Mohon tunggu...
Misbahuddin
Misbahuddin Mohon Tunggu... -

Saya Mahasiswa dari kota pamekasan yang kuliah di Universitas Islam Malang mengambil Jurusan Pendidikan Matematika. Di samping kuliah UNISMA saya juga kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam di UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan yang Membingungkan

18 Maret 2017   07:09 Diperbarui: 18 Maret 2017   20:00 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber foto: Youthmanual.com

Ada pernyataan menarik dari salah satu siswa Madrasah Aliyah ketika saya ikut teman mengajar les privat matematika kemarin. Siswa tersebut berkata “saya lupa materi minggu kemarin soalnya banyak tugas mata pelajaran yang lain, padahal saya tidak menyukai materi itu, saya jadi bingung mau belajar mata pelajaran apa, semua guru mapel memberi tugas”.

Ketika satu siswa harus mengkonsumsi banyak mata pelajaran, maka tidak heran jika siswa tersebut bingung mau belajar yang mana duluan, yang mana yang harus ditinggalkan, dan yang mana yang harus diprioritaskan. Sedangkan masing-masing guru akan memberikan sangsi jika tugas yang diberikan tidak dikerjakan. Entah sangsi berupa nilai rendah, ancaman, dan hukuman.

Tentu setiap siswa punya minat dan kecenderungan menyukai salah satu mata pelajaran. Oleh karena sistem yang berlaku pada sekolah di Indonesia siswa pun tidak bisa menghindar dari paksaan untuk belajar semua mata pelajaran yang disuguhkan. Bagaimana ia bisa menikmati apa yang ia sukai, ketika semua mata pelajaran harus dikonsumsi. Ibaratanya ada siswa yang hanya ingin makan pisang, tapi dipaksa makan semangka, nangka, apel, salak, dan buah-buah yang lain. Bagaimana seseorang tersebut bisa menikmati pisang, ketika semua buah harus dimakan sekaligus.

Sebenarnya problem ini sudah lama diperbincangkan di negeri kita ini. Hanya diperbincangkan saja sih. Belum ada solusi dan tindak lanjut yang nyata untuk merubah. Mungkin karena banyak yang setuju siswa disiksa dengan berbagai variasi pelajaran. Karena mereka yang setuju menganggap bahwa siswa Indonesia punya kemampuan intellegensi lebih dari pada negara lain.

Ada yang berkata demikian “siswa Indonesia walaupun belajar banyak mata pelajaran, toh bukti di olimpiade pada bidang sains maupun sosial tetap jadi juara, bahkan negera lain yang difokuskan sejak kecil belajar yang ia minati kalah tuh sama Indonesia”. Sekilas memang benar, bahwa niat dan keinginan para pejabat pendidikan untuk mencerdaskan siswa Indonesia lewat berbagai mata pelajaran bernilai baik. Tapi fakta keluhan para siswa sudah beberapa kali saya dengar. Baik saat saya mengajar di kelas maupun saat bertemu di luar kelas.

Begitu cerdasnya siswa Indonesia jika mampu menjadi siswa yang diinginkan pengembang pendidikan yaitu mampu segala bidang. Mampu mengerti dan paham semua materi pelajaran. Dan dengan kemampuan itu maka tidak lagi membutuhkan orang yang mampu ini dan itu. Dalam benak saya, andaikan siswa diberi kebebasan memilih belajar dengan fokus apa yang ia suka maka hasilnya pun lebih maksimal dibidangnya. Karena yang ia kerjakan berdasarkan minat dalam dirinya. Kalaupun nantinya ia harus belajar yang lain dengan cara tidak terpaksa agar bisa dinikmati sesuai kebutuhan saja.

Problema ini sudah sedari dulu dibicarakan. Banyak orang menilai dalam dua posisi, secara positif dan secara negatif. Lalu ada pertanyaan begini, lebih cerdas mana guru dan siswa? Setiap guru hanya mampu dalam satu mapel saja, tapi semua siswa harus mampu semua pelajaran. Pertanyaan ini sedikit memberikan keterbukaan bagi para guru untuk memberikan kebebasan belajar sesuai yang siswa minati. Tidak perlu memaksa bahkan menyiksa siswa ketika di salah satu bidang yang lain tidak bisa. Apa seorang guru sejarah juga bisa matematika, belum tentu juga kan.

Jika memang sistem pendidikan sudah tidak mungkin berubah seperti yang saya paparkan, setidaknya setiap guru punya kesadaran untuk mendidik siswa dengan pendekatan apa yang siswa minati. Tanpa perlu memaksakan kehendak. Pada akhirnya pun pendidikan di Indonesia setelah lulus dari siswa tetap saja memilih satu jurusan yang disukainya. Terus mata pelajaran yang menumpuk tadi hilang kemana?

Problema tentang sekolah formal memang terus terjadi benturan. Di sisi lain masih sangat beruntung di negeri kita ini negara memfasilitasi pendidikan dengan adanya sekolah formal, walaupun pemerataan pendidikan baik dari biaya dan sarana masih jauh dari harapan. Bahkan ada yang bilang “sekolah memiskinkan”, dan yang lain lagi berkata “apalagi tidak sekolah”. Jadi memang pendidikan kita ini serba membingungkan. Ada sekolah favorit ada yang tidak pavorit, ada sekolah elit ada yang tidak elit, ada sekolah gratis ada sekolah yang bayarnya mahal.

Dari problema di atas yang terpenting para pemangku pendidikan, baik guru, pendidik, dan segala praktisi pendidikan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada siswa. Menghargai sekecil apapun karya siswa, membuka ruang berpikir untuk memilih cara dan metode belajar siswa. Menyuguhkan tempat dan waktu untuk memperluas wawasan yang siswa minati untuk dipelajari. Tidak membatasi, apalagi memaksa harus tahu semua bidang pelajaran. Kasihanilah siswa, ia menangis tapi tidak tampak. Ia tersiksa tapi guru tak merasa. Ia berduka tapi pendidik bersuka cita. Tentu kita masih bingung pada pendidikan formal yang ada di negeri kita. Wallahu a’lam bisshowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun