Secara berulang, dikatakan, disitasi, dijadikan pijakan, bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Memanusiakan manusia. Kalaulah kita tafakuri kedalamannya, maashaAllah sebuah pekerjaan yang sangat tak mudah. Bahkan tak cukup hanya sampai pada level jargonis alias level retorika alias "omong doang".
Demikianlah mandat pada jiwa dan raga seorang guru. Memanusiakan manusia. Kita hari ini, di abad 21 ini, dengan segala variabel kebaruan, dengan segala pernik tuntutan, andaikan tak bersama kompetensi, maka kita lemah tak berdaya digerus gagasan dari sisi kanan kiri depan belakang.
Sangat wajar untuk sekelas manusia istimewa -Rasulullah Muhammad Saw-, mendidik masyarakat hingga 23 tahun lamanya. Proses pendidikan yang tak sebentar. Bahkan tantangan dalam bentuk penolakan (skeptisme) dan perlawanan, masih saja menderas hingga beliau berada di ujung hayat.
Sangat wajar pula, bagaimana sekelas Nabi Nuh mendidik masyarakatnya, mengingatkan secara berulang untuk menuju ke jalan selamat. Lalu fenomena berkata lain.Â
Kaum Sodom tak mau mendengar hingga bencana meluluhlantakkan habitatnya. Dan warisan penolakan itu menjelma juga di hari ini, meski dengan istilah LGBT yang -barangkali- seolah lebih halus, sehalus penggunaan istilah Pekerja Seks Komersil untuk membiaskan jalangnya istilah lonte.
Pendidikan. Sebuah proses tanpa batas dalam mengabadikan kebaikan. Hingga wajar adanya ketika kemudian muncul istilah pendidilan sepanjang hayat. Bahkan konon, pendidikan sepanjang hayat saja tak cukup untuk dapat memenuhi amanah Undang-undang tentang tujuan pendidikan nasional, yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Konon pula, kita butuh sebuah mental yang disebut dengan adaptive learning. Artinya, bagaimana kita dapat berdiri kokoh dalam hentakan dinamika, bagaimana kita dapat tetap menjaga keyakinan akan tercapainya harapan-harapan, bagaimana kita dapat menyesuaikan diri terhadap derasnya informasi teknologi.Â
Bukan sebaliknya, memilih untuk tetap "kurung batok" dan menganggap cukup dengan mengalir seperti air. Sedangkan tak setiap konteks kehidupan harus dihadapi dengan kemengaliran.
Kembali ke frasa istimewa "manusia Indonesia seutuhnya". Lagi-lagi sebuah frasa yang bermakna berat. Bagaimana tak berat? Kita mendapat mandat untuk mendidik. Orang tua mendidik anaknya, guru mendidik para muridnya.Â
Sedangkan kita dengan predikat guru yang disandang, belum terjamin sebagai pribadi yang utuh. Lalu di saat yang bersamaan, diamanahi untuk membangun para murid atau anak-anak untuk menjadi manusia seutuhnya.