Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

2016 Republican National Convention: "Titik Balik" Donald Trump?

22 Juli 2016   21:54 Diperbarui: 23 Juli 2016   11:40 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pidato Melania Trump dianggap menjiplak pidato Michelle Obama pada DNC tahun 2008 silam. Sumber: www.cosmopolitan.com


Seminggu ini pers Amerika Serikat sibuk meliput sebuah acara akbar politik empat tahunan yang, sesungguhnya, begitu menghebohkan, entah diartikan secara positif maupun negatif. Konvensi Nasional Partai Republican yang berlangsung pada 18-21 Juli 2016 kemarin diliput secara live oleh hampir seluruh stasiun televisi di Amerika Serikat.

Nama "Trump", meskipun hampir tidak pernah terdengar pada ajang RNC sebelumnya, kali ini menjadi nama yang paling sering diperbincangkan dalam RNC. Donald Trump, sang pebisnis dan milyarder yang tidak pernah jauh dari kontroversi, secara mengejutkan berhasil mengalahkan seluruh kandidat presiden dari Partai Republican yang dalam tanda kutip merupakan pejabat-pejabat elite dalam jajaran pemerintahan AS.

Dan melalui RNC inilah, segenap bagian dari Partai Republican, entah dengan penuh willingness atau tidak, bersatu mendukung Trump sebagai nominee Partai Republican untuk merebut kembali takhta White House dari seorang Democrat.

RNC tahun ini tidak bisa dikatakan berjalan sepenuhnya lancar. Sejak hari pertama RNC di Ohio ini tidak berjalan dengan awal yang bagus. Sebagian pendukung Republican anti-Trump tidak takut untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap nominee partai mereka. Demonstrasi di sekitar Ohio maupun berbagai upaya heckling dalam berbagai pidato di dalam Quicken Loans Arena terus berjalan. Rupanya sampai momen RNC tiba pun, Republican masih dapat dikatakan belum bersatu sama sekali.

Kasus plagiarisme juga menimpa Melania Trump dalam pidatonya pada hari pertama RNC. Mungkin inilah satu-satunya momen RNC yang menjadi headline di media-media Indonesia. Melania yang berusaha untuk "mengembalikan nama baik" suaminya di hadapan publik AS justru malah dituduh menjiplak pidato Michelle Obama pada Democratic National Convention 8 tahun silam, ketika Michelle berpidato untuk mendukung suaminya, Barack Obama.

Meskipun awalnya pihak Trump menyatakan tidak ada niat plagiarisme sama sekali, namun akhirnya diberitakan bahwa Meredith McIver sebagai penulis pidato tersebut bertanggung jawab terhadap pidato yang disampaikan Melania, dan mengajukan pengunduran diri (yang akhirnya ditolak oleh Trump sendiri). Sebenarnya memang aneh, karena padahal Melania sendiri pada pagi hari setelah pidatonya mengatakan kepada NBC bahwa ia menulis pidatonya sendiri. Lho, jadi Trump memang plagiat atau tidak? Atau McIver dijadikan kambing hitam? Tidak ada yang tahu.

Pidato Melania Trump dianggap menjiplak pidato Michelle Obama pada DNC tahun 2008 silam. Sumber: www.cosmopolitan.com
Pidato Melania Trump dianggap menjiplak pidato Michelle Obama pada DNC tahun 2008 silam. Sumber: www.cosmopolitan.com
Momen yang bisa saya katakan sebagai "puncak" dari betapa berliku-likunya RNC tahun ini adalah ketika Ted Cruz berpidato pada hari ketiga konvensi. Cruz secara mengejutkan menolak untuk meng-endorse Donald Trump, atau setidaknya tidak mengucapkan statement yang jelas mengenai siapa kandidat yang didukungnya.

Cruz hanya mengatakan "vote your conscience, vote for candidates up and down the ticket who you trust to defend our freedom and to be faithful to the Constitution." Keesokan harinya, Cruz menegaskan bahwa ia "tidak mendukung kandidat yang menghina istrinya dan ayahnya." Sebagai catatan, Trump memang pernah mempercayai teori konspirasi yang menyatakan bahwa Rafael Cruz, ayah Ted Cruz, menjadi teman Lee Harvey Oswald dan bekerjasama ketika Oswald membunuh Presiden John F. Kennedy.

Sebagian pendukung Republican pun memahami bahwa Cruz telah menunjukkan alasan yang logis mengapa ia tidak mendukung Trump. Tetapi sebagian besar sisanya justru menyudutkan Cruz dan menganggapnya terlalu egois dan melupakan janjinya untuk mendukung nominee Partai Republican, siapapun dia.

Ted Cruz menolak untuk mendukung Trump. Sumber: nbcnews.com
Ted Cruz menolak untuk mendukung Trump. Sumber: nbcnews.com
Terlepas dari itu, RNC berhasil menciptakan atmosfer yang luar biasa di tengah para pendukung dan politikus Republican, bahkan mungkin terhadap seluruh Amerika. RNC sekali lagi berhasil "menghajar" berbagai kebijakan dan fenomena yang muncul di bawah Obama, sang Democrat. Seakan-akan muncul kembali euforia yang sama ketika Republican berhasil mengambil alih mayoritas Kongres dari Democrat beberapa tahun lalu.

Republican berhasil mengkritik habis-habisan Obamacare, pandangan pro-choice mengenai aborsi, dan bahkan Hillary Clinton. Sekian banyak tokoh yang berpidato dalam RNC kemarin, termasuk Mike Pence yang dipilih Trump sebagai running mate-nya, tidak takut untuk mencecar Hillary Clinton. Bahkan tercatat hadir pula dua orang pejabat veteran Benghazi dan Pat Smith, ibu dari korban serangan Benghazi Sean Smith, untuk menjadi pembicara pada hari pertama RNC kemarin.

Singkatnya, RNC berhasil menjadi platform yang sempurna ketika para simpatisan Republican mampu kembali menyuarakan ide yang sama untuk menumbangkan dominasi Partai Demokrat di pemerintah.

RNC tahun ini menjadi momen yang sungguh berharga bagi Donald Trump. Memang tercatat bahwa banyak tokoh-tokoh penting Partai Republican menolak untuk menghadiri konvensi tahun ini. Kedua Presiden Bush menolak untuk hadir, bahkan nomineePartai Republican pada dua pilpres terakhir, John McCain (2008) dan Mitt Romney (2012) menolak pula untuk hadir. Banyak sekali senator yang juga absen dalam konvensi kali ini. Alasannya hanya satu: Trump. Akan tetapi, RNC kali ini seolah-olah menjadi momen terhebat Trump dalam hidupnya. Seolah-olah Trump terlepas dari segala kontroversi yang melekat dalam dirinya. Seolah-olah "dosa-dosa" yang dilakukan Trump selama kampanyenya "dihapuskan" begitu saja.

Siapa tokoh di balik semua itu? Jawabannya: The Trumps. Ya, keluarga Trump dan berbagai perwakilan korporasi milik Trump lah yang berhasil mencuri hati publik RNC. Trump beruntung karena seluruh anggota keluarganya mendapat kesempatan untuk berbicara di hadapan publik RNC, mulai dari sang istri, Melania, dan keempat anaknya, Tiffany, Ivanka, Eric, dan Donald, Jr.

Mereka berhasil meyakinkan publik lewat pidato-pidato mereka bahwa Trump mampu menjadi seorang presiden yang luar biasa. Keberhasilan itu tidak lepas dari usaha mereka untuk menggambarkan Donald Trump dari sisi lain, dari sisi seorang anak yang memandang ayahnya sebagai sosok yang peduli terhadap semua orang dan memiliki jiwa patriotisme yang tinggi terhadap AS. Publik pun segera "terbius" oleh pidato-pidato mereka, dan mereka merasakan suatu kebanggaan yang berbeda setelah mereka siap untuk mendukung Trump sebagai nominasi partai mereka. Partai GOP secara resmi "berubah nama" menjadi The Trump Party.

Tiffany Trump, salah satu putri Donald Trump yang berpidato untuk ayahnya di RNC. Sumber: www.cosmopolitan.com
Tiffany Trump, salah satu putri Donald Trump yang berpidato untuk ayahnya di RNC. Sumber: www.cosmopolitan.com
Trump telah resmi menjadi nominee Republican Party untuk menghadapi Partai Demokrat dalam general election 8 November 2016 mendatang. Dan Hillary Clinton boleh khawatir akan hal ini, bahkan ia harus khawatir. Clinton perlu sadar bahwa dalam pilpres ini it's anybody's game. Siapapun bisa menang.

Kalau dulu berbagai polling menunjukkan keunggulan telak Hillary atas Trump, sekarang selisih angka itu semakin kecil, bahkan dalam beberapa survei pun Trump unggul atas Hillary. Hillary perlu mengerahkan segalanya untuk mengalahkan Trump. Democratic National Convention minggu depan menjadi "kesempatan terakhir" Hillary untuk menyatukan dukungan Partai Demokrat sebelum melangkah ke tahap terakhir: kampanye general election. Hillary masih mengemban tugas besar untuk menarik hati para pendukung Sanders agar mendukung dirinya.

Pilihan running mate-nya juga harus benar-benar cermat dan tepat sehingga mampu menjadi boost yang besar bagi kampanyenya. Hillary perlu menyadari bahwa ia bisa saja mengalahkan Trump dengan selisih tinggi, tetapi hal yang sungguh bertolak-belakang dari itu juga bisa saja terjadi.

Kalau presiden AS ke-45 adalah Presiden Donald J. Trump, apakah Indonesia siap menghadapinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun