Dalam mengantar penonton kepada dunia alternatif (dengan nilai alternatif pula), komika harus mengambil banyak peran. Lawrence E. Mintz (1985), dalam "Standup Comedy as Social and Cultural Mediation", menyebutkan bahwa komika (pelawak) harus menjadi kesatuan dari komentator sosial, peraga buruk (negative exemplar), serta shaman. Sebagai komentator sosial, komika dituntut untuk berani menampilkan suatu kebenaran yang dianggap tabu secara politis (Mintz 1985).Â
Sebagai peraga buruk, komika diharapkan menampilkan sisi inferioritas yang penuh ambigu. Sebagai shaman, komika menjadikan momen standup comedy sebagai sebuah ritual yang 'merayakan' penyebaran pemahaman kultural. Tiga peran tersebut telah menjadikan komika sebagai sosok yang mengantar penonton kepada dunia alternatif dengan medium komedi.
Selain itu, ketika penonton telah berada dalam dunia yang sama dengan komika maka penonton cenderung merasa nyaman untuk tertawa. Peran komika yang inferior akan memunculkan rasa superior di kalangan penonton yang memudahkan lepasnya gelak tawa. Selain itu, tawa muncul sebagai respon terhadap sosok alternatif yang penuh kejutan dalam membahas hal yang tabu dibicarakan sehari-hari.
Oleh karena itu, komika dan penonton memiliki relasi erat yang saling berhubungan satu sama lain. Komika menyampaikan materi (dengan berbagai 'peran'), sementara penonton merespon melalui tawa.Â
Sehingga, alasan penonton tidak hanya karena lucu melainkan tanda dari tumbuhnya kesadaran. Setuju atau tidak setuju adalah perihal lain, namun kesadaran adalah sebab utama kemunculan gelak tawa penonton. Kesadaran menuntun kepada pemahaman, pemahaman menandakan proses belajar.
Menurut saya, peran komika tidak terbatas pada tiga peran komika oleh Mintz. Ada satu peran lain yaitu sebagai pengajar. Komika menyadarkan penonton kepada hal-hal yang tak diperhatikan adalah sama seperti guru membimbing siswa untuk berpikir kritis. Lantas, jika guru memberi materi dalam satu bidang tertentu, apa mata pelajaran yang diampu oleh komika?
'Menyentil' Hegemoni
Dalam menciptakan dunia alternatif melalui sosok alternatif, komika punya agenda utama selain menghibur penonton dengan berbagai elemen kejutan. Agenda utama komika adalah kritik sosial.
Katja Antonie (2016), dalam "'Pushing the Edge' of Race and Gender Hegemonies through Stand-up Comedy: Performing Slavery as Anti-racist Critique", menyatakan bahwa panggung standup comedy digunakan komika sebagai wadah untuk menggeser batas-batas hegemoni. Secara tidak langsung, sebenarnya pernyataan Antonie sedikit menjelaskan alasan banyak pihak merasa tersinggung dengan materi standup.
Hegemoni dapat diartikan sebagai pemakluman kondisi dominasi oleh kelompok tertentu. Suatu hal dapat masuk ke dalam pengaruh hegemoni ketika hal tersebut dianggap lumrah tanpa ada alasan yang jelas.Â
Biasanya hegemoni menyangkut permasalahan gender, ras, serta etnis. Sehingga ketika komika menyentil suatu hal yang telah dianggap lumrah, sentilan tersebut dapat diartikan berbeda sesuai pemahaman personal.