Masalah perdagangan orang merupakan salah satu masalah cukup sering terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Berita-berita terkait perdangan orang begitu ramai bertebaran, baik di media massa online maupun media-media massa cetak. Ada banyak anak di bawah umur dieksploitasi dan dipekerjakan di tempat lain dengan iming-iming gaji yang besar. Dalam kenyataannya, mereka justru dipaksa untuk menghambakan diri kepada orang lain dengan bekerja di luar batas peri kemanusiaan. Jangankan gaji yang besar, kebutuhan pokok mereka saja tidak dipenuhi dengan baik, misalnya persediaan tempat tinggal kurang layak, pakaian seadanya, dan makanan yang serba kekurangan. Bahkan, banyak dari mereka disiksa dan ada yang sampai meninggal dunia.
Ketika persoalan perdagangan orang belum tuntas diselesaikan sampai ke akar-akarnya, persoalan terkait buruh migran terus meningkat. Hasrat masyarakat untuk mengadu nasib di negeri seberang seakan tak terbendung. Mereka seakan tak pernah takut mendengar kabar kematian para sama saudara kita di Malaysia dan sejumlah tempat lain. Atau mungkin mereka menganggap semua peristiwa kematian itu sebagai hal wajar atau seleksi alam yang harus dihadapi siapa pun. Padahal, masalah kematian tenaga kerja asal NTT di luar negeri sudah sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang diperoleh dari kompilasi data dan informasi dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT, laporan keluarga, jaringan LSM, Gereja dan Media Massa Online terdapat 32 tenaga kerja asal NTT yang meninggal dunia dari bulan Januari hingga Maret 2019. Ada 94 persen dari mereka meninggal di Malaysia dan 6 persen di Indonesia. Hanya dalam rentang waktu 3 bulan, NTT harus melihat sekian banyak anak-anaknya dipulangkan dalam bentuk jasad kaku dalam peti mati.
Bahkan, lebih miris lagi, persoalan tenaga kerja yang pulang ke NTT dalam keadaan kaku dalam peti mati itu bukan hal baru. Hal menyedihkan ini sering terjadi, dan bahkan ada tenaga kerja yang hanya dipulangkan “kulitnya” saja. Sebagian organ dalam tubuhnya sudah dicuri. Jadi, mereka tidak saja dipulangkan dalam keadaan kaku, tetapi kehilangan juga sebagian organ vital mereka dalam tubuhnya. Memang menyedihkan.
Seiring fakta demikian, banyak keluhan dari masyarakat ditujukan kepada negara agar menjamin keselamatan nyawa para kerabat dan sahabat mereka yang menjadi buruh migran di luar daerah. Bahkan, banyak kritikan pun dilayangkan kepada pemerintah agar sistem perekrutan hingga penempatan dan perlindungan tenaga kerja diawasi secara ketat. Selain itu, demo secara “berjilid-jilid” juga sudah dilakukan. Ada demo yang mengusung tuntutan kepada pemerintah agar lebih serius menangani kasus-kasus Pekerja Migran Indonesia di luar negeri dan ada juga demo yang sekadar berupa aksi solidaritas terhadap korban atau para pekerja migran. Sudah sekian ribu lilin habis dibakar atas nama rasa solider dan tuntutan kepada pemerintah untuk melindungi para pekerja migran di mana saja mereka bekerja.
Alhasil, sebagai tanggapan atas aksi-aksi tersebut akibat kian meningkatnya perdagangan orang dan kematian pekerja migran asal NTT, pemerintah mulai merespons dengan mereformasi sektor-sektor dan jalur-jalur perekrutan buruh migran dengan sigap. Bandara, pelabuhan, tempat pelayanan kartu identitas dan dokumen-dokumen resmi, organisasi dan lembaga yang berhubungan dengan buruh migran diawasi secara ketat.
Selain itu, orang-orang yang terlibat dalam mafia perdagangan orang pun diproses secara hukum. Bahkan, walau sudah ada dinas yang menangani persoalan tenaga kerja secara umum, pemerintah masih membentuk tim khusus untuk menjamin hak dan keselamatan buruh migran serta menangani persoalan pelanggaran kepada tenaga kerja. Di tingkat nasional, undang-undang dan peraturan yang bisa menjamin kenyamanan buruh migran telah dibuat.
Banyak upaya memang telah dilakukan, hasil dari semua upaya itu sepertinya belum maksimal. Satu persoalan belum selesai, sudah muncul lagi persoalan lain. Karena itu, saya menduga bahwa ada hal subtantif yang belum diberikan perhatian lebih banyak dan serius.
Ketika para buruh migran di bawah umur yang dipulangkan atau mereka yang sudah sedang bekerja ditanya tentang mengapa mau menjadi buruh migran, alasan yang mereka berikan bervariasi. Ada yang bilang karena susah mencari pekerjaan di daerah sendiri, pendidikan rendah sehingga sulit mendapatkan pekerjaan, membutuhkan lebih banyak uang untuk menyekolahkan adik atau kakak, diiming-imingi gaji yang besar, dan lain sebagainya. Sebenarnya, dengan pertanyaan sesederhana itu saja, kita sudah menemukan akar persoalannya. Artinya, persoalan yang mendasari hasrat para buruh migran untuk mengadu nasib di luar daerah atau luar negeri adalah masalah sosial ekonomi.
Namun demikian, ketika berbicara tentang solusi terhadap masalah-masalah pekerja migran, fokus perhatian para pengambil kebijakan justru lebih banyak ditujukan kepada hal-hal yang sebenarnya bukan menjadi substansi persoalan. Padahal, fokus perhatiannya seharusnya ditujukan pada akar persoalannya. Alasan para buruh migran mencari pekerjaan di luar daerah seharusnya dijadikan panduan dalam merancang program yang menjadi solusi terhadap masalah-masalah terkait pekerja migran. Kalau kebanyakan dari mereka menjadi buruh migran karena kurangnya lapangan pekerjaan, maka program yang dikembangkan seharusnya adalah pembukaan lapangan kerja. Kalau soalnya adalah SDM karena berpendidikan rendah, maka solusinya adalah galakkan peningkatan pendidikan dan pembukaan sekolah-sekolah baru di berbagai daerah terpencil sehingga bisa memutuskan rantai persoalan itu. Kalau keluhannya untuk membiayai sekolah saudaranya, maka galakkan beasiswa dan bila perlu buat program sekolah gratis. Kalau persoalannya adalah manipulasi dan iming-iming gaji besar, maka desainlah model sosialisasi dan pendekatan yang bisa menjawabi persoalan tersebut.
Seandainya semua keluhan masyarakat sudah terjawab, maka saya yakin dengan sendirinya persoalan perdagangan orang dan kasus kematian tenaga kerja asal NTT akan menurun, bahkan tidak ada. Tidak mungkin orang diperdagangkan atau meninggal dunia di tempat kerja kalau tidak ada lagi orang yang memaksakan diri untuk pergi bekerja sebagai buruh migran di tempat lain.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengabaikan apa saja yang sudah dilakukan selama ini untuk mengatasi masalah-masalah pekerja migran. Namun, lewat tulisan ini, kita diajak untuk memberikan perhatian secara maksimal kepada hal yang lebih substantif dan bisa menjawabi akar persoalan yang sesungguhnya. Dengan menaruh perhatian lebih kepada hal-hal yang lebih substantif dan mendiskusikannya terus-menerus, maka kita akan mempunyai visi yang sama, saling menyadarkan, dan meningkatkan kualitas berfikir kita hingga sampai ke semua aspek. Bukan saja kasus perdangangan orang dan tingginya angka kematian tenaga kerja asal NTT yang bisa teratasi, tetapi juga masalah-masalah kehidupan lainnya.
*Tulisan ini kemudian diterbitkan di Surat Kabar Harian Umum Flores Pos tanggal 12 April 2019. Dengan judul “Perdagangan Orang dan Kematian Buruh Migran (Mari Beralih kepada Substansi Persoalannya)”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H