Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pendidikan Keluarga

Menjalani Peran Pengasuhan Berkesadaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengasuhan dan Rasa Bersalah yang Berlebihan

20 Desember 2020   21:59 Diperbarui: 20 Desember 2020   22:05 2452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa sadar, kita pernah atau bahkan sering terjebak pada sebuah klaim atau argumen atau informasi yang kita sendiri belum menelusuri atau mengonfirmasinya lebih jauh. Sebagai contoh, marak dalam perbincangan atau dalam tulisan-tulisan atau dalam panggung-panggung seminar, terkait rusaknya bagian otak anak tersebab perlakuan kasar orang tua. Tak sedikit pula, orang tua yang kemudian berujung pada paranoid alias merasa cemas dengan sikap dan perlakuan salah yang telah diberikan pada anak.

Kerusakan otak, terputusnya jaringan-jaringan, dan atau argumen sejenis, sebaiknya memang kita pelajari ulang keabsahan informasinya. Kalaupun memang benar berdampak pada kerusakan, minimal kita dapat menelusuri tingkat sensitivitasnya. Artinya, apakah dengan satu kali peringatan saja langsung dapat memutuskan synap otak anak?

Berkenaan dengan hal tersebut, Wastell dan White (2012) menyampaikan argumennya dalam sebuah jurnal bahwa otak anak sebetulnya tidak mudah rusak, di mana keberadaanya dilindungi oleh organ-organ pelindung. Bahkan menurutnya, dengan terlalu berhati-hatinya kita berbicara dengan anak, cukup kontroversi dengan upaya kita dalam menegaskan disiplin. Namun tentu saja, apa yang disampaikan oleh Wastell dan White adalah sebuah koreksi terhadap neurosains, yang tidak berarti membelokkan cara pandang kita untuk boleh sesuka hati bersikap keras pada anak.

Selanjutnya, berbicara kerusakan otak pada anak, salah satunya bisa kita hubungkan dengan konteks child abuse. Child abuse memang ada dan bukan mengada-ada. Artinya, ragam kejadian di mana anak disiksa secara fisik maupun psikis, itu memang terjadi. Bahkan --naudzubillah-, perkosaan terhadap anak, itu memang ada. Pun sebagian ibu hamil yang berusaha menggugurkan kandungan dengan berbagai alasan, atau merasa tak ikhlas dengan kehamilannya, itu juga jelas ada.

Mencerna konteks "penyiksaan" di atas, cukup logis korelasinya terhadap perkembangan mental anak. Atau kalau dalam istilah orang Sunda, ada yang dikenal dengan istilah teunggar kalongeun. Artinya, sebuah kondisi di mana anak terganggu perkembangan sosial emosinya, disebabkan pengalaman pahit yang menderanya. Adapun ciri yang dapat diindera secara kasat mata yaitu berupa sikap minder, gugup, gagap, ragu, cemas, takut, dan sejenisnya.

Namun penting juga untuk kita pahami bahwa anak yang merupapakan korban "salah asuhan" itu sebetulnya bisa disembuhkan. Walaupun --tentu saja- butuh upaya yang tak sederhana. Minimal, kita bisa "merangkul" (menerima) anak tersebut sepenuh kasih sayang. Kita terima keberadaannya, kita berikan asupan optimisme, kita berikan padanya ruang untuk berkarya, dan seterusnya. Selanjutnya, upaya tersebut juga butuh waktu. Karena seorang anak dengan pengalaman yang menyakitkan, tentu memikul dampak yang tak biasa. Namun sekali lagi, ini tentang upaya. Upaya itu idealnya berbanding lurus dengan keyakinan.

Adapun hubungannya dengan konteks pengasuhan yang kita hadapi, contoh "ekstrem" di atas tidak dalam rangka meremehkan kesalahan kita dalam proses mengasuh buah hati, melainkan bagaimana kita fokus pada solusi. Bukan pula menjadi sebuah pembolehan untuk kita mengulangi kesalahan asuhan, melainkan bagaimana kita mampu seimbang menyikapi. Artinya, kita sepenuh sadar mengakui apa yang salah dengan apa yang telah kita lakukan, di saat yang sama kita berupaya berdarkan keilmuan dan teknik-tekniknya.

Mengapa demikian? Karena tugas kita sebagai manusia adalah untuk move on. Bukan untuk "baper" dan bangga memikul masalah. Bukan pula untuk bersikap kaburo maqtan, di mana kita begitu powerful menggunakan otoritas tanpa menakar keadilan. Contohnya, menyuruh anak untuk sabar dengan nada bicara sewot, menyuruh anak untuk mengaji di saat kita "anteng" main HP, atau menyuruh anak untuk belajar di saat kita asyik bergosip.

Berbicara pengasuhan, pada akhirnya memang berbicara keseimbangan. Atau mungkin berbicara implikasi. Artinya, bagaimana kita seimbang dalam muhasabah dan upaya perbaikan, bagaimana kita semangat belajar dan membelajarkan, serta bagaimana kita mampu menuntut diri kita sendiri sebelum kita menuntut anak-anak.

Wallohu'alam bishshowaab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun