Sudah sekian lama sejak saya menulis tentang pemilihan presiden AS. Ya, agaknya vibe di Indonesia terkait terpilihnya Donald Trump menjadi presiden terpilih mengalahkan Hillary Clinton sudah meredup. Meskipun tidak bisa disangkal masih ada pihak yang takut akan masa depan dunia nanti bila Trump yang menjadi presiden negara paling berpengaruh di dunia saat ini.
Sejak terakhir saya menulis, banyak hal yang telah terjadi sejak Trump terpilih menjadi presiden. Mulai dari pertemuan perdana Obama dengan Trump yang berlangsung begitu canggung, Hillary Clinton yang memilih untuk "mengasingkan diri" dengan melakukan hal-hal yang tertutup dari media seperti hiking di dekat rumahnya di Chapaqqua, NY, dan pemilihan orang-orang yang akan tergabung dalam kabinet Presiden Trump yang sampai saat ini masih belum tuntas.
Hampir tepat sebulan sejak Trump memenangkan Pilpres 2016, tentunya masih ada saja orang yang belum bisa menerima Donald Trump sebagai Commander-in-Chief negara adidaya tersebut. Demo yang berlangsung kurang lebih seminggu lamanya di depan Trump Tower memang agaknya sudah redup, tetapi sosok Trump yang begitu kontroversial membuat orang masih tidak bisa percaya bahwa Trump akan berkuasa atas segala hal yang bisa dilakukan AS, termasuk menjadi pemegang kode senjata nuklir AS. Baik warga AS sendiri maupun masyarakat internasional masih cemas bila nanti sang presiden yang begitu mudah tersulut emosinya ini akan seenaknya sendiri melakukan hal-hal yang bisa membahayakan perdamaian dunia.
Dari situ, orang-orang masih bertanya-tanya, apakah Hillary Clinton masih bisa mengalahkan Donald Trump dan menggantikan posisinya sebagai sang President-elect?
Dari hasil penghitungan suara, Donald Trump berhasil memenangkan 306 perwakilan di Electoral College yang diproyeksikan akan memilih Donald Trump sebagai presiden. Akan tetapi, secara nasional, Donald Trump kalah dengan Hillary Clinton dalam hal popular vote. Selisihnya pun tidak tanggung-tanggung. Dilansir dari Independent, sampai saat ini keunggulan Hillary Clinton dalam popular vote mencapai 2,7 juta suara, dan jumlah itu diprediksikan akan terus bertambah, bahkan menyaingi jumlah keunggulan popular vote yang diperoleh Obama pada Pilpres 2012.
Sistem pemilihan tidak langsung seperti ini sangat memungkinkan terjadinya hal demikian, di mana kemenangan jumlah electors tidak dibarengi dengan kemenangan jumlah suara dari rakyat sendiri. Hal ini terjadi karena Hillary Clinton menang besar di negara-negara bagian yang hanya menyumbang jumlah electors yang sedikit, misalnya saja Rhode Island. Sementara Trump berhasil menang (walaupun sebagian besar dengan selisih yang begitu kecil) di berbagai states yang menyumbang jumlah electors yang banyak, seperti Florida dan Wisconsin. Sistem winner-takes-all yang berlaku di semua negara bagian (kecuali Maine dan Nebraska) inilah yang membuat Trump memenangkan jumlah electors yang cukup signifikan dibandingkan jumlah electors yang dimenangkan Hillary Clinton.
Akan tetapi orang-orang yang tergabung dalam Electoral College tersebut sesungguhnya bebas memilih siapapun sesuai hati mereka. Akan tetapi, tentunya sebagai pejabat salah satu partai harus memenuhi kewajiban untuk memilih kandidat yang diusung oleh partainya sebagai presiden. Orang-orang yang memutuskan tidak memilih kandidat yang diusung oleh partainya disebut faithless electors, dan orang-orang demikian tentunya akan mendapat sanksi tegas dari partainya, bisa jadi orang tersebut akan kehilangan keanggotaannya.
Sampai saat ini sudah banyak sekali proses lobbying yang dilakukan berbagai pihak, terutama para grassroots activists, terhadap para electors dari Partai Republican untuk "melanggar" kewajibannya sebagai anggota Partai GOP dan tidak memilih Donald Trump sebagai presiden. Selain itu, kandidat presiden dari Green Party, Jill Stein, telah berusaha untuk mengumpulkan dana sebesar lebih dari 6 juta dollar untuk menuntut adanya proses penghitungan ulang suara di Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania, meskipun akhirnya usaha recount di Pennsylvania gagal dan recount di Wisconsin dan Michigan hampir dapat dipastikan tidak akan selesai tepat waktu. Walaupun begitu rupanya tim kampanye Hillary Clinton juga bergabung dengan aksi tersebut, sekalipun Clinton sudah mengakui kekalahannya pada konferensi persnya 9 November 2016 pagi hari.
Pertama, usaha lobi terhadap electors dari Partai Republican tidak akan membuahkan hasil yang signifikan. Pasalnya, seorang politisi suatu partai tentunya memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan amanat yang diberikan kepadanya, termasuk seorang elector yang berkewajiban memilih nominasi partainya agar sukses menjadi presiden. Sampai saat ini hanya ada 1 orang elector dari Partai Republican yang mengumumkan secara publik bahwa ia tidak akan memilih Trump sebagai presiden.Â