Oleh karena itu, dengan rendahnya kualitas literasi di Indonesia (berdasarkan data OECD, PISA 2017), maka kita membuka peluang bagi kecacatan logika di tanah air. Hal ini pasti berdampak bagi kontestasi politik di tahun ini. Jika masyarakat masih mudah terprovokasi oleh hal-hal yang irasional dan membawa sentimen negatif, maka dalam seratus tahun sekalipun bangsa kita TIDAK AKAN PERNAH MAJU dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Mengapa? Kebangkitan intelektual dan inovasi tidak akan pernah terjadi tanpa adanya kemajuan literasi.
Lalu bagaimana solusi dari permasalahan ini? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengejar ketertinggalan literasi bangsa Indonesia, dengan cara mensosialisasikan perpustakaan jalanan dan umum di setiap provinsi/kabupaten hingga pelosok desa. Mengapa? Menumbuhkan minat baca merupakan kunci utama dalam pengembangan literasi.
Adanya perpustakaan jalanan dapat menolong masyarakat menengah ke bawah, seperti pengamen dan anak-anak jalanan 'melek' literasi dan mampu berpikir secara rasional dan terstruktur. Perpustakaan umum juga berperan penting untuk menjadi tempat 'nongkrong' generasi muda, sehingga perpustakaan harus dirancang semenarik dan secanggih mungkin, sehingga anak- anak muda pun tertarik untuk berlama-lama di perpustakaan. Sebut saja, dengan menambahkan fasilitas free wifi atau kafe di perpustakaan.
Langkah kedua yang harus dilakukan adalah memperbaharui kurikulum, di mana terdapat pelajaran menulis. Di dalam pelajaran ini, siswa dituntut menulis apa saja yang ia mau, baik fiksi maupun non-fiksi. Sehingga, siswa dituntut berpikir kritis dan kreatif dalam menyusun sebuah karya tulis.
Dalam pelajaran ini, guru tidak dianjurkan untuk membatasi siswa. Guru hanya menyediakan topik utama serta menjelaskan kerangka berpikir yang ideal dalam menulis. Jika hal ini konsisten dilakukan, maka siswa pun akan terlatih berpikir konstruktif dan kritis. Akhirnya, cara mereka menyampaikan pendapat pasti mengikuti.
Langkah ketiga adalah meningkatkan literatur dan vlog/ video interaktif yang mengilustrasikan cara mengkritik dengan benar. Sehingga masyarakat, khususnya netizen tidak mengotori ruang publik dengan pernyataan yang tidak berbobot dan out of context. Melainkan, mereka memahami suatu topik secara menyeluruh, dengan tatanan logika yang tertata rapih. Sehingga masyarakat tahu bagaimana cara mengkritisi suatu fenomena tanpa ada cacat logika/ logical fallacies.
Semua alternatif di atas jelas membutuhkan proses. Namun, jika kita tidak memulainya, sampai kapan Indonesia akan dilanda krisis logika dan illiterasi? Ayo, kita benahi kehidupan politik di Indonesia, dengan meningkatkan literasi bangsa! Supaya, proses demokrasi dan politik praktis di Indonesia semakin berkualitas.
Jadi, jangan hanya sibuk koar koar #2019gantipresiden atau #2019tetapJokowi, tapi sudah saatnya kita #2019gantiotak terlepas dari keberpihakan politik kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H