Ketika pertanyaan di atas mengemuka, hampir setiap orang bisa mendefiniskannya. Bahkan mulai dari anak SD sampai manula dapat dengan fasih menjelaskannya bla bla bla. Dalam pandangan saya, sepertinya terdapat kerancuan bagi kita orang Indonesia untuk dapat mendefinisikan korupsi itu dengan baik. Alasannya adalah jika kita dapat mendefinisikan korupsi itu dengan baik, tentulah kita bisa mendeteksinya sekaligus juga menghindarinya untuk tidak terlibat di dalamnya
Kali ini saya mencoba memberikan definisi dari sudut pandang yang berbeda, bukan dari sisi konseptual yang bersifat retorika tapi dari realita atas apa yang saya amati. Mengingat korupsi identik dengan uang, maka korupsi adalah “Perbuatan penyalahgunaan uang atau kekayaan yang dilakukan oleh orang lain dan terungkap kepada publik.”
Ada dua point penting pada definisi di atas yaitu oleh orang lain dan terungkap kepada publik. Ketika penggelapan uang dilakukan oleh diri sendiri maka itu bukan lagi dinamakan korupsi. Faktanya adalah sampai saat ini saya belum pernah mendengar adanya berita seseorang melapor dengan sukarela ke kantor polisi atau pengadilan dengan memberikan pengakuan bahwa dirinya telah melakukan perbuatan korupsi
Percaya atau tidak, ternyata korupsi telah menjadi dambaan sebagian orang yang saya temui. Salah seorang pejabat eselon II di salah satu departemen di Indonesia (bukan departemen keuangan), bahkan pusing dan mengeluh karena lahan korupsinya makin berkurang dan dia ditempatkan pada posisi yang ‘tidak strategis’. Dia sedang berusaha melakukan lobi agar dapat kembali berada di ‘zaman ke-emasan’
Ada juga seorang teman saya yang berkerja di salah satu perusahaan swasta yang berulang kali mengungkapkan bahwa dia ingin sekali bisa korupsi jika dapat kesempatan bekerja di instansi pegawai negeri
Di samping itu, reaksi kebanyakan orang ketika melihat seseorang yang kaya raya dari hasil perbuatan korupsi, biasanya mengatakan ‘ Wah hebat benar dia ya’. Kata-kata hebat biasanya menunjukkan penghargaan atas sebuah prestasi. Reaksi ini akan berbalik arah ketika perbuatan korupsi ‘si orang hebat’ tersebut terungkap kepada publik dan di ekspos oleh media massa . Dapat dipastikan bahwa orang-orang yang tadinya memuja dan mengagumi akan seketika ‘berkhianat’ dan berbalik menuding si terdakwa koruptor oleh karena tidak ingin berlawanan dengan opini publik dan ingin menjadi bagian dari ‘gerakan pemberantasan korupsi’.
Hal ini sesuai dengan kaidah Machiavelli yang pernah saya baca di salah satu buku yang menyebutkan bahwa ‘Orang yang tidak mendapat kesempatan mencuri menganggap dirinya orang bersih’. Kaidah lainnya menyebutkan 'Badut yang membisu akan dianggap sebagai orang bijak, maling yang kaya akan dianggap sebagai priyayi'. Dari apa yang saya paparkan di atas semoga bisa memberikan sedikit pencerahan kenapa di negara kita koruptor tidak pernah ada habisnya, dari hari ke hari koruptor ‘hampir selalu’ digantikan oleh koruptor lainnya. Ibarat kawah candradimuka, siapapun yang keluar darinya ‘hampir selalu’ menjadi koruptor atau setidaknya ‘koruptor potensial’