Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Benarkah Donald Trump Mulai Kalah?

27 Agustus 2016   21:01 Diperbarui: 28 Agustus 2016   09:50 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donald Trump. Sumber: cnn.com

Sebulan terakhir ini tampaknya bukan merupakan momen yang baik bagi Donald Trump. Hasil polling di sana-sini menunjukkan keunggulan Clinton terus-menerus. 

Tak hanya itu, menanggapi kondisi ini, seharusnya sudah sepantasnya Trump segera comeback (banyak media menyebutnya pivot) untuk membalikkan keadaan ini dan menarik lebih banyak pendukung. 

Namun berbagai hal yang dikatakan maupun dilakukan Donald Trump sepertinya tidak menunjukkan hal demikian. Malah ia bisa dikatakan semakin "menggila" atau bahkan membuat para pendukungnya berpikir-pikir lagi apakah Trump pantas menjadi presiden. Pertanyaannya sederhana: apa yang terjadi?

RealClearPolitics menunjukkan hasil-hasil polling yang tidak menyenangkan Trump sama sekali. Percaya atau tidak, bisa dikatakan semua polling yang diadakan dalam sebulan terakhir menunjukkan keunggulan Hillary Clinton dengan margin yang, bisa dibilang, semakin lebar. 

Bahkan dalam polling terakhir yang dirilis Quinnipiac, Clinton unggul atas Trump dengan jarak yang tidak main-main, 10 persen. Balasan yang langsung akan dilontarkan para pendukung die hard Donald Trump mungkin kurang lebih seperti ini: "Polling tidak akan pernah objektif. Mereka tidak pernah mem-polling aku. Kalau saja aku (dan pendukung Trump lainnya) terlibat, hasilnya pasti akan berbeda."

Hampir semua polling dalam sebulan terakhir tidak berpihak pada Trump. Sumber: www.realclearpolitics.com
Hampir semua polling dalam sebulan terakhir tidak berpihak pada Trump. Sumber: www.realclearpolitics.com
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa polling pada dasarnya hanya sebatas sebuah survei. Polling bukanlah quick count. Lembaga-lembaga polling hanya mengambil sampel beberapa orang, yang tentunya dipilih se-random mungkin, bisa melalui telepon, formulir, atau metode lainnya. Orang-orang yang disurvei pun tentunya hanya berkisar ratusan orang. 

Namun apabila melihat hasil-hasil poling tersebut di www.realclearpolitics.com, apakah melihat sekolom tulisan-tulisan bercetak biru itu membuat kita berpikir bahwa itu semua adalah kebetulan? Apakah memang hanya kebetulan semua polling menunjukkan Hillary unggul atas Donald?

 Jarak keunggulannya pun tidak main-main, bila dirata-rata sejauh ini Clinton unggul 6 persen atas Trump, dan itu bukan keunggulan yang kecil. Tentu ada alasan yang lebih logis mengapa Trump "mulai kalah" dalam Pilpres 2016 ini.

Faktor paling utama di balik "mulai tenggelamnya" Trump sesungguhnya disebabkan oleh Trump sendiri. Trump tidak pernah berhenti blak-blakan dalam melontarkan statement gila. Beberapa hari setelah Democratic National Convention selesai, pada rally-nya di Florida, Trump percaya begitu saja akan teori konspirasi yang menyatakan bahwa biang kerok skandal email DNC adalah para hacker Rusia. 

Ia pun melontarkan statement kontroversial dengan berkata, "Russia, if you're listening, I hope you're able to find the [Hillary Clinton's] 30,000 emails that are missing. I think you will probably be rewarded mightily by our press." Tidak hanya itu, Trump tidak berhenti memuji Vladimir Putin, walaupun kenyataannya AS dan Rusia selalu dalam hubungan yang tegang. Bahkan, Trump "mengapresiasi" sang diktator Irak Saddam Hussein akan usahanya membunuh para teroris. 

Namun apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan kebenarannya? Sekalipun Trump punya poin yang cukup masuk akal, Politifact sendiri menyatakan bahwa sebagian besar pernyataannya sangat tidak akurat.

Donald Trump dalam kampanyenya di Doral, Florida. Sumber: cnn.com
Donald Trump dalam kampanyenya di Doral, Florida. Sumber: cnn.com
Berbagai kontroversi yang dimunculkan Trump tidak berhenti sampai di situ. Trump ikut-ikutan percaya pada teori konspirasi tentang penyakit mental yang diderita Hillary Clinton yang membuatnya secara temperamental tidak qualified untuk menjadi presiden. Trump juga menuduh Barack Obama dan Hillary Clinton sebagai tokoh di balik berdirinya ISIS. Akan tetapi dalam seminggu terakhir, tampaknya Trump menunjukkan sikap flip-flop-nya yang paling kentara. 

Kalau selama ini Trump menganggap Clinton sebagai pembohong kelas berat dan plin-plan, kini Trump tampaknya termakan ucapannya sendiri. Trump ternyata juga selama ini melakukan hal yang sama, dan ia melakukannya lagi kali ini. Pada 18 Agustus kemarin, Trump tiba-tiba menyatakan "penyesalannya" terhadap kalimat-kalimat gila yang ia ucapkan, meskipun tidak diketahui pernyataan mana saja yang ia sesali. 

Hal itu mungkin not a big deal, tapi yang menggemparkan adalah ketika Trump membahas pandangannya mengenai imigrasi dengan "pendekatan yang berbeda". Kalau biasanya Trump begitu bersemangat dalam mengutarakan keinginannya mendeportasi imigran gelap, dalam wawancara terakhirnya dengan Sean Hannity di Fox News, Trump tiba-tiba berkata bahwa "mendeportasi imigran (gelap) yang sudah tinggal selama 12 atau 15 tahun akan sangat sulit dilakukan".

Banyak media yang menyoroti momen ini dan mengatakan bahwa Trump "memperlembut" pandangannya yang ekstrim mengenai imigrasi. Di satu sisi, Trump memang perlu melakukan hal ini sebagai bentuk pivot-nya dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi general election November mendatang. 

Trump memang perlu mengkaji kembali pandangannya tentang imigrasi (dan tentu tentang isu-isu lain) dan merumuskan kebijakan dan tindakan yang paling tepat. Akan tetapi di sisi lain tindakan Trump ini justru merusak citranya sebagai kandidat. Trump rupanya juga plin-plan dalam kasus-kasus tertentu, termasuk dalam kasus ini, sama saja dengan Hillary Clinton. Inilah salah satu faktor yang sesungguhnya membuat Trump mulai kehilangan dukungan.

Satu tindakan Trump membuat publik berpikir bahwa Trump memang benar menyadari kekalahannya. Ia memecat ketua kampanyenya, dan merekrut Steve Bannon, Roger Ailes, dan Roger Jones sebagai advisers bagi kampanyenya. Ketiga tokoh tersebut rupanya cukup menghebohkan, terutama Steve Bannon dan Roger Ailes. Pertama, Steve Bannon adalah pemilik media konservatif Breitbart News yang seringkali meluncurkan berita-berita kontroversial. 

Sikap konservatif yang begitu melekat dalam diri Bannon tampaknya akan sangat menghambat usaha pivot Donald Trump. Kedua, Roger Ailes adalah mantan executive producer Fox News yang dianggap sebagai "media konservatif", yang rupanya juga tidak jauh dari kontroversi. Tuduhan pelecehan seksual padanya yang dilaporkan mantan anchor Fox News, Gretchen Carlson, memaksanya mengundurkan diri dari Fox News. 

Apakah memilih orang-orang tersebut sebagai penasihat Trump akan memperbaiki situasi kampanye Trump yang bisa dibilang memburuk? Saya sendiri tidak tahu, tapi sangat mungkin situasi justru akan semakin memburuk.

Roger Ailes. Sumber: www.nj.com
Roger Ailes. Sumber: www.nj.com
Jadi, apakah memang sebulan terakhir ini "The New Trump" justru mengurangi dukungan terhadapnya? Apakah situasi ini benar-benar sepenuhnya berhasil dimanfaatkan Hillary Clinton untuk menarik dukungan orang-orang baru? Bisa dibilang Hillary Clinton cukup responsif terhadap hal ini. Berbagai video kampanye Hillary Clinton benar-benar fokus untuk "menyerang" Donald Trump. 

Apalagi, Clinton dan running mate-nya, Tim Kaine, merilis laporan pajak mereka masing-masing, sesuatu yang terus Donald Trump tolak untuk dilakukan. Hal ini memang terbukti menekan dan memaksa Trump untuk melakukan hal yang sama. Mungkin ada sesuatu yang disembunyikan Trump secara finansial. Mana yang benar? Siapa yang tahu?

Yang jelas, jika ingin menang, Trump harus segera berbalik dari situasi buruk ini. Jika Trump masih ingin menang, Trump sudah seharusnya mempersiapkan diri dengan lebih baik, terutama dalam menghadapi debat calon presiden pertama pada akhir September nanti. Mampukah comeback itu dilakukan oleh Trump?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun