Kuningan - Bangunan cagar budaya bercorak kolonial di atas lahan seluas 2,4 hektar, di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia melalui jalur diplomasi. Di tempat itu, Presiden Soekarno mengutus Sutan Syahrir bersama para delegasi Indonesia untuk beradu argumen dengan pihak Belanda, terkait status kemerdekaan Indonesia.Â
Proses diplomasi yang dikenal dengan perundingan Linggarjati itu pun berlangsung alot, pada 11 hingga 13 November 1946. Hasilnya, pihak Belanda untuk kali pertama mengakui kemerdekaan Indonesia, meski dengan catatan Indonesia menjadi bagian federasi dari kerajaan Belanda. Hasil perundingan Linggarjati itu diakui banyak menuai sikap pro dan kontra, baik di kalangan rakyat Indonesia, maupun pihak Belanda.
Namun lepas dari polemik perundingan Linggarjati, semangat mendahulukan kepentingan negara dan bangsa demi mendapatkan pengakuan kemerdekaan lewat jalur diplomasi, wajib dihargai dan dikenang sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Untuk itu, Komisi A DPRD DIY melakukan tapak tilas sejarah bangsa dengan mengunjungi Museum Perjanjian Linggarjati pada jumat (26/1/2024).
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, menyebut kunjungan ke Gedung Perundingan Linggarjati ini adalah rangkaian dari tapak tilas Bung Karno, dimana sebelumnya mereka telah mendatangi sejumlah tempat yang menjadi bagian dari sejarah hidup sang Proklamator kemerdekaan Indonesia.
"Peristiwa di Linggarjati ini memiliki jejak sejarah yang memberikan pelajaran penting, tentang bagaimana Soekarno bersama Sutan Syaharir dan para delegasi berhasil mengambil keputusan-keputusan penting menyangkut masa depan Indonesia. Misalnya di bidang militer yang menolak usulan penghapusan dan pelemahan tentara RI, karena dapat melemahkan pemerintahan RI saat itu," ujar Eko.
Politisi PDI Perjuangan itu pun menegaskan, seluruh pelajaran sejarah yang didapat dari rangkaian tapak tilas Bung Karno, kelak akan diabadikan dalam sebuah buku, sehingga bermanfaat untuk masyarakat umum.
"Komisi A DPRD DIY berencana menyusun sebuah buku di akhir periode, tentang perjalanan tapak tilas sejarah bangsa Indonesia. Kebetulan DIY menjadi daerah pertama yang memiliki Perda Pancasila dan Wawasan Kebangsaan, sehingga daerah lain sering belajar pada kita. Maka buku itu nantinya bisa menyempurnakan bagaimana perjalanan pemikiran dan spiritual dalam penyusunan Perda," pungkas Eko.