Keadilan restoratif (restorative justice) sebagai proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam tindak pidana datang bersama-sama untuk menyelesaikan secara kolektif dan bersama bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.
Dalam hal penyelesaian kecelakan lalulintas ketika terjadi kecelakaan, polisi menjadi mediator atau wadah penengah diantara kedua belah  pihak, kepolisian dalam menyelesaiakan kecelakaan melihat dan mencermati kasusnya terlebih dahulu apa bila kecelakaannya hanya berupa kecelakaan ringan yang hanya mengakibatkan kerusakan ataupun luka, tapi hanya luka goresan maka dalam hal ini kepolisian melakukan tindakan dengan cara mengupayakan kasus ini bisa di bicarakan terlebih dahulu kepada kedua bela pihak,bilamana kedua bela pihak menghendaki kasusnya di mediasi maka kedua belah pihak bernegosiasi terlebih dahulu bagaimana pelaku dalam hal ini ketika ingin menanggung segala bentuk kerusakan atau kerugian yang di akibatkan kelalaiannya maka pelaku menawarkan berapa besaran kerugian yang harus di tanggungnya ,ketika korban dalam hal ini sepakat atas pemberian dan menerima segala bentuk pemberiannya maka kedua bela pihak menuliskan dalam bentuk perjanjian di atas kertas dan di bubuhi materai demi mendapatkan kekuatan hukum atas perjanjian dan di tandatangani oleh kedua bela pihak dan kepolisian juga ikut bertandatangan sebagai pihak yang mengetahui perjanjian dan kesepakatan tersebut.
Penerapan restorative justice dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa sering dijumpai dan seakan menjadi dalil bagi para pihak untuk dijadikan bentuk kesepakatan pertanggungjawaban pidana.Â
Namun , permasalahan timbul ketika kebutuhan akan pentingnya restorative justice dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas khususnya yang menimbulkan korban jiwa dihadapkan dengan berbagai benturan  seperti benturan sistem pemidanaan yang berlaku, benturan kepentingan pelaku dan korban, serta benturan terhadap nilai kepastian hukum.sehingga memunculkan ambiguitas terhadap penerapan restorative justice itu. Misalnya ketika pelaku telah mengganti rugi akibat dari tindakan yang dilakukannya kepada korban tetapi perkaranya masih tetap diproses.
Berdasarkan  pendekatan yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa restorative justice sangat dibutuhkan oleh para pihak baik pelaku, korban maupun masyarakat serta aparat penegak hukum.Â
Seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai tujuan pemidanaan maka penerapan restorative justice terhadap kasus-kasus kecelakaan lalu lintas memiliki prospek yang terbuka untuk dapat diterapkan secara formil.Â
Melalui perumusan kebijakan restorative justice secara formil kedalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maka nilai kepastian hukum akan di dapat oleh para pihak.Â
Sehingga konsep restorative justice dalam penyelesaian kasus kecelakaan memiliki payung hukum yang tetap yang pada akhirnya pelaksanaan penyelesaian masalah kecelakaan antara korban dan pelaku dapat mencapai tujuan yang diinginkan kedua belah pihak.
Penggunaan prinsip restorative justice hanya dapat dilakukan apabila pelaku kecelakaan lalu lintas dalam keadaan sehat dan tidak terkontaminasi minuman keras atau obat-obatan terlarang.Â
Selain itu, penggunaan prinsip restorative justice pada kecelakaan lalu linta yang mengakibatkan korban meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak.
Apabila salah satu pihak tidak menghendaki terjadinya perdamaian, maka proses penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas berat diselesaikan dengan cara restorative justice.