Tulisan salah seorang Siswa saya
Catatan Perjalanan Basic Survival Course VII Survival Skills Indonesia
Taman Nasional Baluran, Situbondo – Jawa Timur
13-17 April 2017
Day #1 Kamis, 13 April 2017
Diawali dengan materi ruang untuk pembekalan di Buana Guest House dekat TN Baluran mulai jam 10.00 hingga 01.00 keesokan harinya.
Day #2 Jumat, 14 April 2017
Hari kedua kami sudah siap masuk ke wilayah Taman Nasional Baluran untuk mengaplikasikan semua materi yang diberikan saat pembekalan ruang. Packing rapi, badan wangi, sehat jasmani rohani dan semangat kami jangan diragukan lagi, all out 100% pastinya.
Tim bertolak dari guest house berjalan kaki menuju kantor TN Baluran untuk konfirmasi ke petugas dan menunggu kendaraan yg akan mengangkut kami ke starting poin. Kami diangkut kendaraan 4x4 Manggala Agni (Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan) menuju Desa Katapang Kecamatan Karangtekok Situbondo, sebuah kampung nelayan di barat TN Baluran. Sebuah kapal kayu yang tangguh dan dua awaknya siap membawa tim kami. Kurang lebih 1,5 jam kami menyusuri pesisir yang menyabuk gunung baluran hingga kami sampai di area pantai Sloco. 400 meter sebelum bibir pantai kami dilepas dan siswa harus berjuang berenang sampai benar-benar menginjakkan kaki di pasir pantai, 1 dari 5 siswa kurang survive di poin ini sehingga coach Mike memutuskan untuk mengangkutnya kembali ke kapal. Didampingi para mentor akhirnya tim mendarat sempurna di pantai Sloco.
Setelah istirahat dan berberes di pantai Sloco kami melanjutkan perjalanan 2,8 Km menuju resort Balanan. Di Balanan kami bersih diri, sholat magrib dan membuat minuman hangat. Saat itu coach memberi kesempatan memasak, tetapi siswa tidak mempergunakan kesempatan emas tersebut karena malas bongkar packingan, padahal saat itu adalah isyarat coach Mike untuk salam perpisahan pada perbekalan logistik kami. Sangat disayangkan dan usah disesalkan .
18.15 perjalanan lanjut ke arah pantai Kajang, menembus gelap dan vegetasi hutan pantai menyambut kami. Sempat sedikit melenceng dari plotingan, tetapi coach segera recheck dan membenarkan arah perjalanan kami ke titik tujuan. Saat kami melanjutkan perjalanan salah satu siswa melihat 2 titik hijau neon menyala, ada yg mendeteksi itu kunang-kunang dan padahal dua titik nyala simetris itu adalah sorot mata macan tutul (Panthera Pardus Melasa) yang segera menjauh menyadari keberadaan kami. Tak terasa sejauh 5,6 Km kami berjalan dari Balanan dan coach memutuskan untuk camp di koordinat S 07° 49’29” dan E 114° 27’40”. Malam itu kami disebar untuk membuat shelter personal (kami menyebutnya dengan istilah blackout). Jarak terdekat adalah 100 meter dan yang terjauh 200 meter dari camp induk. Logistik, gadget, kamera dan korek api kami disita para mentor. Masing-masing dari siswa harus melewati semalam penuh stressor (pemicu stres dalam survival) yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti Loneliness (kesepian) yang dpt menimbulkan rasa takut berlebih, Fatigue (kelelahan), Hungry and Thirst dan cuaca yg tidak menentu.
Day #3 Sabtu, 15 April 2017
06.30 siswa Basic VII berkumpul di camp induk. Setelah bercerita tentang pengalaman blackout masing-masing siswa, coach menginstruksikan kami untuk mencari makanan disekitar camp untuk sarapan. Kebetulan disekitar camp I banyak terdapat siput/bekicot di tempat yang tidak langsung terpapar sinar matahari seperti bawah rerumputan, bebatuan besar dan bawah pohon, kami juga memangkas tanaman Beluntas (Pluchea indica) secukupnya. Untuk pengolahan sarapan pagi itu kami merebus bekicot yang telah kami keluarkan dari cangkang dengan air laut, setelah mendidih lendir akan naik ke permukaan seperti busa, lendir dibuang menggunakan sendok sedikit demi sedikit hingga kadar kekentalan air rebusan mengalami penurunan drastis, untuk beluntas kami rebus dengan air payau hingga matang dan ditiriskan. Bersyukur atas makanan kami pagi itu, bekicot dengan protein, lemak plus kasium dan daun beluntas yg kaya serat dan vitamin, terlebih dari sederet manfaatnya yang terpenting adalah perut kami sudah terisi.
Usai makan pagi kami memperhatikan coach yang sedang mendemonstrasikan cara mendapatkan air layak minum melalui metode destilasi (penyulingan) air payau. Caranya adalah dengan memasukan air payau pada botol logam separuh volume, masukkan selang waterpass yg sudah digulung rapat dengan beberapa helai daun lebar dan tutupkan sampai mampat pada lubang botol logam, selang yang terjuntai keluar botol diarahkan ke sebuah wadah penampung yang akan menampung uap air hasil proses tersebut, dan jangan lupa selang ditinggikan dengan diikat pada sebuah tonggak, terakhir panaskan botol logam dengan kemiringan sekitar 45°. Saat itu kami memanaskan botol logam dengan memasukkannya ke api unggun. Bila proses benar maka setelah mendidih maka uap akan terkumpul dan mengalir stabil ke wadah ke penampungan dengan sendirinya. Kami takjub pada proses destilasi dan berebut mencicipi hasilnya. Lumayan segar, walau rasanya tidak sepenuhnya menjadi tawar tetapi air ini sudah layak minum. Tidak puas dengan air payau kami juga mengulang proses serupa terhadap air laut. Namun kami mengulangnya 2 kali destilasi. Dan hasilnya memuaskan, kadar air laut yg asin jauh berkurang dan layak konsumsi.
Materi Siang itu dilanjutkan oleh salah satu mentor kami Om Wachid. Beliau menjelaskan dan menginstruksikan untuk materi membuat api dengan tinder alami namun masih menggunakan fire starter. Kami praktek satu per satu dan saling membantu siswa lain yg mengalami kesulitan, kurang dari satu jam materi api tinder alam selesai dan kami prepare untuk bergerak ke camp selanjutnya. Pukul 14.45 kami bergerak ke timur,dari 0 Mdpl jalur mulai divariasi kemiringan hingga sudut 60°. Coach memberi waktu break setelah tim mencicipi jalur menanjak, saat itu coach orientasi medan dan ploting area. Perjalanan dilanjutkan dengan menerabas jalur semak rendah pada tembakan 237°. Ilmu peta kompas juga diaplikasikan di Basic Survival Course VII. Setelah 1,5 Km berjalan kami melalui area yg cukup datar pada 200 Mdpl dan layak untuk camp, maka coach memutuskan untuk bermalam ditempat tersebut. Koordinat camp 2 adalah S 07°49’29” dan E 114°27’39,1”. Kami harus tidur berkelompok karena area tersebut masih home range macan tutul. Coach menginstruksi untuk membersihkan lahan dari tumbuhan semak sehingga kami bersembilan cukup tidur ditempat ini, mencari kayu bakar, membuat api dengan barrier batuan agar api tidak menjalar dan memotong dahan dahan akasia yang berduri kuat untuk pagar camp kami. Memagari camp dengan duri akasia adalah trik untuk bermalam di area yang rawan hewan liar. Setiap dari kami dapat giliran berjaga masing-masing 3 jam/shift untuk selalu waspada terhadap area sekitar camp.
Day #4 Minggu, 16 April 2017
Ada kabar kurang baik pagi itu, yaitu jumlah air tim terutama siswa menurun, hanya tersisa sedikit dan tidak mungkin cukup untuk melanjutkan perjalanan. Coach memerintahkan kami membuat transpirasi, setiap orang membuat 2 titik transpirasi dengan kantong plastik bening ukuran besar yg diikatkan pada dedaunan rimbun yang langsung terpapar sinar matahari. Berharap hari ini tidak mendung sehingga transpirasi yang sudah kami pasang terkena panas stabil hingga sore dan penguapan tumbuhan didalamnya maksimal, sehingga kaya uap air dan kita punya persediaan air hari itu.
Transpirasi kita tinggalkan, dan saatnya konsen ke materi trap, coach Mike membuat contoh dan menjelaskan Spanish Spring Trap dengan mempergunakan duri akasia hutan baluran yang panjang dan kuat. Ini adalah trap tipe deadly yang ketika hewan kecil seperti tikus hutan atau tupai mengoyak umpan maka akan langsung tertancap duri akasia dengan momentum tinggi. Kami mulai mencari material dan mempraktekkan membuat trap jenis ini. Coach berpesan dalam survival semua harus dilakukan dengan sabar dan benar, karena satu kesalahan akan membuat kita mengulang sebuah pekerjaan dan akan banyak menyita tenaga. Tetap logis, konsentrasi serta memilih material yang kuat dan tepat adalah kunci dari keberhasilan pembuatan trap.
Materi dilanjutkan oleh om Lorenz dengan menjelaskan Spring Snare Trap dan Simple Snare, materi trap hewan kecil ini sudah pernah didapat di gathering masing-masing daerah tetapi dipraktekkan secara berkelompok, dan di Basic Survival Course harus dipraktekkan secara personal dan benar.
Konsentrasi tinggi saat membuat trap membuat kami kepayahan. Lapar, haus dan panas merupakan stressor yang tak terhindarkan siang itu. Coach menyuruh kami istirahat untuk menghemat tenaga dan mendinginkan badan, karena salah satu kunci survival adalah menjaga Core Body Heat tetap di angka normal 36,7°C – 37°C. Setelah cukup istirahat kami memeriksa plastik transpirasi yg kami buat pagi harinya. Sepuluh titik transpirasi kami menghasilkan 1100 ml air yang kami saring dan kami purifikasi dengan beberapa tetes betadine cair agar aman dikonsumsi, sungguh hasil yang tak terduga dan secercah tawa siswa Basic Suvival Course VII tersirat.
Sebelum flying camp lanjut kami mengisi stamina dengan memakan mentah daging lidah buaya yang kulitnya kami kupas bersih. Dagingnya yang tebal dan segar dapat menurunkan panas tubuh dan mengenyangkan, tentu saja minumnya kali ini air hasil transpirasi, satu orang dapat jatah satu tutup botol ukuran besar, mengingat perjalanan masih panjang maka manajemen juga harus super ketat.
Shooter lanjut pada bidikan kompas 237° , dan pioneer dengan tramontina di tangan siap memangkas semak membuka jalur pergerakan. Dan ada satu lagi bawaan kami yang akan menyelamatkan jiwa, yaitu dua buah kaos kaki yang kami isi dengan abu bekas bakaran kayu, fungsinya ketika kita tekan tekan buntalan tersebut maka abu halus akan bekerja dengan hembusan angin dan akan menyamarkan bau tim kami agar tak terendus kawanan banteng liar, karena sifat agresif kawanan banteng trik ini mutlak perlu untuk survive. Vegetasi semak rapat yang hampir satu jam kami tembus seketika berubah menjadi hutan homogen Akasia yang membuat sangat waspada, durinya mampu menembus sepatu trekking, merobek cover carrier dan menambah koleksi lecet pastinya. Sesekali kami berhenti untuk membasahi tenggorokan dan melepas lelah yang semakin tebal. Coach rutin resection dengan GPS memeriksa apakah bidikan siswanya masih pada garis ploting. Vegetasi mulai renggang dan banyak tulang mamalia besar berserakan, seperti melewati ladang pembantaian dan kami menafsirkan area itu adalah ruang makan sang predator. Keluar dari hutan tersebuat kami berlarian menuju savana. Disini kami istirahat dan menemukan botol air mineral penuh isi didekat kubangan lumpur sapi liar, mungkin milik petugas jagawana yang tertinggal. Kami meminjam Miltract pada seorang pendamping. Salah satu siswa memompa penuh semangat hingga tak sadar tenaganya over hingga alat penyaring air tersebut pecah dan tak bisa berfungsi lagi. Para Siswapun dapat wejangan untuk selalu melakukan segala hal dengan sabar dan teliti dalam kondisi survive.
Ingin cepat sampai pada tujuan kami yaitu Savana Bekol, tapi apa daya matahari hampir tenggelam dan jarak pada peta masih 1,89 km lagi. Dua setengah jam berjalan kami telah menempuh 2,8 Km dan coach memutuskan untuk bermalam di savana. Coach menggiring kami kearah timur sambil mengamati sekitar, kami menemukan bekas api unggun para jagawana yang patroli dan coach menentukan tempat tersebut untuk bermalam. Tim dibagi tugas untuk mencari kayu bakar, menyiapkan barrier perapian, merapikan barang dan membuat beberapa tombak untuk pertahanan apabila ada serangan hewan liar. Kami harus tidur berdekatan disekitar api dan masih dengan sistem shift untuk berjaga hingga pagi. Makan malam kami masih sama, yaitu sisa lidah buaya dari camp 2 dan air transpirasi. Sisa air tinggal 250 ml, kami memutuskan untuk minum satu tutup botol tengah malam dan satu tutup botol esok pagi.
Mungkin selama hidup tak terbayangkan akan tidur di savana raya beralas matras, beratap langit penuh kerlip bintang, berdampingan dengan kawan seperjuangan dan yang paling gila adalah kami menjadi tamu jutaan pasang mata satwa yang sedang mengintai dari berbagai sudut. Taman Nasional Baluran adalah zona perlindungan habitat banteng jawa (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), kijang (Munticus muntjak), macan tutul (Panthera Pardus Melas), anjing hutan/ajag (Cuon alpines), merak hijau (Pavo javanica), ayam hutan hijau (Gallus gallus) dan satwa lainnya.
Kami mengarahkan sinar dua buah lampu senter kearah luar camp untuk menandai bahwa ada kami di titik tersebut. Hampir tiap malam kami dipantau si macan dan malam itu si ajag ikut gelisah mengamati. Camp ketiga kami berada di koordinat S07°49’54” dan E 114°27’09,6”, sebuah tempat bernilai histori tinggi di kehidupan kami yang istimewa. Waktu menunjukkan pukul 19.00, beberapa diantara kami lelap dengan riuh suara perut bersahutan. Ya. Memang sejak hari pertama kami dihadapkan pada kondisi mendekati kondisi survival sebenarnya, dimana kami harus bisa menerima semua kondisi dengan lapang dada dan dengan sungguh-sungguh menerapkan apa yang telah diajarkan di materi ruang oleh coach Mike.
Day #5 Senin, 17 April 2017
Menjelang pagi coach dan beberapa rekan terjaga lalu berbincang. Banyak hal tentang survival yang dibicarakan dini hari itu, termasuk diantaranya belajar tentang bagaimana membaca arah dengan melihat bintang. Tentunya ini bukan dengan LCD proyektor, tapi langitlah yang jadi monitornya.
Air semakin menipis, dan coach menyuruh kami untuk mengumpulkan embun di rerumputan savana dengan menggunakan kain bersih yg diikatkan pada kaki. Setelah jalan kesana kemari kain yg basah oleh embun di peras, disaring dan di sterilkan dengan betadine. Pagi itu kami dapat 250 ml berkat para “Embun Catcher”
Pagi itu kami bergerak pukul 05.00 mengingat ini adalah wilayah savana yang panasnya bukan bualan jika matahari meninggi. Tanpa mengisi perut dan hanya berbekal air embun kami tetap semangat melanjutkan perjalanan. Masih bernavigasi ria kami kembali memasuki vegetasi hutan yang semak belukarnya setinggi badan orang dewasa. Target kita savana bekol yg jaraknya 1,89 Km dari camp 3.
Kondisi tim saat itu kurang baik. Lelah, lapar, dehidrasi dan air ludah sudah pada kepekatan maksimal. Langkah kami mulai linglung dan beberapa diantara kami hampir tumbang. Namun rejeki tak kemana. Kami melewati sebuah kubangan kaya air di kontur kali mati, nampaknya ini adalah tempat minum satwa. Meskipun keruh kami mengambilnya, mempurifikasi air tersebut dan kami minum sepuasnya. Sungguh kondisi diluar akal sehat, bagaimana kami merasa sangat bahagia menemukan air kubangan selaksa menemukan bongkahan emas. Menghadapi kondisi tersebut membuat kami lebih dalam bersyukur dan memahami kebesaran Tuhan.
Setelah lama beristirahat dan banyak minum kondisi tim membaik. 700 meter lagi savana bekol dan kami menemukan sebuah jalur setapak menuju kearahnya. Karena panas mulai menyengat, kami tetap berkala berhenti sejenak untuk berteduh sembari menurunkan panas tubuh. Rata-rata orang berjalan dengan kecepatan 5Km/jam, namun dalam Basic Survival Course VII ini berbeda. Camp 3 ke Savana Bekol yang jaraknya hanya 1,89 Km harus ditempuh dari pukul 05.00 sampai pukul 11.00 dimana matahari terasa sangat membakar. 5 jam perjalanan memang lama bagi orang awam, disini bisa terbaca betapa sulitnya medan tempuh dan pengendalian emosi diri yang tidak main-main. Dalam survival yang terpenting bukan cepatnya waktu tempuh, namun keluar dari kondisi survival dalam kondisi masih baik dan tetap memelihara logika adalah misi utama.
Savana Bekol telah dipijak dan terdapat sebuah warung disana. Warung tersebut langsung diserbu para survivor kalap. Benar-benar penutup petualangan yang sempurna. Saatnya kembali di belantara kehidupan sebenarnya yang tak kalah istimewa.
Survival adalah 100% logika, maka kehilangan logika adalah awal dari bencana. Basic Survival Course SSI merupakan replika kehidupan nyata yang merupakan survival sesungguhnya. Banyak pelajaran berharga yang akan menuntun kita untuk hidup lebih tertata.
Terimakasih Allah SWT atas kesempatan belajar yang berharga ini.
Thx Coach Mike kebanggaan kami
Thx para mentor luar biasa (om Wachid , om Lorenz, Pakpuh Sigit)
Thx buat rekanku siswa Basic Survival Course VII “Cobra Savannah” yang super gila (ada pak guru, ada pekerja kantoran, ada siswa kelas 3 SMP yang ijin ga ikut ujian, ada Petugas Pemadam Kebakaran dan ibu rumah tangga yang hampir diberi ijin buka warung di Baluran)
Thx buat suami tercinta dan my son Dylan Seto yang merupakan support, sumber kekuatan dan inspirasiku
Salam In Omnia Paratia
Fefe “Cobra Savannah”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H