Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tafakur Pernikahan sebagai Takaran Kualitas Pengasuhan

2 Maret 2022   14:18 Diperbarui: 4 Maret 2022   13:12 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun ketika dipelajari lebih awas dan lebih dalam, anak-anaknya menjadi memiliki masalah di dunia sosialnya. Yang paling kasat mata, di lingkungan sekolah tempat mereka berteman dan berinteraksi.

Meski usianya masih terbilang kecil, tapi dampak itu jelas nampak. Mulai dari kesulitan duduk diam yang juga sekaligus kesulitan untuk diarahkan duduk dengan tertib. Pun ketika dibawa berkomunikasi, sang anak relatif "gak nyambung" alias tidak terstruktur dan tidak jelas arah pembicaraan. 

Kenapa bisa? Ya sangat mungkin bisa demikian. Dari mana? Dari sikap ibunya yang memilih banyak mengunci diri di kamar tersebab kemarahan yang belum terpuaskan. Atau di luar mengunci diri di kamar pun, mengunci mulut dari berinteraksi atau sekadar saling bertegur sapa dengan anggota keluarga.

Ini artinya, keterkuncian hati kepada suami, secara pararel, terjadi juga ke anak. Seorang anak, terlebih anak usia dini, ketika banyak diabaikan oleh orangtuanya, ketika kurang perhatian dalam bentuk komunikasi obrolan dengan ibunya, bukan tak mungkin dia jadi tak punya teman berbicara. 

Dan ketika kekurangan ruang untuk sekadar berbicara, maka bagaimana dirinya akan berbicara. Maka wajar ketika berbicara di lingkungan luar pun terjadi kesulitan, tersebab masalah yang ada di rumah yang membuatnya tak terstimulus.

Dan ternyata dampak dari kesakithatian akibat perselingkuhan itu tak sampai di sana. Sang anak menjadi seseorang yang dikenal lekat oleh teman-temannya sebagai anak yang tukang meminta-minta makanan. Bahkan bukan satu dua, anak-anak di sekolah yang kemudian menjadi reaktif tersebab secara spontan diambil makanannya.

Kok bisa? Apa hubungannya dengan ketakharmonisan rumah tangga ibu bapaknya? 

Selidik punya selidik, ternyata kebiasaan anaknya meminta makanan orang lain adalah karena perutnya dalam keadaan lapar. Karena ia terbiasa diabaikan dari waktu makan. Bahkan ketika setiap kali ditanya apakah sudah sarapan atau belum, sang anak dengan polos dan setengah memelas itu mengatakan bahwa ibunya tak pernah membuatkan sarapan untuknya?

Logikanya dari mana? Kok bisa, tidak membuatkan sarapan? Ya, karena pagi hari adalah sesuatu yang stuck untuk ibunya. 

Pagi hari adalah waktu di mana ia mempersepsikannya untuk tak bisa bangkit, meski sesederhana alias semekanis alias selumrah seorang ibu. Pergi ke dapur. Itu tak bisa dilakukan. Dan sang ibu tak merasa khawatir saat secara berulang, anak-anaknya tak disiapkan sarapan. 

Lagi-lagi, bagian dari kemarahan yang masih beum terurai, di mana efeknya dirasakan oleh anak-anak. Anak-anak terpaksa harus menahan lapar bahkan pergi ke sekolah dalam kondisi belum sarapan. Lebih ekstrem lagi, tidak dibawakan bekal makanan untuk sang anak makan bersama teman di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun