pendidikan guru penggerak kala itu. Seperti biasa tidak banyak yang berminat untuk mengikuti program pengembangan profesi. Terlebih jika tidak ada kejelasan setelah itu dapat apa.
Tenang saja, nanti ganti menteri juga ganti kurikulum. Daftar guru penggerak mau jadi apa? Guru penggerak tugasnya banyak. Guru penggerak tidak jelas! Beberapa kalimat yang sering saya dengar, baca, dan temui ketika memutuskan untuk mengikuti programSaya adalah seorang guru ekonomi di SMA Islam Al Azhar 14 Kota Semarang. Saya tergabung dalam program pendidikan guru penggerak angkatan empat. Mengikuti berbagai kegiatan pengembangan diri dan bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang memang merupakan sebuah hobi. Tanpa iming-iming tertentupun, dengan senang hati saya akan mengikuti kesempatan yang diberikan untuk belajar.Â
Ketika menjalani lokakarya nol, barulah info yang mengejutkan disampaikan. Diklat calon kepala sekolah ditiadakan, sebagai gantinya calon kepala sekolah harus memiliki sertifikat guru penggerak. Berkat keputusan tersebut pendaftar program pendidikan guru penggerak naik berlipat ganda. Banyak pihak mempertanyakan kemampuan guru penggerak yang didominasi oleh guru-guru muda.
Terlepas dari berbagai polemik pro dan kontra, berkesempatan menjadi guru penggerak adalah anugerah yang luar biasa. Materi pembuka modul pertama telah membuat saya jatuh cinta. Materi itu hampir mengubah seluruh paradigma saya selama enam tahun menjadi guru. Ya, materi itu tentang filosofi merdeka belajar. Filosofi yang diangkat dari kisah Ki Hadjar Dewantara dengan putrinya.Â
Sepenggal kisah yang masih saya ingat, Ki Priyo Husodo sebagai penutur kala itu bercerita bahwa ketika Ki Hadjar Dewantar bertugas sebagai wartawan di Belanda, putrinya R. Ay. Niken Wandansari Sutapi Asti kecil mengajak bermain. Sontak saja Ki Hadjar yang sedang dikejar tugas meminta ni Asti untuk keluar. Beliau lupa bahwa mereka tidak di Indonesia yang beriklim tropis sehingga anak-anak bebas bermain di luar kapanpun.Â
Seusai Ki Hadjar menyelesaikan pekerjaan, beliau baru ingat bahwa mereka berada di Belanda dan sedang turun salju. Buru-buru Ki Hadjar menemui putrinya di luar yang telah membiru, menggigil kedinginan. Segera dibawalah Ni Asti ke dokter.Â
Dokter mengatakan Ki Hadjar telah gila, membiarkan anaknya terkena hipotermia. Beruntung nyawa Ni Asti masih bisa diselamatkan. Selepas kejadian tersebut Ki Hadjar berujar, "Kowe bakal tak mulyakke selawase." (Kamu akan saya muliakan selamanya). Kalimat inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Taman Siswa dan jantung dari merdeka belajar.
Kisah Ki Hadjar yang saya dapatkan dari guru penggerak begitu menyentuh. Guru penggerak tidak hanya menjadikan saya guru yang baik, namun juga memperbaiki peran saya sebagai seorang anak, adik, kakak, orang tua, rekan kerja, anggota masyarakat, dan warga negara yang baik.Â
Dengungan merdeka belajar bukanlah berperilaku bebas sesuka hati. Jauh lebih dari itu, bahwa di dalam merdeka ada sebuah disiplin yang ketat. Kedisiplinan untuk cakap mengatur diri, untuk tidak bergantung, untuk merdeka terhadap tujuan dan cara, merdeka dari tekanan lahir dan batin, untuk bebas tak terperintah.Â
Ki Hadjar menyampaikan jika kita tidak pandai memerintah diri dan berdisiplin tinggi, maka akan ada pihak lain yang mendisiplinkan, memaksakan tujuan dan caranya. Merdeka belajar adalah sebuah cita-cita agung yang harus diperjuangkan, namun disisi lain juga merupakan sebuah pilihan.Â
Pilihan untuk mau memperjuangkannya atau menerima begitu saja apa yang sudah ada. Modul satu guru penggerak juga membahas tentang pendidikan yang dapat memerdekakan menurut Ki Hadjar Dewantara. Beberapa poin tersebut diantaranya adalah antitabularasa, sistem among, berpihak pada murid tanpa rasa pamrih, kodrat alam dan kodrat zaman, serta tri sentra pendidikan.
Anti Tabula Rasa
Menurut KBBI, tabula rasa adalah teori yang menyatakan bahwa setiap individu dilahirkan dengan jiwa yang putih bersih dan suci (yang akan menjadikan anak itu baik atau buruk adalah lingkungannya). Bapak Ki Hadjar Dewantara berprinsip anti tabula rasa, yang berarti bahwa anak lahir bukanlah kertas putih, namun sudah sepaket dengan bakatnya, sehingga pendidikan hendaknya dapat mengoptimalkan potensi agar anak dapat menjadi versi terbaik dirinya.
Sistem Among
Guru bertindak sebagai penuntun atau fasilitator. Guru tidak bertindak sebagai seseorang yang maha tahu dan penentu semua keputusan. Peran guru meliputi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan sebagai teladan, di tengah sebagai penyemangat, di belakang memberi dorongan. Prinsip ini jugalah yang menjadi semboyan pada logo kementerian pendidikan. Kalimat terakhir "Tut Wuri Handayani" dipilih karena diibaratkan jika seorang guru telah dapat melaksanakan kalimat terakhir, menjadi penuntun, artinya ia telah dapat melaksanakan dua kalimat di depannya.
Berpihak Tanpa Rasa Pamrih
Berpihak pada murid tanpa rasa pamrih yang menjadi prinsip berikutnya merupakan suatu tindakan mendekati murid suci hati tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Guru bersama murid menentukan tujuan dan cara dalam mencapai tujuan pembelajaran bersama-sama, mewujudkan semangat belajar sepanjang hayat.
Kodrat Alam dan Zaman
Ki Hadjar berprinsip bahwa dalam mendidik hendaknya seorang guru dapat menyesuaikan dengan zaman dimana anak-anak tumbuh dan berkembang. Guru juga hendaknya mendidik anak sesuai dengan fitrahnya, sesuai dengan tahapan perkembangan.Â
Ki Hadjar mendorong betul bagaimana anak-anak petani setidaknya harus dikenalkan dengan pertanian, anak-anak nelayan setidaknya tahu berbagai jenis ikan dan cara membudidayakannya. Inilah yang menjadi cikal bakal kebangsaan dan cinta tanah air. Pembelajaran menyatu dengan alam dan kontekstual. Bagaimana segala ilmu pengetahuan yang anak-anak peroleh dapat memberi manfaat dan keberkahan di lingkungan sekitar di mana ia tinggal, hidup, dan dibesarkan.
Tri Sentra Pendidikan
Pendidikan tidak berjalan sendiri, ia menjadi tanggung jawab bersama antar keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Keluarga yang baik tanpa sekolah dan lingkungan masyarakat yang baik tentu tidak akan jadi. Keluarga dan sekolah yang baik tanpa lingkungan yang baik tentu tidak optimal. Sekolah dan lingkungan masyarakat yang baik tanpa keluarga yang baik maka akan cidera. Dalam mewujudkan tujuan pendidikan maka komponen dari tri pusat pendidikan harus saling berkolaborasi dengan baik. Berjalan selaras dan seimbang, tanpa saling menyalahkan satu sama lain.
Dasar-dasar tersebut menjadi bekal yang begitu luhur untuk saya menjalani profesi sebagai seorang pendidik. Merdeka belajar tidak lagi hanya sekadar produk pemerintah tertentu, atau hanya menajwab tantangan yang saat ini terjadi saja. Merdeka belajar telah digaungkan oleh Ki Hadjar Dewantara beratus tahun bahkan sebelum Negara Indonesia merdeka. Hingga saat ini filosofi Ki Hadjar Dewantara masih tetap relevan diterapkan.Â
Terima kasih pada pemerintah yang telah mencanangkan program pendidikan guru penggerak sebagai program favorit yang saya pilih dalam rangka "Semarak Merdeka Belajar". Karena selain filosofi yang agung ini, selama empat belas bulan pendidikan saya juga dikenalkan berbagai kompetensi yang sangat dibutuhkan sebagai seorang manusia agar dapat memanusiakan manusia.Â
Program pendidikan guru penggerak tidak hanya dibutuhkan oleh guru, namun juga warga negara Indonesia. Mari bersama-sama kita mengembalikan muruah merdeka belajar pada arti yang sebenarnya. Karena terlepas dari sebuah profesi, pada hakikatnya kita semua adalah murid, kita semua adalah guru.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H