Allohumma sholli 'alaa muhammad.
Sholawat dan salam kuhaturkan untuk kekasih Allah. Muhammad Sholallaahu 'alaaihi wasallam.
Terkisahkan, seseorang yang mengikutsertakan para muridnya dalam sebuah kontestasi atau sebuah ajang seleksi. Dari sekian muridnya yang diikutkan dalam perhelatan seleksi tersebut, tak ada satu pun yang berhasil lolos. Alasannya pun sangat sederhana. Yakni, belum memenuhi kriteria. Masih jauh dari syarat yang berlaku.
Namun entah karena alasan apakah, pada akhirnya beliau "baper" tersebab tak lolosnya sang murid dalam kontestasi tersebut.
Adapun para panelis, telah berjuang seobjektif mungkin, melakukan takaran dan penimbangan yang hati-hati, mencerna "track record" para kontestan, bahkan sampai melakukan konfirmasi langsung terhadap kemamampuan mereka masing-masing.
Namun tidak dengan beliau sang guru dari sekelompok kontestan yang tak lolos itu. Mengejar, memepertanyakan, berpersuasi dan "keukeuh" minta diloloskan. Padahal, anda saja merenenung sejenak terkait hukum evaluasi atau asesmen. Jelas ada prinsip dan kaidah dalam hal menilai dan mengases kemampuan seseorang.
Tafakur dari subjektivitas cerita tersebut, bahwa ada yang jauuuuuuuh lebih berharga di atas sebuah capaian (baik prestasi maupun pestise), yakni PERJALANAN. Lebih tepatnya, perjalanan menempuh proses, perjalanan kebaikan diri, perjalanan amal, perjalanan kepahaman.
Jadi, jika hari ini kita bersikukuh untuk dapat lolos dari sebuah kontestasi atau dari sebuah kompetisi, lalu kita tidak mau tahu dengan segala kekurangan diri, ini sangat tidak adil.
Demikian juga dengan sebuah cerita. Seseorang dengan kondisi baru saja mendapatkan sebuah posisi di tempat kerjanya. Seketika, dirinya langsung berubah etika. Menjadi berkelebihan percaya diri, menjadi lebih berani berbicara, mendadak bergaya boss, berani perintah ini perintah itu, dan relatif menganggap subordinat (meremehkan) terhadap orang di sekitarnya.
Sikapnya pun melahirkan reaksi dari sisi kanan kiri depan belakang. Karena memang banyak ketaknyamanan yang didapat dari sikap-sikapnya yang mengemuka.
Maka lagi-lagi menjadi sebuah renungan. Bahwa HAKIKAT dari NAIK KELAS adalah sebuah KESIAPAN. Kesiapan beramal lebih, kesiapan memiliki kemanfaatan lebih, kesiapan menanggung beban lebih, kesiapan melahirkan gagasan, kesiapan berpikir lebih mutakhir. Bukan sebaliknya, bahwa naik kelas itu sebagai ajang BERGAYA, atau kalau dalam istilah orang Sunda, "gagayaan".
Jika sebuah capaian yang didapat atau diharapkan itu untuk sebuah prestise, untuk sebuah konteks "gagayaan", maka sayang benar dengan konteks NAIK KELAS yang ada. Karena naik kelas itu sendiri bukanlah sesuatu yang sifatnya instan, bukan sesuatu yang sifatnya pragmatis, dan bukan sesuatu yang sifatnya "asak dikarbit" (matang karbitan).
Dan ini sangat filosofis dengan dunia pengasuhan. Sebuah dunia di mana kita menghadapi anak-anak dengan segala perniknya.
Maka betapa wajar bagi kita untuk memberikan sokongan ketangguhan bagi anak-anak. Anak-anak dengan bekal ketangguhan, dengan bekal kesabaran menempuh proses, minimal mereka mampu mengelola EKSPEKTASI. Mengelola agar harapan-harapannya berada dalam tujuan yang lurus.
Bayangkan. Sesederhana anak kita diancam "Nanti Papa marah" saat dirinya sedang memainkan benda milik ayahnya, tanpa sadar, kita sedang mengantarkan rasa takut yang salah. Artinya, anak kita bukan diantarkan untuk khawatir jika bendanya rusak atau berbahaya, melainkan diantarkan untuk takut pada manusia. Dan rasa takut atau khawatir yang salah pun bagian dari tujuan yang salah.
Atau sesederhana kita mempersilakan (membolehkan) anak untuk mencontek saat tengah ujian, ini pun praktik pengawalan pola pikir yang tak ramah. Mengapa? Karena dengan konteks mereka boleh membawa dan melihat kertas contekan, itu setara dengan mengarahkan tujuan yang salah. Itu langkah pragmatis. Dan tentu saja tak diharapkan.
Pun dalam hal perlombaan. Ketika anak kita haruskan untuk "menjadi juara", tetap saja termasuk sikap pragmatis. Karena idealnya adalah, mereka (anak-anak kita) diarahkan untuk "mempersembahkan yang terbaik" atau "berjuang optimal" atau istilah lain yang mengarak pola pikir mereka untuk mengeluarkan "effort" terbaik. Sebaliknya, ketika mereka hanya berharap menang, hanya berharap menjuarai, hanya berharap dipanggil untuk tampil menerima piala, ini belum tentu berbanding lurus dengan usaha yang ditempuh.
Jadi, ketika hari ini anak diarahkan sebuah tujuan yang salah, bukan tak mungkin bila kelak dewasa nanti mereka "keukeuh" harus menang tanpa menimbang sisi-sisi kekurangan yang ada.
Demikian pula, saat anak kita berhasil meraih sesuatu atau berhasil menempuh sebuah capaian. Maka sangat boleh bagi kita untuk membiasakan pengenalan amanah. Artinya, saat mereka berhasil menjadi nomor satu, wajar bagi kita untuk mengajaknya menjaga prestasi yang ada dengan berbagai upaya. Dengan tetap konsisten belajar, dengan tetap menjaga talenta, dengan tetap menjaga sikap.
Kenapa hal demikian penting? Karena lagi-lagi, bahwa naik kelas adalah untuk bertambah tanggung jawab.
Persis anak kita yang hari ini baru saja mendapat barang baru. Saat dia memiliki tas baru, wajar baginya untuk mulai belajar mencucinya saat tas tersebut telah masuk jadwal dicuci. Saat dia mendapat alat musik baru (gitar, keyboard, dan lain-lain), wajar baginya untuk memperbanyak intensitas latihan. Dan bagi anak kita yang baru saja secara definitif memiliki kamar atau ruangan baru, wajar pula baginya untuk mulai berlatih membereskan dan merapikannya.
Bismillaahi tawakkaltu 'alallah. Berharap hanya kepada Allah Yang Satu. Semoga kita dimudahkan segala urusan. Dihindarkan dari segala ketergelinciran niat. Termasuk dijaga dari sikap tak representatif saat kita NAIK KELAS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H