Dinamika politik di Amerika Serikat saat ini bagi penulis merupakan salah satu momen paling "seru" dalam sejarah politik Amerika Serikat. Mungkin momen terpilihnya seorang warga negara Afrika-Amerika pertama sebagai Presiden AS 8 tahun silam masih kalah seru dibandingkan Pilpres AS tahun 2016 ini. Seorang businessman dengan pengalaman politik nol besar, bersaing dengan major nominee wanita pertama dalam sejarah Pilpres AS, itulah yang penulis prediksi akan terjadi pada general election sekitar bulan November mendatang.
Di pihak Partai G.O.P. atau Republican, Donald Trump sang kontroversial berhasil menjadi "the last man standing", mengalahkan seluruh kompetitornya yang memiliki catatan pengalaman politik yang tentunya tak buruk. Bayangkan saja, seorang businessman yang tidak memiliki latar belakang politik sama sekali, dengan mudah berhasil melibas tokoh-tokoh Republican terkemuka, mulai dari Senator Ted Cruz, Senator Marco Rubio, Governor John Kasich, dan puluhan kandidat lainnya, dengan selisih angka yang terbilang sangat signifikan.Â
Sedangkan di pihak Partai Demokrat, persaingan masih berlangsung antara mantan Secretary of State Hillary Clinton dan Senator Bernie Sanders. Keduanya saling berlomba-lomba memenangkan primaries dan caucuses di berbagai negara bagian, dan rupanya persaingan ini berlangsung begitu ketat dan keduanya saling bergantian memenangkan pemilihan di tiap state. Meski demikian, secara statistik memang Hillary Clinton diprediksi akan menjadi nominee dari Partai Demokrat dan Sanders semakin sulit untuk mengejar perolehan suara Clinton.
Lantas, apa yang menarik?
Poin utama yang ingin saya sampaikan adalah, pemilihan presiden Amerika Serikat kali ini akan menjadi begitu sulit bagi warga negara AS sendiri. Memilih antara Donald Trump atau Hillary Clinton sepertinya akan begitu sulit bagi mereka. Bagi saya, hal tersebut bukan disebabkan karena keduanya merupakan kandidat yang didukung habis-habisan, tetapi keduanya "bukan" merupakan kandidat yang baik. Kalau boleh jujur, seandainya punya hak pilih dalam Pilpres AS, saya secara pribadi mendukung Bernie Sanders sebagai presiden. Visi-misinya sudah begitu jelas akan membuat AS setidaknya "tetap di jalur yang benar". Perlu saya tegaskan, saya tidak berniat mendiskreditkan Trump maupun Clinton. Keduanya punya hal-hal positif tersendiri, keduanya juga punya pendukung yang luar biasa besar, seperti yang ditunjukkan dalam angka-angka perolehan mereka dalam pemungutan suara. Saya hanya berpikir, entah siapa yang nantinya menduduki White House, keduanya akan menjadi salah satu presiden AS yang "berbahaya".
Pertama, Donald Trump.
Saya mulai dengan pandangannya terhadap Islam. Perlu kita pahami bahwa Donald Trump memiliki pandangan yang sama dengan kita bahwa ISIS merupakan organisasi yang berbahaya bagi dunia, termasuk Amerika Serikat sendiri, dan ia sungguh berjanji akan melibas ISIS sampai habis.
"I would knock the hell out of ISIS. I would hit them so hard like they've never been it." —Donald Trump
Trump juga tidak segan-segan akan melarang Islam masuk ke Amerika Serikat. Pernyataannya ini pun juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan tersebut memang di satu sisi akan sangat efektif, karena memungkinkan Amerika Serikat untuk menyadari penuh ancaman ISIS yang terus merajalela dengan kedok Islam. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah, Trump tidak berhenti sampai di situ. Statement-statement lain yang ia sampaikan menurut saya sangat tidak menghormati Islam. Trump sempat mengatakan "akan menutup masjid-masjid di AS apabila diperlukan". Trump juga berpendapat bahwa setiap orang Islam harus mempunyai kartu identitas khusus. Cita-cita Trump untuk menghentikan ISIS lama-lama berubah menjadi cita-cita untuk "menghancurkan" Islam perlahan-lahan. Oleh sebab itu, tidak heran bila rencananya melarang Islam masuk ke AS dianggap sebagai pendiskreditan terhadap Islam, perusakan nama baik Islam sendiri.
Selanjutnya, pandangannya terhadap Meksiko. Ia berencana akan membangun sebuah tembok pembatas di Southern Border antara Amerika Serikat dan Meksiko. Mengapa? Ia menganggap bahwa Meksiko selama ini telah mengganggu perkembangan ekonomi Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa Meksiko membawa masuk ke AS pengedar narkoba, kejahatan, dan pemerkosa. Ia menganggap bahwa selama ini AS perlu melihat perkembangan Meksiko dan Tiongkok sebagai suatu ancaman. Ia memang punya poin yang baik untuk membuat AS menjadi lebih baik lagi, seperti yang dikatakan slogannya "Make America Great Again". Namun apakah demikian?
Sejumlah kritikus dan analis sudah memperkirakan berbagai inefektivitas dari pembangunan tembok ini. Pertama, secara geografis pembangunan tembok ini akan sangat sulit karena akan melewati berbagai pemukiman penduduk, mengganggu aliran sungai Rio Grande, mengganggu kehidupan hewan-hewan langka, dsb. Kedua, biaya pembangunan akan mencapai $25 miliar, hampir 6 kali lebih mahal daripada perkiraan awal Trump sendiri. Meskipun Trump mengatakan bahwa ia akan memaksa Meksiko untuk membiayainya, tidak semudah itu karena defisit $58 miliar AS pada Meksiko sendiri tidak dimiliki seluruhnya oleh pemerintah. Ketiga, tembok tidak akan menyelesaikan seluruh masalah. Salah satu contoh, kepolisian AS sendiri telah menemukan terowongan bawah-tanah yang dipakai untuk menyelundupkan narkoba dari Meksiko. Rupanya pembangunan tembok tidak menyelesaikan masalah tersebut, dan justru pembangunan tembok ini dianggap sebagai bentuk rasisme Trump terhadap orang-orang Meksiko.
Trump juga banyak dicecar akan pendapat-pendapatnya mengenai masalah-masalah sosial yang sedang berlangsung. Trump beranggapan bahwa perubahan iklim merupakan teori konspirasi yang dibuat-buat oleh Tiongkok. Ia sendiri berpikir bahwa gaji rata-rata warga negara Amerika Serikat terlalu tinggi sementara kemiskinan semakin meningkat. Anggapannya bahwa tindak aborsi merupakan tindak kriminal mengundang kritik dari pihak pro-choice. Sikap rasisme akan keturunan Amerika Latin yang ia tunjukkan kepada hakim federal Gonzalo Curiel baru-baru ini (terkait lawsuit mengenai Trump University) semakin merusak nama baiknya sebagai nominee dari Partai G.O.P.
Jadi, apakah Trump dengan rencana-rencana gilanya itu memang pantas menjadi Presiden Amerika Serikat? Kalau Trump yang terpilih, bisakah Anda bayangkan sikap politiknya terhadap Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia?
Kedua, Hillary Clinton.
Hillary memang punya catatan positif selama "berkarya" untuk Amerika Serikat. Setidaknya hal-hal itulah yang ia banggakan dan gembor-gemborkan dalam kampanyenya. Suaminya Bill, Presiden AS ke-42, mengatakan bahwa saat masih menjadi The First Lady ia sudah berperan besar dalam pendidikan dan hak anak. Hillary mendukung penuh kebijakan Obamacare untuk menjamin kesehatan (sebagian besar) penduduk AS. Bahkan ia bersama Obama, melalui Operasi Neptune Spear yang dicetuskannya, berhasil mengeksekusi pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, dan (diyakini) mengakhiri Al-Qaeda sebagai salah satu organisasi terorisme terbesar di dunia. Tidak heran, ia mendapat dukungan yang luar biasa besar dari berbagai pihak. Mulai dari tokoh-tokoh politik terkemuka sampai selebriti seperti Christina Aguilera, Ariana Grande, Mariah Carey, Pharrell Williams, dll.
Namun di balik attitude Hillary yang terlihat ramah, demokratis, dan punya cita-cita yang besar bagi Amerika, rupanya Hillary punya catatan yang buruk sepanjang karirnya. Bukan buruk saja, benar-benar buruk. Kasus-kasusnya itulah yang menjegal kampanye Hillary dengan begitu kuat, bahkan mungkin kasus-kasus itu juga yang membuat basis suporter Hillary semakin mengeropos dan beralih mendukung Sanders.
Tidak sedikit orang Amerika Serikat yang menganggap Hillary sebagai pembohong kelas kakap. Ia berkali-kali mengubah pendapatnya dan menolak bahwa ia berbohong. Banyak hal bertolak-belakang yang ia ucapkan. Misalnya, kalau dulu ia menolak keras pernikahan sesama jenis, baru sekitar tahun 2013 ia tiba-tiba mendukung pernikahan sesama jenis, dan orang-orang menganggapnya semata-mata hanya untuk tujuan politik saja. Clinton pernah mengaku bahwa pada kedatangannya di Bosnia tahun 2008 ia pernah diserang oleh seorang penembak sniper. Kenyataannya? Bohong.
Tidak sampai di situ. Berbagai kebijakannya selama menjadi Secretary of State di bawah kepresidenan Obama semakin membuktikan "kebahayaannya". Kasus Benghazi yang memakan korban staf CIA sendiri menjadi salah satu "dosa" terbesar Clinton. Clinton juga terbukti bertindak teledor dengan menggunakan alamat e-mail pribadi untuk kepentingan rahasia negara serta menggunakan server pribadi untuk mengakses akun resmi State Department.
Hillary dengan segala kebohongan yang pernah ia ucapkan dan kebijakan yang pernah ia buat tentu membuat warga negara AS harus berpikir dua kali. Memang bila dibandingkan dengan Trump ia lebih "cocok" menjadi presiden, seratus persen. Tetapi apakah Clinton dengan sikap-sikapnya itu memang pantas menjadi penguasa nomor satu di Amerika Serikat?
And so it goes.
Inilah dilema yang akan dihadapi warga Amerika Serikat pada bulan November nanti. Bisa saya simpulkan, AS memiliki pilihan yang sulit. Yang satunya memiliki rekor politik yang begitu buruk dan dikhawatirkan akan melakukan hal yang sama ketika menjadi presiden, yang satunya tidak berpengalaman politik sama sekali tetapi siap melakukan hal-hal gila yang bisa jadi akan mengguncang seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Apakah Indonesia akan siap menghadapi kepemimpinan entah siapapun di antara mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H