Mohon tunggu...
Michael Don Lopulalan
Michael Don Lopulalan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Antropologi Budaya UGM

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tawa dan Refleksi: Belajar dari Stand-Up Comedy

13 Desember 2018   20:55 Diperbarui: 14 Desember 2018   06:34 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hal bercanda, seorang komika tampaknya harus mulai berhati-hati dalam melancarkan materi di depan khalayak. Tahun ini, beberapa komika dalam negeri tengah terjerat kasus karena materi yang dianggap menyinggung.

Joshua Suherman, Ge Pamungkas, dan Pandji Pragiwaksono adalah contoh komika Indonesia yang dituduh menyinggung beberapa pihak melalui materi yang disampaikan. 

Tak hanya mereka, banyak komika lain yang mengalami masalah ketika materi yang disampaikan dianggap menyinggung suatu pihak. Lantas, bagaimana materi yang cocok dibawakan di atas panggung 'penuh tawa'? Mengapa materi yang dipersiapkan cenderung menyinggung? Berbagai pertanyaan pun terus bermunculan dalam usaha memahami dunia standup comedy.

Oleh karena itu, tulisan ini muncul sebagai ajakan kepada pembaca untuk memahami sedikit bagian dari panggung standup comedy melalui tiga bagian. Pertama, relasi komika dengan materi dan penonton. Kedua, peran komika sebagai pemberi kritik sosial. Ketiga dan sekaligus terakhir, refleksi atas dunia komedi kepada lingkup yang lebih luas. 

Tiga pembagian di atas diharap dapat mengantarkan pembaca kepada pemahaman terhadap dunia standup comedy yang tak hanya memunculkan tawa, namun juga mengemban peran edukasi.

Dunia Alernatif Komika

Untuk mengawal pembahasan ini, sebuah pertanyaan perlu diajukan yaitu: Mengapa orang tertawa dalam sebuah pertunjukkan stand-up-comedy? Dibalik jawaban sederhana, "ya, kan, karena lucu", tersimpan jawaban yang melibatkan peran komika dan fungsi tawa dalam pertunjukkan stand-up.

Roger B. Henkle (1982), dalam "The Social Dynamics of Comedy", menyatakan bahwa 'komedi adalah ekspresi untuk melepas keterikatan dari beberapa hal yang telah lama terpendam'. 

Hal-hal yang dikategorikan kepada kolom 'terpendam' tidak hanya berdasar penyebab tunggal. Terlarang, tak pantas, berbahaya, serta dapat mengganggu kestabilan sosial adalah beberapa argumen yang menyebabkan serangkaian topik harus dipendam.

Melalui berbagai jenis hal terpendam, kita dapat melihat cara suatu masyarakat memandang realita sekitar. Penekanan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan) supaya tidak dibahas di ruang publik adalah cara masyarakat plural di Indonesia memandang sekitar. Terlebih dengan berlakunya UU ITE, isu SARA semakin terpendam jauh dari perbincangan formal sehari-hari.

Salah satu cara menilik kembali hal-hal yang dipendam adalah melalui dunia standup comedy. Standup Comedy, seperti yang dikatakan Robert M. Torrance dalam Henkle (1982), telah menciptakan dunia alternatif dengan nilai yang berbanding terbalik dengan nilai dominan dalam masyarakat umum. Pada titik inilah, peran komika sebagai mediasi sangat dibutuhkan.

Dalam mengantar penonton kepada dunia alternatif (dengan nilai alternatif pula), komika harus mengambil banyak peran. Lawrence E. Mintz (1985), dalam "Standup Comedy as Social and Cultural Mediation", menyebutkan bahwa komika (pelawak) harus menjadi kesatuan dari komentator sosial, peraga buruk (negative exemplar), serta shaman. Sebagai komentator sosial, komika dituntut untuk berani menampilkan suatu kebenaran yang dianggap tabu secara politis (Mintz 1985). 

Sebagai peraga buruk, komika diharapkan menampilkan sisi inferioritas yang penuh ambigu. Sebagai shaman, komika menjadikan momen standup comedy sebagai sebuah ritual yang 'merayakan' penyebaran pemahaman kultural. Tiga peran tersebut telah menjadikan komika sebagai sosok yang mengantar penonton kepada dunia alternatif dengan medium komedi.

Selain itu, ketika penonton telah berada dalam dunia yang sama dengan komika maka penonton cenderung merasa nyaman untuk tertawa. Peran komika yang inferior akan memunculkan rasa superior di kalangan penonton yang memudahkan lepasnya gelak tawa. Selain itu, tawa muncul sebagai respon terhadap sosok alternatif yang penuh kejutan dalam membahas hal yang tabu dibicarakan sehari-hari.

Oleh karena itu, komika dan penonton memiliki relasi erat yang saling berhubungan satu sama lain. Komika menyampaikan materi (dengan berbagai 'peran'), sementara penonton merespon melalui tawa. 

Sehingga, alasan penonton tidak hanya karena lucu melainkan tanda dari tumbuhnya kesadaran. Setuju atau tidak setuju adalah perihal lain, namun kesadaran adalah sebab utama kemunculan gelak tawa penonton. Kesadaran menuntun kepada pemahaman, pemahaman menandakan proses belajar.

Menurut saya, peran komika tidak terbatas pada tiga peran komika oleh Mintz. Ada satu peran lain yaitu sebagai pengajar. Komika menyadarkan penonton kepada hal-hal yang tak diperhatikan adalah sama seperti guru membimbing siswa untuk berpikir kritis. Lantas, jika guru memberi materi dalam satu bidang tertentu, apa mata pelajaran yang diampu oleh komika?

'Menyentil' Hegemoni

Dalam menciptakan dunia alternatif melalui sosok alternatif, komika punya agenda utama selain menghibur penonton dengan berbagai elemen kejutan. Agenda utama komika adalah kritik sosial.

Katja Antonie (2016), dalam "'Pushing the Edge' of Race and Gender Hegemonies through Stand-up Comedy: Performing Slavery as Anti-racist Critique", menyatakan bahwa panggung standup comedy digunakan komika sebagai wadah untuk menggeser batas-batas hegemoni. Secara tidak langsung, sebenarnya pernyataan Antonie sedikit menjelaskan alasan banyak pihak merasa tersinggung dengan materi standup.

Hegemoni dapat diartikan sebagai pemakluman kondisi dominasi oleh kelompok tertentu. Suatu hal dapat masuk ke dalam pengaruh hegemoni ketika hal tersebut dianggap lumrah tanpa ada alasan yang jelas. 

Biasanya hegemoni menyangkut permasalahan gender, ras, serta etnis. Sehingga ketika komika menyentil suatu hal yang telah dianggap lumrah, sentilan tersebut dapat diartikan berbeda sesuai pemahaman personal.

Standup, sebagai wahana alternatif, bertujuan untuk 'menyentil' batas-batas hegemoni melalui gaya komedi di atas panggung. Ketika batas hegemoni berusaha 'didorong' melalui pembahasan gender atau ras (atau SARA), maka komika sebenarnya sedang meluncurkan kritik sosial. 

Setelah menyadari hal ini, fenomena komika yang menyinggung dapat dipahami sebagai hal yang lumrah yaitu sebagai usaha komika untuk memberi penyadaran penonton terhadap fenomena-fenomena tertentu.

Sebagai salah satu contoh adalah komika Leslie Jones (Antonie 2016). Jones adalah komika wanita kulit hitam di Amerika Serikat yang pernah menghadapi cuitan khalayak umum setelah pembawaan materi standup tentang perbudakan kulit hitam di Amerika. 

Terlepas dari berbagai respon serta kemarahan yang tertuju kepadanya, Leslie Jones membawa materi tersebut untuk mengkritik orang kulit putih [MDL1] serta pemahaman feminitas wanita kulit hitam di Amerika Serikat.

Leslie Jones tak berbeda dengan posisi Joshua Suherman, Coki Pardede, Tritan Muslim, atau Ge Pamungkas. Mereka dianggap menyinggung karena memang materi yang disusun didasarkan kepada urgenitas tertentu. Leslie Jones dengan kondisi masyarakat Amerika. Empat komika Indonesia dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Melalui pemahaman tentang materi komika, pertanyaan yang melibatkan komika sebagai pengajar dapat dijawab. Mata pelajaran khusus yang diampu komika dalam panggung adalah 'Pendidikan Tawa'. Bukan pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, atau bahkan pendidikan jasmani dan kesehatan. 

Dalam mata pelajaran pendidikan tawa, komika memberi alternatif dalam metode pembelajaran yang dianggap remeh yaitu melalui tawa. Sebagai pengajar, komika membuktikkan bahwa pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh melalui ruang formal yang cenderung serius dan penuh ketegangan.

Belajar dari Tawa

Berkomedi berarti belajar dari tawa. Dalam peran komika sebagai pengajar, penonton sebagai pelajar juga dituntut untuk belajar. Tak hanya tertawa terbahak-bahak, penonton diharuskan untuk memproses komedi yang disampaikan sebagai pernyataan yang sarat makna. 

Kritik sosial yang berusaha disampaikan oleh komika melalui materi seringkali terlontar secara implisit. Sehingga, penonton harus mengklarifikasi dan membuktikan berbagai pernyataan yang disampaikan komika---seperti halnya relasi guru dan murid.

Selain komedi sebagai wadah alternatif, komedi juga merupakan wadah pendidikan yang memberi kesempatan orang untuk terus belajar mengenai dirinya dan orang lain. Dengan menertawakan komika, penonton telah menertawakan diri sendiri dan orang lain. 

Dengan menertawakan diri sendiri serta orang lain, tensi dan amarah yang dipendam karena pembentukan persepsi atas stereotip akan perlahan reda. Melalui ruang komedi, perbedaan seketika melebur menjadi satu dalam kerangka tawa dan refleksi pribadi.

Tuntutan refleksi dalam standup comedy sama halnya dengan tuntutan refleksi dalam segala pengetahuan yang sempat diterima. Tanpa refleksi pengetahuan terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar, pengetahuan yang diterima tidak akan memberi dampak. Pun tawa tanpa refleksi hanya menimbulkan rasa senang sementara. 

Karena refleksi, seperti halnya di dunia pendidikan, dapat menuntun kepada perubahan yang nyata. Sedangkan tanpa refleksi, materi komika hanya sekedar memunculkan tawa atau amarah berlebih.

 Melalui refleksi, tertawa tidak selalu dipahami sebagai tindakan mengejek atau merendahkan suatu hal. Karena dalam dunia alternatif, tertawa juga berarti sadar atas hal-hal yang tak pernah dibahas dan tanda tergesernya batas hegemoni secara perlahan.  

[MDL1]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun