itu menegaskan bahwa ukuran tindakan moral tergantung pada siapa yang dirugikan.Â
Kita dapat mengabil contoh homoseksual. Secara moral mereka tidak salah, karena tidak membawa dampak buruk bagi orang lain. Dengan alasan ini mereka tidak bisa disalahkan. Tindakan mereka juga bukan merupakan tindakan amoral karena tidak merugikan orang lain.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan yaitu membuat studi kritis lebih lanjut. Untuk membangun sebuah keadilan misalnya kita butuh prosedur yang betul baik, artinya benar-benar berangkat dari hasil tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kita butuh prosedur yang baik dan jangan sampai menyisahkan ekses buruk.
Bagaimana jika paham utilitarianisme dibawa dalam persoalan Euthanasia. Paham utilitarian hendaki menghabisi nyawa untuk mereka yang sakit parah dengan alasan agar kesulitan penanggugan biaya (alasan ekonomi) bisa dikurangi.Â
Di sini dapat dilihat ada kesenjangan. Di satu sisi utilitarian memperjuangkan hak kesetaraan namun di sisi lain mereka telah melanggar norma moral dalam artian secara manusiawi hak orang yang sakit agar ingin sehat terabaikan.
Dari sudut pandang kaum utilitarian, euthanasia kalau memang memihak kebaikan banyak orang pastilah diterima. Utilitarian berhadapan dengan dirinya sendiri membenarkan tindakan euthanasia karena ia lebih mementingkan konsekuensi namun berhadapan dengan agama serentak berhadapan dengan benturan pelbagai nilai normatif agama, tindakan itu salah secara moral.
Namun, hal ini menjadi persoalan baru jika diartikulasi berdasarkan pandangan Imanuel Kant yang menelurkan etika kewajiban baik terhadap orang lain dan diri sendiri.
Pembenaran utilitarian terhadap praktik euthanasia tentu bukan suatu kebenaran mutlak karena ada filsuf yang melihat euthanasia sebagai amoral. Mengenai persoalan ini, secara mendalam dapat kita gali pada diri filsuf klasik, Aristoteles yaitu pada ajarannya tentang arte.Â
Dari ajarannya tentang arte, euthanasia dapat dilihat sebagai jalan penderitaan yang dianggap benar. Arete sebagai orientasi yang mau dikejar sebenarnya berarti kebijaksanaan atau pengetahuan. Untuk sampai kepada kebijaksanaan ilahi itu orang mesti menderita.
Euthanasia sebenarnya berada dalam posisi tidak jelas entahkah ia dilarang atau tidak. Namun agama sebagai pemroduksi moralitas tentu melarang pelaksanaan tindakan itu karena hal ini berkenaan dengan kodrat. Lagi pula kita tidak bisa sendiri menentukan secara pasti kapan kita mati.
Persoalan euthanasia kini sedang menjadi bahan diskusi yang panjang diantara para ahli. Apakah ia mesti dilakukan atau tidak sama sekali, terus menyisahkan pertanyaan.Â
Kerap kali terdapat pelbagai perbedaan titik tolak mengenai penentuan benar atau tidak sebuah persoalan. Tugas kita ke depan adalah terus berefleksi dan berdiskusi siapa tahu kita dapat menemukan solusi yang paling baik untuk menjawabi berbagai persoalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H