Ayah Bunda yang dirahmati Allah. Semoga pengasuhan terbaik senantiasa didapatkan optimal oleh buah hati kita.
Beberapa tahun ke belakang, secara berturut-turut, saya "dicurhati" oleh beberapa orang tua yang putra/putrinya mengalami traumatik di sekolahnya sendiri.Â
Bahkan ada salah satu anak yang hanya dengan melihat sampul buku berwarna coklat khas anak sekolah saja, debar ketakutannya spontan terpicu.Â
Dia teringat sekolah, dia teringat bapak gurunya yang telah menorehkan luka di jiwanya. Seorang wali kelas yang kerap kali meledakkan kemarahan, mengingatkan dengan kasar hingga memukulkan penggaris dengan kerasnya ke atas permukaan meja di hadapannya.
Ada pula anak yang mogok sekolah gara-gara dianggap terbelakang oleh gurunya, sehingga tidak bisa mengikuti proses belajar yang diharapkan. Dilihat dari sisi konsentrasi, memang tergolong anak berkebutuhan khusus.Â
Tetapi dari sisi status ketidakwajaran yang dimiliki anak tersebut, sebetulnya masih tergolong sangat ringan. Terlebih dengan kecerdasan sosialnya yang terbilang baik.Â
Membuat anak tersebut masih bisa mengikuti kegiatan di kelas dengan tertib. Tetapi penghakiman sang wali kelas terlampau mendiskreditkan anak laki-laki yang baru kelas 2 SD itu.Â
Singkat cerita, diputuskanlah oleh kedua orangtuanya untuk tidak meneruskan di sekolah tersebut. Hingga kesakithatian orangtuanya berlanjut hingga bentuk pelaporan kepada pejabat berwenang.
Kasus ketiga terjadi pada anak perempuan berusia empat tahun. Pandangan mata yang tidak fokus sambil memiringkan kepala ke arah kanan, ditambah dengan lafal bicara yang masih cadel, membuat teman-teman sekelasnya mengejek dan mengatai gadis kecil itu dengan sebutan yang tidak layak.
Sayangnya, ibu guru yang selayaknya melerai dan memahamkan anak-anak lain, seolah tak peduli dengan gejala yang mengemuka. Alhasil, gadis yang hampir setiap hari diejek itu memilih berdiam di rumah dan enggan untuk kembali ke sekolah.