Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adakah Peluang Donald Trump Gagal Menjadi Presiden ke-45 AS?

7 Desember 2016   15:38 Diperbarui: 7 Desember 2016   15:42 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hillary Clinton menyampaikan concession speech-nya. Masih adakah peluang Hillary Clinton menjadi presiden AS ke-45? Sumber: The Washington Post

Sudah sekian lama sejak saya menulis tentang pemilihan presiden AS. Ya, agaknya vibe di Indonesia terkait terpilihnya Donald Trump menjadi presiden terpilih mengalahkan Hillary Clinton sudah meredup. Meskipun tidak bisa disangkal masih ada pihak yang takut akan masa depan dunia nanti bila Trump yang menjadi presiden negara paling berpengaruh di dunia saat ini.

Sejak terakhir saya menulis, banyak hal yang telah terjadi sejak Trump terpilih menjadi presiden. Mulai dari pertemuan perdana Obama dengan Trump yang berlangsung begitu canggung, Hillary Clinton yang memilih untuk "mengasingkan diri" dengan melakukan hal-hal yang tertutup dari media seperti hiking di dekat rumahnya di Chapaqqua, NY, dan pemilihan orang-orang yang akan tergabung dalam kabinet Presiden Trump yang sampai saat ini masih belum tuntas.

Hampir tepat sebulan sejak Trump memenangkan Pilpres 2016, tentunya masih ada saja orang yang belum bisa menerima Donald Trump sebagai Commander-in-Chief negara adidaya tersebut. Demo yang berlangsung kurang lebih seminggu lamanya di depan Trump Tower memang agaknya sudah redup, tetapi sosok Trump yang begitu kontroversial membuat orang masih tidak bisa percaya bahwa Trump akan berkuasa atas segala hal yang bisa dilakukan AS, termasuk menjadi pemegang kode senjata nuklir AS. Baik warga AS sendiri maupun masyarakat internasional masih cemas bila nanti sang presiden yang begitu mudah tersulut emosinya ini akan seenaknya sendiri melakukan hal-hal yang bisa membahayakan perdamaian dunia.

Dari situ, orang-orang masih bertanya-tanya, apakah Hillary Clinton masih bisa mengalahkan Donald Trump dan menggantikan posisinya sebagai sang President-elect?

Hillary Clinton menyampaikan concession speech-nya. Masih adakah peluang Hillary Clinton menjadi presiden AS ke-45? Sumber: The Washington Post
Hillary Clinton menyampaikan concession speech-nya. Masih adakah peluang Hillary Clinton menjadi presiden AS ke-45? Sumber: The Washington Post
Bila kita mengamati sistem pemilihan presiden di AS, sesungguhnya masih ada kemungkinan Hillary Clinton yang akan terpilih sebagai presiden. Sistem pemilihan presiden AS yang sifatnya tidak langsung membuat Trump sebenarnya belum benar-benar resmi menjadi presiden AS, maka gelar yang ia pegang sekarang adalah President-elect atau Presiden terpilih. Seperti yang diketahui, yang dipilih oleh warga AS pada 8 November kemarin sesungguhnya bertujuan untuk memilih electors yang nantinya akan berkumpul pada 19 Desember mendatang untuk memilih secara resmi presiden AS berikutnya.

Dari hasil penghitungan suara, Donald Trump berhasil memenangkan 306 perwakilan di Electoral College yang diproyeksikan akan memilih Donald Trump sebagai presiden. Akan tetapi, secara nasional, Donald Trump kalah dengan Hillary Clinton dalam hal popular vote. Selisihnya pun tidak tanggung-tanggung. Dilansir dari Independent, sampai saat ini keunggulan Hillary Clinton dalam popular vote mencapai 2,7 juta suara, dan jumlah itu diprediksikan akan terus bertambah, bahkan menyaingi jumlah keunggulan popular vote yang diperoleh Obama pada Pilpres 2012.

Sistem pemilihan tidak langsung seperti ini sangat memungkinkan terjadinya hal demikian, di mana kemenangan jumlah electors tidak dibarengi dengan kemenangan jumlah suara dari rakyat sendiri. Hal ini terjadi karena Hillary Clinton menang besar di negara-negara bagian yang hanya menyumbang jumlah electors yang sedikit, misalnya saja Rhode Island. Sementara Trump berhasil menang (walaupun sebagian besar dengan selisih yang begitu kecil) di berbagai states yang menyumbang jumlah electors yang banyak, seperti Florida dan Wisconsin. Sistem winner-takes-all yang berlaku di semua negara bagian (kecuali Maine dan Nebraska) inilah yang membuat Trump memenangkan jumlah electors yang cukup signifikan dibandingkan jumlah electors yang dimenangkan Hillary Clinton.

Akan tetapi orang-orang yang tergabung dalam Electoral College tersebut sesungguhnya bebas memilih siapapun sesuai hati mereka. Akan tetapi, tentunya sebagai pejabat salah satu partai harus memenuhi kewajiban untuk memilih kandidat yang diusung oleh partainya sebagai presiden. Orang-orang yang memutuskan tidak memilih kandidat yang diusung oleh partainya disebut faithless electors, dan orang-orang demikian tentunya akan mendapat sanksi tegas dari partainya, bisa jadi orang tersebut akan kehilangan keanggotaannya.

Sampai saat ini sudah banyak sekali proses lobbying yang dilakukan berbagai pihak, terutama para grassroots activists, terhadap para electors dari Partai Republican untuk "melanggar" kewajibannya sebagai anggota Partai GOP dan tidak memilih Donald Trump sebagai presiden. Selain itu, kandidat presiden dari Green Party, Jill Stein, telah berusaha untuk mengumpulkan dana sebesar lebih dari 6 juta dollar untuk menuntut adanya proses penghitungan ulang suara di Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania, meskipun akhirnya usaha recount di Pennsylvania gagal dan recount di Wisconsin dan Michigan hampir dapat dipastikan tidak akan selesai tepat waktu. Walaupun begitu rupanya tim kampanye Hillary Clinton juga bergabung dengan aksi tersebut, sekalipun Clinton sudah mengakui kekalahannya pada konferensi persnya 9 November 2016 pagi hari.

Jill Stein berkampanye menuntut proses recount di tiga negara bagian. Sumber: The Huffington Post
Jill Stein berkampanye menuntut proses recount di tiga negara bagian. Sumber: The Huffington Post
Hillary Clinton memang masih bisa terpilih menjadi presiden AS ke-45, namun peluang hal itu terjadi hampir mendekati nol. Ada beberapa alasan mengapa hal itu tidak akan terjadi.

Pertama, usaha lobi terhadap electors dari Partai Republican tidak akan membuahkan hasil yang signifikan. Pasalnya, seorang politisi suatu partai tentunya memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan amanat yang diberikan kepadanya, termasuk seorang elector yang berkewajiban memilih nominasi partainya agar sukses menjadi presiden. Sampai saat ini hanya ada 1 orang elector dari Partai Republican yang mengumumkan secara publik bahwa ia tidak akan memilih Trump sebagai presiden. 

Satu orang lagi memilih untuk resign dari kewajibannya sebagai elector. Kalaupun akhirnya lobi yang dilakukan berhasil membujuk sejumlah elector yang cukup untuk tidak memilih Trump, belum tentu mereka akan memilih Hillary Clinton, tetapi cenderung memilih Mike Pence sebagai presiden. Oleh karena tidak terjadi mayoritas suara di Electoral College, maka Senate lah yang bertanggung jawab memilih presidennya. Sementara, House of Senate saat ini dikuasai oleh Republican. Tentu Hillary sama saja akan kalah.

Kedua, usaha recount juga diprediksikan tidak akan membuahkan hasil. Proses recount itu sendiri saja kemungkinan besar tidak akan selesai tepat pada waktunya. Kalaupun hasil recount menunjukkan bahwa Hillary Clinton yang memenangkan ketiga states tersebut, Hillary masih tidak memiliki jumlah electors yang cukup untuk memenangkan dirinya. Sepanjang sejarah pemilihan pejabat pemerintahan di AS, tidak lebih dari 10 kali proses recount berhasil mengubah hasil pemungutan suara. Kemenangan rata-rata hasil recount pun sangat tipis, yakni hanya sekitar 0,03%, dan itupun terjadi hanya di tingkat pemerintahan lokal. Alhasil, hampir impossible penghitungan suara ulang mampu mengubah hasil pemilu secara nasional.

Ketiga, dan ini yang paling penting, kestabilan negara menjadi hal utama yang jauh lebih diprioritaskan. Tim Transisi sudah dibuat segera setelah kemenangan Trump diumumkan dan tim ini telah mempersiapkan segala hal untuk kelancaran transisi dari pemerintahan Obama menuju pemerintahan baru Donald Trump, termasuk memilih staf-staf yang akan duduk dalam kabinet. Sang presiden terpilih juga telah berkomunikasi dengan berbagai pemimpin dunia untuk membahas isu-isu global yang sangat melibatkan AS sebagai pioneer utama.

Donald Trump dan Presiden Obama bertemu membicarakan transisi pemerintahan. Sumber: Fox News
Donald Trump dan Presiden Obama bertemu membicarakan transisi pemerintahan. Sumber: Fox News
Selain itu, Hillary Clinton sesungguhnya sudah mengakui kekalahannya dan meminta para pendukungnya untuk menerima Trump sebagai presiden baru mereka dan memberinya kesempatan untuk memimpin AS. Apabila situasi kondusif ini kemudian kembali digoyahkan oleh "batalnya" Donald Trump menjadi presiden, tampaknya hal ini akan menimbulkan konflik luar biasa yang tentunya akan sulit untuk diatasi dalam waktu singkat. Oleh sebab itulah tampaknya gagalnya Donald Trump menjadi presiden AS hampir dapat dipastikan tidak akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun