Di era reformasi saat ini, Polri menghadapi banyak sekali tugas kepolisian yang harus diselesaikan, khususnya tugas dalam menegakkan hukum dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai aparat penegak hukum, penegakan hukum dilaksanakan terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah Indonesia. Sedangkan sebagai aparat yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri dituntut untuk menindak pihak-pihak yang mengganggu tertib sosial di tengah masyarakat.
Dalam rangka melaksanakan tugas kepolisian sebagaimana diamanatkan dalam UU Polri tersebut, tentunya diperlukan pembiayaan keuangan dan anggaran yang memadai. Sebagai lembaga negara, dalam melaksanakan tugasnya, Polri didukung oleh alokasi APBN yang bersumber dari pemerintah setiap tahunnya. Dalam menggunakan anggaran yang berasal dari APBN tersebut, tentunya Polri dituntut untuk mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan anggaran yang telah dioperasionalkan tersebut.
Setelah pemisahan TNI dan Polri, manajemen anggaran dan keuangan Polri banyak mengalami perubahan dan perkembangan dalam penerimaan, pengelolaan, penyaluran, pembiayaan keuangan negara khususnya  dana yang berasal dari APBN. Terlebih lagi Sejak tahun 2003, pemerintah memberlakukan 3 pilar undang-undang terkait dengan keuangan Negara,  antara lain,  UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara, UU No.1 tahun 2004 tentang pembendaharaan Negara dan UU No.15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Selain itu, dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Polri, telah muncul Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, yang telah mengalami perubahan selama 4 kali, yang menjadi pedoman bagi Polri sebagai lembaga pemerintah dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Polri. Keppres tersebut berlaku bagi Polri karena pengadaan barang dan jasa di lingkungan Polri menggunakan anggaran dan keuangan yang berasal dari APBN.
Dalam konteks satuan setingkat KOD, proses pengadaan barang dan jasa dituntut untuk dilaksanakan secara terbuka, transparan, dan akuntabel sehingga menghasilkan kualitas barang dan jasa yang tinggi dan bermutu. Pengalaman selama ini masih menunjukkan bahwa proses pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD masih terjadi beberapa penyimpangan yang disebabkan tidak diketahuai aturan pelaksanaan maupun sengaja dilakukan untuk kepentingan tertentu.
Selain itu persepsi masyarakat masih menilai bahwa pemenang dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD adalah rekanan / pihak ketiga yang masih memiliki keterkaitan dengan panitia pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD maupun titipan dari pihak-pihak tertentu yang harus diterima pihak KOD karena bersifat intervensi kekuasaan. Masyarakat masih menilai bahwa terdapat praktek Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan KOD.
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan Polri telah berpedoman pada aturan hukum sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 80 Tahun 2005 dan perubahannya guna menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Hal ini untuk menghindari adanya berbagai praktek penyimpangan dan pelanggaran terhadap kemurnian pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang pada akhirnya merugikan keuangan dan hasil yang didapat organisasi Polri.
Dalam kaitan dengan satuan setingkat KOD, proses pengadaan barang dan jasa masih terdapat beberapa potensi penyimpangan dan pelanggaran aturan Keppres 80 / 2003, khususnya antara panitia pengadaan barang dan jasa dengan pihak ketiga / rekanan. Praktek pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD banyak dikeluhkan oleh masyarakat karena masih bersifat tertutup dan kurang transparan.
Dalam konteks itu, dibutuhkan penerapan sistem pelelangan umum dalam proses pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD. Penerapan sistem pelelangan terbuka akan sangat bermanfaat dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD. Penerapan sistem pelelangan umum akan mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD.
Sistem pelelangan umum dalam pengadaan barang dan jasa akan dapat mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan satuan Polri setingkat KOD. Dengan penerapan sistem pelelangan umum akan dapat menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang dan jasa yang rawan akan tindak pidana korupsi. Proses lelang terbuka yang terbuka, transparan, dan akuntabel sangat memungkinkan bagi satuan KOD untuk meningkatkan kualitas kegiatan yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga/rekanan
Upaya menerapkan sistem pelelangan umum dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD dilakukan dengan cara mengumumkan secara terbuka pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, melalui proses pra dan paska kualifikasi dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat KOD.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H