Retorika "Merdeka Belajar", hingga hari ini masih banyak yang menganggap sebagai suatu hal yang baru. Padahal keunikan gagasannya telah ada, jauh sebelum istilah tersebut mengemuka. Telah banyak stakeholder yang melahirkan inovasi di bidang pembelajaran, baik dari sisi manajemen, kurikulum, konten, karakteristik, dan sebagainya.
Dan salah satu albumin dari konteks "Merdeka Belajar" adalah membuminya prinsip belajar sepanjang hayat.
Lalu kita bisa menyepakati bahwa  belajar sepanjang hayat adalah prinsip ideal agar kita terus terdongkrak untuk memperbaiki kualitas dan menaikkan kapasitas. Agar kita tetap membuktikan eksistensi, keluhungan dan keberdayaan.
Namun dengan prinsip belajar sepanjang hayat saja, kita sebagai insan pendidikan --khususnya- tak cukup untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kualitas hidup. Sehingga kita butuh untuk menjadi insan yang berkarakter adaptive learner.
Sebagai adaptive learner, kita memiliki kemampuan untuk menyelaraskan diri terhadap perubahan, serta menyelaraskan diri untuk berubah. Bukan sebaliknya, di mana kita merasa cukup dengan meminta orang lain untuk berubah.
Termasuk dalam menghadapi kompleksitas keberjalanan belajar mengajar akibat dampak Covid 19. Sebuah masalah yang tak bisa diselesaikan dengan hanya satu pendekatan. Sebuah masalah yang selayaknya mengundang diri untuk menghadiran kreativitas dan menggagas solusi pembelajaran yang efektif, sehingga kita menjadi guru dengan level wisdom (bijaksana). Guru yang memang memuliakan diri dengan ilmu.
Bahkan dengan gairah dan antusiasme menciptakan sebuah terobosan atau kebermanfaatan bagi khalayak, secara psikologis dan secara psikopedadogis, seorang guru relatif mampu meminimalisir dan menghindari sikap-sikap baper (baca: pesimistis), tersebab energi positif yang dituangkan dalam gagasan-gagasan.
Bahkan Mahasempurna Allah telah mengigatkan kita dalam salah satu firman-Nya.
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah: 11)
Artinya, Allah tentu akan sangat memperhitungkan setiap kompetensi yang kita ampu dan kita amalkan. Bahkan rezeki pun akan mengikuti dengan lenturnya, terhadap kecakapan yang kita miliki. Karena kompetensi atau kecakapan itu sendiri sudah tentu lahir dari jalan panjang ketekunan. Bukan jalan pragmatis yang dilalui dengan usaha apa adanya. Sangat wajar bila Allah Swt menghargai proses yang kita tempuh.
Namun fakta di lapangan, tak sedikit guru yang justru merasa stuck, bahkan merasa tak harus mengambil peran. Dampak wabah dianggap cukup sebagai urusan negara atau urusan pihak yang berwenang. Konteks seperti ini bisa diistilahkan dengan "paket combo" kepasrahan sekaligus ketakpedualian.
Ada juga fakta yang menunjukan sikap di mana seorang guru masih terjebak dengan stigma. Lebih tepatnya, takut dengan aturan atau kebijakan yang ada. Padahal aturan yang ada itu sendiri, masih bisa dievaluasi terkait relevan dan tidaknya untuk semua teritori  yang ada di negara kita.
Bahkan buka tak ada, guru kunjung yang berwafoto bersama siswanya dengan cara memanipulasi. Artinya, berhubung maksimal kelompok belajar siswa di sebuah rumah itu dibatasi hingga 10 orang, sementara kenyataannya 20 orang. Maka guru tersebut hanya mengambil 10 siswa saja untuk diajak berswafoto untuk kemudian dilaporan kepada pejabat berwenang setempat.
Indonesia dengan keragaman dan keunikan berpikir masyarakatnya, dengan jumlah pendidikan tinggi yang ada, seharusnya tak terjadi potret ironis demikian. Namun demikianlah perwakilan wajah bangsa kita. Menghadapi fenomena dengan keterbatasan gagasan. Ditambah lagi, dengan rigidnya aturan yang memang masih rendah takaran substansinya.
Berharap masalah global ini dihadapi secara holistik. Berharap pula, semakin banyak insan pendidikan yang melek gagasan. Dan jika saja para guru yang melek gagasan ini dipersatukan, maka akan menjadi energi kebaikan yang menumbuhkan paradigma positif, yang membangun kefasihan global.
Dan kefasihan global itu sendiri menjadikan seorang guru mampu menguasai kompetensi yang memang seharusnya menjelma. Kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.
Dengan kefasihan global pula, guru terlatih memiliki pendekatan TRANSDISIPLIN. Artinya, dirinya bukan hanya bergelut dengan teknis membuat perencanaan, bukan hanya berkutat dengan kurikulum, bukan pula hanya berkelindan dalam roda penilaian dan evauluasi. Melainkan, bagaimana menyatupadukan teknologi, bagaimana menjadi seorang yang literat, bagaimana menghadirkan disiplin ilmu selain pendidikan dan lain-lain, guna membuat program MERCUSUAR pembelajaran di masa Covid seperti sekarang ini.
Akan banyak solusi tercipta, akan banyak gagasan terlahirkan. Akan banyak pula, solusi unik terhadirkan. Persoalannya, apakah kita cukup berpangku tangan atau sigap bergerak dan bereksplorasi.
Selamat untuk para guru pejuang yang telah berbagi makna dan kebaikan, yang telah berjuang mengemas rujukan pembelajaran. InsyaAllah menjadi kiblat yang berarti.
Wallohu'alam bishshowaab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H