Jika idealisme Kartini mengabadi dalam sebuah karya tulis yang dibidani oleh Armin Pane berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, konteks hijrah Rasulullah Rasulullah Saw pun menjadi sebuah kelanggengan filosofi "dari Jahiliyah menuju Khairu Ummah".Â
Artinya, bagaimana kebodohan dan keterbelakangan bertransformasi menjadi sebuah keterbukaan cara pandang dan kecerdasan mencerna fenomena. Dan jika kita cermati jauh ke dasar ruang pikir, maka filosofi demikian adalah filosofi pendidikan.
Pun aliran psikologi humanistik mendeklarasi sebuah quote bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Sebuah frasa yang tentu saja bukan sekadar frasa, melainkan sebuah metakognisi (berpikir tentang cara berpikir).Â
Artinya, betapa pendidikan adalah sebuah dimensi, di mana ruh, jasad dan akal dengan sangat romantisnya berintegrasi mewujud kehakikian diri manusia sebagai makhluk terbaik (ahsanu 'amala).
Bahkan jauh sebelum kita terlahir, secara etnografi, masing-masing kultur di nusantara Indonesia memiliki syair tak bertuan alias no name yang substansinya adalah petuah pendidikan.Â
Artinya, bagaimana nenek moyang orang Sunda mengayun-ayun bayinya dalam gendongan dengan sebuah syair khas yang bebunyi "Neng nelengnenggung, geura gede geura jangkung, geura sakola sing jucung".Â
Maknanya kurang lebih adalah bahwa para orang tua kita menghadirkan doa tulus untuk kita agar menjadi insan yang bermartabat melalui sebuah wasilah (jalan) bernama sekolah (pendidikan).
Demikian pula dengan Bapaknya Pendidikan Indonesia (Ki Hajar Dewantara). Keresahan yang terus berkecamuk atas kondisi bangsa yang terjajah oleh Belanda, di mana di zaman tersebut anak-anak Belanda mendapat hak pendidikan yang tukmaninah alias representatif.Â
Lalu keresahana itu menjadi sebuah aksi fenomenal di mana beliau mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga Pendidikan yang dapat diakses oleh anak-anak bangsa kita. Dan dari sanalah denyut Hari Pendidikan Nasional mengembrio dan terlahir.
Selanjutnya, menjadi sebuah indikator bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang literat. Hal ini sebagaimana ditegaslan oleh Permanasari (2015) bahwa tingkat literasi masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang vertikal terhadap kualitas bangsa.Â
Ini artinya, bahwa kedekatan masyarakat sebuah bangsa terhadap ilmu pengetahuan, di mana salah satu jendelanya adalah melalui aktivitas pendidikan, menjadi sebuah kecendekiaan tersendiri.