RESEPTIF BUDAYA
Oleh: Michael C. Dumatubun
Reseptif Budaya merupakan suatu penyesuain diri pada budaya asing yang dimasukkan ke dalam cara hidup masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya jaman-jaman atau kultur dari bangsa luar yang masuk, contohnya di Indonesia pernah mengalami jaman-jaman kebudayaan Hindu-Buddha, Islam, Tionghoa, dan Eropa. Adanya jaman-jaman ini mempengaruhi pola kehidupan yang ada di masyarakat Indonesia.
Menurut penulis, pada jaman tersebut, masyarakat Indonesia mulai mengenal ilmu arsitektur seperti pembuatan candi. Masyarakat juga mengenal dan mendalami sastra yang dibawa oleh para pedagang dari luar.Â
Dengan adanya bukti perubahan budaya yang terjadi di Indonesia, bisa dikatakan bahwa Indonesia memiliki sifat "Reseptif Budaya". Dapat dilihat bahwa sejak jaman dahulu, masyarakat Indonesia dapat dengan mudah menyerap dan menyesuaikan diri dengan budaya bangsa luar. Begitu juga dengan fenomena yang sedang marak-maraknya terjadi yaitu Citayam Fashion Week.
Menurut penulis, Citayam Fashion Week yang mana para generasi milenial berpakaian dengan bebas. Bebas yang dimaksudkan disini yaitu generasi milenial mengekspresikan diri mereka melalui pakaian-pakaian yang dalam bahasa gaulnya sedang "nge-trend" atau "kekinian". Jika dilihat fenomena ini menjadikan generasi milenial dapat menggunakan teknologi informasi secara inovatif dan kreatif. Pada jaman serba teknologi ini, generasi milenial dapat menyesuaikan diri dengan jaman sekarang ini atau "Jaman Industri 4.0".
Penulis melihat dari fenomena Citayam Fashion Week ini, berbagai industri lokal mengalami keuntungan. Pemasaran brand lokal, tempat diselenggarakannya Citayam Fashion Week pun mulai terekspos. Hal ini yang sangat diharapkan oleh generasi milenial.Â
Dengan gerakan yang dilakukan para generasi milenial, dapat membawa suatu kemajuan maupun perubahan pada suatu tempat. Tidak hanya dalam bidang pemasaran atau ekonomi, dari beberapa pengunjung yang berada di Citayam Fashion Week mengatakan bahwa mereka merasa bebas dengan apa yang mereka lakukan di Citayam Fashion Week tersebut.
Dari hal ini saya menyadari bahwa dalam bidang psikologi pun para pengunjung yang berasal dari kalangan anak muda mendapat "posisi sosial" mereka yang terjadi lewat interaksi dan menyebabkan mereka merasa diterima dan disukai. Selain itu, ada juga para pengunjung yang datang untuk "healing". Hal-hal inilah yang membuat beberapa anak muda mendapat identitas diri mereka lewat ekspresi berpakaian mereka.
Dengan jaman yang sudah serba instan ini, penulis melihat bahwa masyarakat Indonesia secara tidak sadar maupun sadar telah menyerap budaya barat sehingga pola hidup masyarakat mulai berganti dan terkesan "kebaratan". Ditakutkan bahwa masyarakat Indonesia lebih memilih budaya luar daripada budaya sendiri, sehingga budaya lokal yang ada menjadi pudar dan terlupakan.Â
Padahal jika dilihat lagi, Indonesia menjadi negara yang unik dengan berbagai budayanya yang ada sehingga dijuluki sebagai Heaven on Earth.Â
Perlu diingatkan kembali, sebagai warga negara Indonesia seharusnya kita bangga akan keindahan budaya yang ada dan melestarikannya bukan merusak dan menghilangkannya. Hal ini perlu ditekankan lagi  kembali karena budaya kitalah yang menjadi jati diri dan cerminan dari  perjuangan dari para pahlawan yang telah berjuang dalam menggapai kemerdekaan negeri kita ini.
Dengan teknologi yang mulai terekspos secara luas di berbagai daerah dan diperkirakan bahwa setiap individu hampir semua memiliki divice yang menghubungkan dengan internet, masyarakat Indonesia tidak lagi memperhatikan kekayaan yang dimiliki oleh negeri kita ini, sebagai contoh pasar tradisional telah tersaingi dengan pasar during yang lebih cepat dan instan.Â
Dengan corak kehidupan seperti ini, "Reseptif Budaya" yang dikatakan telah diresap oleh masyarakat Indonesia menjadi modernisasi. Hal ini merubah pola kehidupan masyarakat tradisional menjadi modern.
Perubahan ini dapat berdampak positif maupun negatif pada masyarakat tergantung pada cara penerapan seperti apa yang ingin dibangun. Apakah tetap berjalan bersama budaya lokal dengan budaya modern? atau Apakah ingin merubah budaya lokal dengan budaya modern?
Disinilah peran dari generasi milenial yang dituntut untuk menjaga nilai-nilai budaya agar tidak berganti dengan budaya luar sehingga identitas sebagai negara yang berada dalam diri anak muda tidak menghilang. Generasi milenial juga harus bangkit untuk menjalankan tugas untuk melestarikan budaya yang ada di negeri kita ini.Â
Nilai-nilai yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan juga harus dilestarikan seperti jiwa nasionalisme, persatuan lewat gotong royong, dan rasa bangga dengan kekayaan yang ada di Indonesia.Â
Oleh sebab itu, anak muda perlu memanfaatkan teknologi untuk dapat mengembangkan diri dan mengeksplorasi informasi secara benar dan bijak agar negeri ini dapat semakin  berkembang dan semakin maju, sehingga masyarakat pun semakin sejahtera.
Selain itu, habitus literatif pun perlu dibangun dan dibiasakan agar para generasi milenial tidak hanya mengikuti "trend-trend" saja tetapi dapat melihat apakah "trend-trend" ini bermanfaat bagi saya dan bersifat "Bonum Commune" (demi kebaikan bersama) atau tidak.Â
Jika "trend-trend" tersebut hanya sebagai sarana untuk ikut-ikutan tetapi tidak ada kedalaman dalam menyikapinya, maka bisa-bisa generasi milenial dan negeri kita dapat dijungkir balikkan oleh bangsa luar, sehingga
Hal ini perlu ditekankan lagi agar para generasi milenial tetap bergerak secara inovatif dan kreatif serta selektif dalam menyikapi perubahan pada dunia informasi agar budaya lokal dapat melebur dan berjalan bersama dalam jaman sekarang ini karena jika tidak maka generasi milenial bakal mudah diambil oleh bangsa luar.Â
Jika terjadi hal seperti ini, maka negeri kita dapat mengandalkan siapa lagi jika bukan para anak muda yang mampu bergerak dan membawa perubahan yang baik dalam masyarakat dan bagi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H