Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemahasiswaan: Suatu Pergeseran Makna

24 April 2017   22:35 Diperbarui: 25 April 2017   08:00 8603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai mahasiswa tingkat pertama di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat, saya menjalani kehidupan perkuliahan di tengah orang-orang yang memiliki karakteristik dan idealisme yang berbeda-beda. Ada yang berfokus pada kegiatan akademiknya, ada yang lebih sering menyalurkan hobinya baik di bidang seni maupun olahraga, ada juga yang bangga membusungkan dada dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah seorang “aktivis kampus”.

Ada satu kata yang terus membuat saya bertanya-tanya dalam hati: kemahasiswaan. Sejak awal menginjakkan kaki di kampus ini, saya merasa selalu “dipaksa” untuk “ikut dalam kegiatan kemahasiswaan”. Padahal sebetulnya apa definisi dan makna dari kemahasiswaan itu sendiri?

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kemahasiswaan sebagai seluk-beluk mahasiswa; yang bersangkutan dengan mahasiswa. Menurut saya definisi ini cukup lugas; imbuhan ke- dan -an sudah cukup menjelaskan kata ini. Seperti keprofesian: hal-hal yang berhubungan dengan profesi; kepengurusan: hal-hal yang berhubungan dengan pengurus.

Jadi hal-hal apa yang bisa ditentukan bila melihat definisi kemahasiswaan tersebut? Cukup sederhana. Mahasiswa, jurusan, fakultas, perguruan tinggi, profesi, buku, jurnal, belajar, skripsi, dan sebagainya.

Akan tetapi hal yang muncul di benak saya adalah betapa pengertian kemahasiswaan yang begitu luas tersebut mengalami penyempitan makna yang drastis. Arti kata kemahasiswaan saat ini hanya merujuk pada hal-hal yang berbau non-akademis. Seolah-olah kemahasiswaan hanya berhubungan dengan hal-hal yang seremonial belaka. Mahasiswa mendemo pemerintahan, membuat gerakan-gerakan yang sok mencerminkan populisme, suka mengikuti kegiatan di kampus sampai melupakan belajar, dan masih banyak lagi.

Pada akhirnya kemahasiswaan hanya dipakai sebagai ajang kesombongan dan pamer di media sosial, atau yang beberapa orang katakan “panjat sosial”. Padahal belum tentu orang-orang tersebut memahami esensi dari apa yang mereka sebut-sebut sebagai kemahasiswaan.

Jadi apa esensinya?

Jujur saja, saya sendiri tidak tahu. Atau setidaknya, belum memahami. Saya sendiri masih menemukan jati diri saya sebagai seorang mahasiswa. Akan tetapi setidaknya inilah yang saya percayai.

Pertama, mahasiswa bukanlah siswa pendidikan dasar. Mahasiswa sudah bukan anak SMA lagi. Perbedaan mendasar antara mahasiswa dengan siswa SMA adalah bidang studi yang dipelajari. Mahasiswa sesungguhnya sudah menentukan bidang apa yang ia minati dan tekuni, yang diharapkan bisa dimanfaatkan untuk kehidupannya di masa depan.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya mahasiswa dikaitkan dengan keilmuan keprofesian yang sedang ia persiapkan. Maksudnya, mahasiswa dituntut untuk memberikan inovasi-inovasi baru demi mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik. Soekarno pernah mengatakan:

“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”

Ya, mahasiswa sebagai pemuda dituntut untuk mampu memberi impact bagi bangsa. Tetapi, mahasiswa yang memperoleh statusnya dari keilmuan yang ia dalami tentu juga seharusnya memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang ia kuasai.

Jadi apa artinya demo-demo mahasiswa yang menentang pemerintah itu salah?

Sesungguhnya tidak. Poin saya adalah, berkontribusilah sesuai keilmuan masing-masing. Kalau yang dibawa-bawa hanya demo yang kelihatannya menarik perhatian rakyat, apa beda mahasiswa dengan LSM-LSM maupun orang-orang populis lainnya? Mahasiswa memiliki kemampuan akademik sebagai bekal yang tidak dimiliki semua orang di luar sana, ya hendaknya itu dipakai menjadi senjata kita untuk melancarkan kontribusi sosial yang sesungguhnya.

Kedua, berkemahasiswaan tidak melulu soal aktif di kampus. Berkarya sebagai mahasiswa juga tidak melulu soal akademik. Hal yang terpenting adalah mahasiswa harus mampu berkarya di bidang yang ia minati.

Saya pernah mendapat wejangan dari ketua kabinet bahwa sejak dini mahasiswa hendaknya segera memutuskan di bidang apa ia ingin berkarya. Boleh saja seorang mahasiswa ingin berfokus di bidang akademik, tetapi tentunya harus memiliki ekspektasi tinggi, seperti meraih IP cum laude, sering berpartisipasi dalam kompetisi seperti lomba karya ilmiah, dsb.

Boleh juga mahasiswa berkarya di kampus, baik di kepengurusan terpusat maupun himpunan mahasiswa jurusan masing-masing. Bisa juga mahasiswa berkarya di berbagai organisasi hobi atau unit kegiatan mahasiswa lainnya. Bisa juga mahasiswa terlibat dalam berbagai kegiatan di dunia internasional seperti student exchange, dll.

Intinya, kemahasiswaan tidak boleh dipersempit maknanya hingga menjurus ke bidang tertentu saja. Apa saja yang dilakukan oleh mahasiswa, sepanjang berkaitan dengan statusnya sebagai mahasiswa, adalah kegiatan kemahasiswaan. Memburu prestasi akademik itu juga berkemahasiswaan.

Ketiga, semuanya akan kembali pada kontribusi mahasiswa kepada bangsa. Berkuliah bukan sesuatu yang hanya berakhir pada diri kita sendiri. Terutama bagi mereka yang berkuliah di perguruan tinggi negeri. Secara tidak langsung rakyat membiayai para mahasiswa, orang-orang muda yang memiliki kemampuan lebih. Ya, ada pungutan kepada masyarakat yang nantinya lari ke pendidikan tinggi. Tujuannya apa? Agar nantinya mereka mampu kembali ke masyarakat dan menjadi jawaban atas keresahan dan problema yang terjadi di masyarakat.

Jadi apakah para “aktivis” yang duduk dalam berbagai jabatan di kabinet atau apapun sebutannya itu salah? Tentu tidak! Mahasiswa nantinya juga akan terjun ke masyarakat dan sebagian tentu akan bekerja di pemerintahan. Kehidupan di perguruan tinggi sudah dapat dibayangkan sebagai miniatur negara. Kembali lagi, ini masalah bagaimana mahasiswa nantinya menempatkan diri di masyarakat sehingga mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat.

Pada akhirnya, saya ingin mengutip perkataan John F. Kennedy:

“Ask not what your country can do for you — ask what you can do for your country.”

Mahasiswa berada di bawah tuntutan tinggi dari masyarakat untuk bisa menjadi problem solver di tengah masyarakat. Kemahasiswaan tidak berhenti di tahap sekadar menjadi aktivis kampus yang eksis dan ingin dikenal orang-orang. Berkemahasiswaan adalah tentang menjadi solusi; berkemahasiswaan adalah tentang berkontribusi; berkemahasiswaan adalah menjadi mahasiswa seutuhnya: sebagai pelajar dan sebagai bagian dari masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun