Halo, sahabat kompasiana. Salam sejahtera bagi kita semua. Pada kali ini kami ingin mengulik tentang bagaimana sistem dan kultur pendidikan Indonesia yang berpengaruh pada kondisi psikologis masyarakat Indonesia. Memang terdapat banyak unsur dalam pendidikan kita yang harus dibenahi, dan membutuhkan waktu dan tanggung jawab dari pihak yang tidak sedikit. Untuk lebih detailnya, silahkan scroll ke beberapa paragraf dibawah ini!
Pertama, kebanyakan orang sulit untuk mengapresiasi hasil karya atau usaha orang lain. Contohnya sangat banyak sekali. Mulai dari yang kecil hingga yang besar, seperti "ngapain sih loe gambar-gambar mulu. Kayak anak TK aja", "Eh, bikinin gue ini dong, tapi harga temen ya. Nanti kalo udah kelar gue lunasin", "Ah, masa bikin gitu doang mahal amat", dan lain sebagainya. Contoh lain yang sering terjadi di dunia pendidikan adalah ketika ada seorang siswa yang kedapatan sedang menggambar diluar pelajaran seni, dan langsung dihukum oleh guru yang sedang mengajar. Padahal ada cara yang lebih bijak untuk dilakukan, seperti "Bapak/ibu tahu kalau gambar kamu bagus, tapi gambarnya nanti dulu ya. Nanti kamu lanjutin kalau pelajaran sudah selesai. Sekarang fokus ke pelajaran bapak/ibu dulu." Dan, yang paling marak terjadi adalah mencontek. Tak lain dan tak bukan karena nilai yang dihasilkan kurang memenuhi target meskipun sudah belajar. Seringkali, orang-orang terlalu fokus pada hasil dan acapkali melupakan proses. Tak heran, cara-cara instan dan curang marak terjadi di masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, sabotase, dll.
Kedua, pola pendidikan kita hanya bersifat " memaksa" untuk menghafal secara teori daripada mencoba langsung di kehidupan nyata. Beberapa waktu lalu, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi membuat suatu gebrakan, yaitu menerapkan sistem "learning by doing" pada siswa-siswi di Purwakarta. Pelajaran matematika tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di lingkungan sekitar, seperti menghitung luas sawah di rumahnya. Metode ini jelas lebih efektif, karena siswa-siswi mengerti secara langsung, tidak bosan di kelas, dan lebih menyehatkan secara jasmani, karena aktivitas fisik lebih banyak.Â
Jika hanya belajar secara teoritis di dalam kelas, siswa-siswi sering merasa bosan dan terkesan kaku. Karena mereka mereka merasa dilakukan seperti robot atau mesin yang hanya bekerja seperti itu-itu saja, dan apabila hasil belajar tidak memuaskan, mereka merasa seperti terbuang. Albert Enstein mengatakan bahwa semua orang adalah jenius, tetapi sistem pendidikan seringkali membuat mereka idiot. Setiap orang memiliki potensi dan peluang yang sangat besar untuk diasah dan dikembangkan. Potensi tersebut hadir dalam bentuk yang bermacam-macam, bukan untuk diseragamkan.
Berikutnya, kompetisi yang berlebihan. Tuntutan bahwa siswa bernilai bagus adalah anak yang pintar, rajin, baik, dan lain-lain dan siswa bernilai jelek adalah anak yang bodoh, malas, dan lain-lain menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Sehingga, anak-anak yang bernilai jelek di sekolah merasa tersingkirkan dari masyarakat. Hasilnya? Tawuran, mencontek dan curang saat ujian, dan sebagainya menjadi efek dari kompetisi tersebut. Tidak naik kelas, tidak lulus, dan drop-out menjadi ujungnya.Â
Inilah yang menjadi sumber kerusakan mental anak-anak tersebut. Jika sudah begini, anak-anak tersebut seperti tidak memiliki masa depan yang baik. Padahal, mereka masih mendapat kesempatan untuk memperbaikinya. Jika ditangani dengan baik, mereka dapat menjadi pengusaha, programmer, desainer, teknisi,dsb.
Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, kompetisi sepertinya sudah tidak terlalu menjadi fokus utama, melainkan kolaborasi dengan kompetitor. Sebagai contoh, Isyana dan Raisa, Bluebird dan Go-jek, dll. Ini membuka banyak peluang untuk menghasilkan suatu karya yang berguna bagi masyarakat luas. Kerjasama, brainstorming, diskusi, dan lain-lain dapat memunculkan karya-karya yang brilian dan dapat diterima masyarakat. Bukannya fokus untuk bersaing mengalahkan satu sama lain, terlebih dengan cara yang tidak etis. Karena, banyak orang hanya fokus pada kompetisi dan hasil belaka, bukan bagaimana proses yang baik dan benar, dan  bekerjasama untuk berkarya.
Di balik kusutnya sistem pendidikan Indonesia, terdapat beberapa figur yang memberikan terobosan di dunia pendidikan, yang anehnya, mereka bukan berasal dari background pendidikan. Pande Putu Setiawan, Erix Soekamti, dan Andri Rizki Putra merupakan beberapa contohnya. Pande Putu Setiawan, seseorang yang pernah bekerja di PBB rela meninggalkan pekerjaannya demi membangun Komunitas Anak Alam, sebuah yayasan yang membantu anak-anak yang putus sekolah di daerah Bali.Â
Sumber pendanaan yayasan tersebut berasal dari para volunteer yang bersedia membantu semua kegiatan dan keperluan dari yayasan tersebut. Erix Soekamti, beserta seluruh anggota band Endank Soekamti asal Jogjakarta membangun Does University. Yaitu sekolah bakat dimana anak-anak jalanan, putus sekolah, peserta tawuran, dan lain-lain belajar meningkatkan skill mereka di bidang animasi, 3D modelling, programming, dll. Dalam sekolah tersebut tidak terdapat nilai, kompetisi, dan kurikulum.Â
Tetapi memperbanyak kreasi dan kolaborasi. Hasil karya dari siswa-siswanya adalah tergabung dalam creator kartun "Adit Sopo Jarwo", pembuatan video klip band Endank Soekamti, dll. Sedangkan Andri Rizki Putra merupakan pendiri Yayasan Pendiri Anak Bangsa (YPAB). Andri sendiri merupakan salah satu korban dari bobroknya sistem pendidikan Indonesia, dimana sewaktu beliau melaksanakan ujian nasional SMP, beliau diwajibkan untuk mencontek saat ujian oleh pihak sekolah dan mengancam jika melaporkan kecurangan tersebut ke pihak berwajib. Ketika masuk SMA, beliau hanya bertahan beberapa bulan di sekolah formal, lantaran sudah tidak percaya lagi terhadap institusi pendidikan formal di Indonesia.Â
Namun, ketika keluar dari sekolah formal, beliau memilih untuk belajar sendiri dan mengikuti ujian paket C, yang mengantarkannya ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jika dibandingkan dengan teman seangkatannya, beliau dapat dibilang " lulus" lebih cepat setahun. Pendiri alibaba.com, Jack Ma juga berpengaruh terhadap pendidikan, karena mengajak orangtua untuk mendidik anaknya dengan akhlak dan budaya, karena anak-anak bukanlah untuk diadu dengan mesin.
Berdasarkan contoh-contoh diatas, sudah selayaknya kita melakukan revolusi di bidang pendidikan agar dapat menciptakan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas, berintegritas, dan bermoral. Tentu bukan hal yang mudah demi mewujudkan revolusi pendidikan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi dari pemerintah dan masyarakat agar semua bisa terwujud dengan baik. Mari kita bersama-sama membangun, mengubah, dan mewujudkan sistem pendidikan yang bermoral, berkualitas, variatif, dan inovatif.
Jakarta, 12 November 2017
Made Widya Paramartha
Michael Bagaskara Pradiptha
Alfeus Aristarcus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H