Namun agaknya isu SARA akan terus menjadi momok yang siap mengguncang Indonesia kapan saja, bila masyarakat tidak siap untuk menghadapinya. Masih adanya oknum-oknum radikalis agama tertentu menunjukkan ketidaksiapan bangsa ini dalam menjalani kehidupan masyarakat Indonesia yang begitu plural ini.
Di Instagram dapat diamati dua kubu yang bisa digolongkan sebagai pro-Ahok dan kontra-Ahok. Akun-akun pro-Ahok, seperti @ahok_kita, @fg_ahok, @beritaraya, dan @front_pembela_akal_sehat, serta akun-akun kontra-Ahok seperti @panglima_aswaja dan @habibi_al_fatih terus bermunculan dan aktif di media sosial tersebut di tengah fenomena ini. Akun-akun tersebut terus menjadi sarana untuk mendukung maupun menyerang Ahok dan tentunya mendapatkan lebih banyak massa pendukung di media sosial. Media sosial pun sukses menjadi sarana persuasi untuk mengikuti berbagai aksi untuk menyemangati Ahok (seperti publikasi sederet karangan bunga untuk Ahok) maupun untuk menjatuhkan Ahok (seperti ajakan mengikuti aksi-aksi damai yang telah berlangsung sampai lima jilid).
Hal yang lucu adalah, akun-akun tersebut baru bermunculan setelah video Ahok yang diupload Buni Yani menghebohkan dunia maya dan masyarakat Indonesia. Sebelum hal itu terjadi, rasanya situasi bangsa tenang-tenang saja. Tidak ada isu SARA yang merebak. Namun semuanya seolah berubah ketika kasus ini memanas dan isu agama menjadi faktor besar yang memengaruhi Pilkada DKI Jakarta.
Apabila kita hanya memandang kasus Ahok sebagai isu agama, agaknya kita perlu berpikir lebih luas dari itu. Apabila memang kasus ini hanya menyangkut faktor agama, sesungguhnya kasus semacam ini sudah akan memanas sejak dahulu. Akan tetapi mengapa yang diserang Ahok? Mengapa kemudian Jokowi dan partai-partai pendukung Ahok seperti PDI-P dan Nasdem ikut terkena imbasnya? Apa lagi kalau bukan faktor politik yang sesungguhnya bermain dalam kasus ini?
Allan Nairn melihat kasus Ahok ini sebagai konspirasi politik yang ujung-ujungnya akan berakhir pada kudeta terhadap Presiden Joko Widodo. Menurutnya kudeta ini tidak akan berlangsung secara gamblang berupa serangan militer atau metode eksplisit lainnya, tetapi direncanakan perlahan-lahan. Kasus Ahok ini hanyalah langkah awal. Ahok yang lidahnya terpeleset ketika mengunjungi Pulau Pramuka menjadi berkah dan momentum yang sangat besar untuk memulai rencana kudeta ini. Jadilah aksi-aksi memenjarakan Ahok sang penista agama yang ditunggangi oleh pihak-pihak seperti FPI, MUI, dll.
Nuansa politik di balik aksi yang mengatasnamakan agama ini semakin terasa bahkan setelah Ahok dikalahkan Anies dalam Pilkada DKI kemarin. Sepertinya Pilkada Jawa Barat akan menjadi target berikutnya. Pernyataan Abdullah Gymnastiar sebagai salah satu tokoh terkemuka yang kontra dengan Ahok menjadi pemantik utama dalam membawa isu agama dalam Pilkada Jawa Barat. Nasihat agar melihat partai-partai pendukung calon gubernur yang diusung semakin menunjukkan adanya politik nakal di belakangnya. Dan agaknya, Ridwan Kamil sebagai tokoh yang diusung Nasdem (dan kemungkinan besar juga akan didukung PDI-P) akan menjadi target utama.
Oknum-oknum semacam ini memang terbukti efektif dalam memengaruhi pandangan masyarakat. Media massa yang telah merambah ke dunia maya juga menjadi pemantik yang luar biasa ampuh dalam menyebarkan idealisme-idealisme yang belum tentu orang mampu menyaringnya. Ekspos yang cukup berlebihan terhadap fundamentalisme agama tertentu yang dikompori dengan ancaman yang berkaitan dengan hidup-matinya seseorang menjadi sarana koersif yang begitu manjur dalam memenangkan si calon yang “tidak seiman” tersebut.
Kasus-kasus lain yang mampu perlahan-lahan menjatuhkan Jokowi juga sudah dimulai cukup lama, mulai dari uang cetakan baru yang dianggap mengandung lambang PKI, Pancasila yang dianggap tidak lagi efektif menjadi ideologi bangsa, sampai serangan terhadap pejabat-pejabat negara dengan tuduhan ingin membangkitkan PKI dan bekerjasama dengan negara-negara komunis.
Di satu sisi, pemerintah yang selama ini kurang banyak bersikap terhadap hal ini menghadapi situasi yang sulit. Mereka yang berkoar-koar mengenai kasus di atas dengan penuh kepengecutan berlindung di bawah selimut konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat warga negara. Bila pemerintah bersikap tegas dengan “membungkam” oknum-oknum tersebut, pemerintah akan dicap diktator dan tidak menghargai kebebasan mengemukakan pendapat. Pemerintah akan dicap sama saja dengan rezim Orde Baru yang membungkam semua pihak yang menentang pemerintah.
Di lain sisi, aksi-aksi semacam ini bisa berbahaya terhadap kestabilan bangsa dan negara. Bila hal ini terus dibiarkan, kelompok-kelompok penentang pemerintah akan memiliki kekuatan semakin besar dan akhirnya mampu mengguncang tegaknya ideologi negara. Bahkan keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI baru-baru ini langsung diserbu oleh penolakan-penolakan berbagai pihak yang kecewa terhadap “pembungkaman oleh pemerintah” tersebut. Di sinilah kebebasan dalam sistem demokrasi menjadi penghambat dalam mengontrol huru-hara semacam ini.