Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pendidikan Keluarga

Menjalani Peran Pengasuhan Berkesadaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Darurat Sikap Ilmiah

15 September 2020   21:18 Diperbarui: 15 September 2020   21:21 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berada dan berbicara di ruang publik, sebetulnya tak sederhana. Dan bekal yang harus dikuasai tak sebatas kemampuan lisan. Bahkan kemampuan lisan itu sendiri, sejatinya adalah representasi dari budaya literasi yang dimiliki. Juga merupakan cermin dari kedalaman wawasan dan kemampuan menganilis.

Artinya, kemampuan lisan yang kita miliki harus disokong oleh budaya membuat konsep, budaya memetakan perihal, budaya membaca sebelum  berkata, dan sejenisnya. Terlepas dengan gaya tutur yang pada akhirnya menjadi "perilaku", itu lebih karena kebiasaan atau buah dari pengulangan. 

Sehingga tak sedikit orang yang sangat lancar, fasih dan bernas dalam membawakan komunikasi lisan, yang memang disokong oleh faktor sikap ilmiah yang diampu selama perjalanan sekian waktu.

Dan ketika terjadi konteks "kacaletot" (tak sengaja terucap), sebetulnya bukan semata-mata sebuah ketaksengajaan, melainkan merupakan dampak yang dilahirkan dari kebiasaan "grasak grusuk", atau lebih tepatnya diistilahkan dengan minimnya sikap ilmiah. 

Mengapa diistilahkan dengan minimnya sikap ilmiah? Karena sikap ilmiah akan identik dengan kehati-hatian dan menjunjung tinggi nilai-nilai konfirmasi, verifikasi dan validasi. Bukan sebaliknya, di mana sebuah ucapan atau sikap hanya berbekal asumsi dan spekulasi.

Lalu ketika akhirnya ucapan salah yang telah kadung disampaikan di ruang publik itu menuai polemik, sang penyampai hanya berapologi bahwa hal demikian adalah tak sengaja atau tak ada maksud. 

Bahkan untuk sekelas generalisasi atau penghakiman terhadap salah satu suku di Indonesia yang dipandang atau dianggap tidak pancasilais. Tetap dianggap sebagai ketaksengajaan berucap. 

Demikian pula dengan sebuah tendensi atau semacam prejudice yang mengarah pada pemapar radikalisme di mana orang dengan penampilan menarik (baca: "good looking") adalah stereotip baru kaum radikalis.

Dari kasus-kasus serupa, saya merenung dan tafakur tentang pentingnya sikap ilmiah. Tafakur tentang para ilmuwan yang begitu berhati-hati dan bersedia mengulang aneka penelitiannya. Tafakur kepada para akademisi yang berbekal banyak sumber untuk sebuah fokus observasi.

Tafakur kepada para praktisi dan ulama yang rela hati plus mewakafkan waktu untuk sengaja mengkaji kitab dan buku-buku. Demi apa? Demi tersampaikannya sebuah kebenaran dengan penuh kehati-hatian.

Demikian pula dalam kaitannya dengan penanganan musibah istimewa COVID-19. Tentu ada alasan yang bisa digali terkait mengapa negera kita relatif lambat penyelesaiannya. Bisa jadi, ini juga merupakan dampak dari minimnya sikap ilmiah. 

Dan idealnya, penanganan kasus sebesar dan seistimewa COVID-19, negara kita harus menjadi negera "yang mendengar". Mendengar apa kata ahli, mendengar hasil riset-riset, mendengar solusi-solusi yang memang dipaparkan dengan basis penelitian.

Bahkan penyemarataan aturan di setiap titik di wilayah negara kita, tidak mampu menghadirkan efektivitas. Sehingga bukan tak terjadi, stigma di lingkungan pendidikan, di mana insan pendidikan jauh lebih takut dengah aturan "tidak bolehnya membuka sekolah" dibandingkan dengan ketakutan terhadap wabah COVID-19 itu sendiri. 

Bahkan untuk para guru atau kepala sekolah di pelosok yang benar-benar minim teknologi, tetap tak bisa berkutik untuk sekadar memperoleh penyesuaian aturan. Yang ada adalah, takut diberhentikan dari jabatan atau takut didiskualifikasi.

Ini lagi-lagi menjadi sebuah cerminan dari daduratnya sikap ilmiah. Bagaimana sebuah ketakutan terbangun, tanpa nalar atau logika yang benar.

Termasuk insiden penusukan ulama oleh seorang tak bertanggung jawab. Ini semacam repetisi atas kasus yang sebelunya sempat mengemuka. Penodongan ulama di sebuah masjid oleh seseorang, lalu sang pelaku dikategorikan orang gila. 

Ini sebuah nalar yang cukup sulit dicerna, terlebih ketika konteks tersebut berulang dengan penyikapan dan anggapan yang sama, di mana pelaku dianggap sebagai orang gila.

Konteks tersebut, bisa jadi merupakan rangkaian dari fobia terhadap ulama, atau lebih tepatnya sebuah stigma yang terbangun atas prasangka negatif terhadap agama Islam itu sendiri. Mungkin agama Islam telah dipandang radikal, membahayakan, dan digenerasilasi sebagai pemapar radikalisme.

Jika ditilik dari ilmu metodologi penelitian (tepatnya penelitian etnografi), stigma-stigma yang ada, itu tak berkaidah. Mengapa? Karena prinsip dari penilitian etnografi itu sendiri adalah;

Pertama, naturalisme, di mana tujuan penelitian sosial adalah untuk menangkap karakter perilaku manusia yang muncul secara alami, dan hanya diperoleh dengan melakukan kontak langsung. Bukan dari inferensi apa yang dilakukan orang.

Kedua, pemahaman, di mana tindakan manusia berbeda dari perilaku objek fisik, bahkan dari mahkluk lainnya.

Ketiga, penemuan, di mana ketika seseorang mendekati suatu fenomena dengan suatu set hipotesis, mungkin dia gagal menemukan hakikat fenomena tersebut karena dibutakan oleh asumsi yang dibangun ke dalam hipotesis tersebut.

Benar adanya, bahwa kita harus menjadi insan yang "masagi". Artinya, memiliki cara pandang yang komprehensif dan kemampuan menyelesaikan masalah secara holistik. Dan untuk menjadi komprehensif serta holistik itu sendiri, bukan sesuatu yang pragmatis alias sekaligus jadi. 

Melainkan melalui perjalanan panjang proses belajar. Melalui rangkaian sikap ilmiah yang kemudian terbangun menjadi budaya. Permasalahnnya, apakah masyarakat bangsa kita bersedia belajajar atau tidak?

Sedangkan hingga hari ini saja, budaya oral bangsa kita masih saja tinggi. Terbukti dengan mudah tersebarnya berita hoax, berita yang tak jelas dari mana sumbernya. Wajar pula ketika masyarakatnya kemudian sangat mudah terprovokasi, karena memang minim dari nilai konfirmasi, verifikasi dan validasi.

Ini sebuah PR besar. Dan menjadi PR besar tersendiri bagi para pemimpin. Bagaimana menavigasi bangsa ini dengan bekal sikap ilmiah. Bagaimana menjadi pemimpin dengan profil dan portofolio yang literat.

Walloohu'alam bishshowaab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun