Puisi ini ditulis oleh Gus Mus pada tahun 1987 yang berisi kritik sosial untuk pemerintahan orde baru. Puisi ini secara garis besar mengisahkan kekecewaan yang dialami rakyat karena buruknya kinerja pemerintah.
 Pada masa itu pemerintah memiliki kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Penyelewengan tersebut dilakukan secara masif hingga berani untuk melanggar hak rakyat yang seharusnya diperjuangkan oleh pemerintahan.
Struktur kebahasaan yang digunakan oleh penulis tergolong sederhana sehingga memungkin pembaca dari segenap lapisan masyarakat untuk memahami isinya. Puisi tersebut menggunakan sebuah pola kalimat yang terus diulang-ulang hingga akhir puisi.Â
Pada pola-pola tersebut terkandung makna yang selalu kontradiktif antara yang dilakukan oleh "aku" dan "kau". Kata "aku" memiliki makna sebagai suara rakyat yang taat tetapi selalu ditindas. Sedangkan, kata "kau" merepresentasikan pihak pemerintah yang selalu menuntut dan menyelewengkan mandat
 Repetisi pola kalimat menunjukan kekecewaan dan kebingungan yang amat mendalam. Puisi ini telah berhasil menjadi curahan hati dari rakyat yang kehabisan kata menanggapi perilaku penyelewengan pemerintah.
Isi dari puisi ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga konteks yang saling terkait. Konteks pertama pada bagian awal puisi menekankan pembungkaman hak beraspirasi dan berekspresi rakyat dalam berdemokrasi.Â
Melalui kata-kata yang tertulis ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa pemerintah ketakutan apabila rakyat sungguh merdeka untuk beraspirasi dalam demokrasi.
 Para wakil rakyat telah menerima kenyamanan dan kesejahteraan sehingga situasi seperti ini ingin selalu dipertahankan. Puisi ini menyatakan kondisi bangsa yang merdeka tetapi kondisi masyarakatnya masih terjajah serta terkekang dengan langgeng-nya pemerintahan yang otoriter.
Jejak histori membuktikan kecenderungan pada masa Orde Baru bahwa masyarakat yang berani beraspirasi dituduh sebagai pemberontak yang mengganggu kesejahteraan rakyat. Para pemberontak layak untuk dibasmi dengan berbagai cara yang sangat melanggar HAM. Pemerintah menjadi antikritik dan selalu mencari kesalahan dari rakyat.Â
Masyarakat banyak yang menjadi korban tanpa proses peradilan yang jelas. Pemerintah selalu beranggapan bahwa apapun masalah dan persoalannya, rakyatlah penyebab utamanya.
Pada bagian tengah puisi dapat dimaknai penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah akan selalu berdampak bagi seluruh sendi kehidupan rakyatnya. Pada bagian-bagian ini menyoroti pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya.Â