Jika sebuah capaian yang didapat atau diharapkan itu untuk sebuah prestise, untuk sebuah konteks "gagayaan", maka sayang benar dengan konteks NAIK KELAS yang ada. Karena naik kelas itu sendiri bukanlah sesuatu yang sifatnya instan, bukan sesuatu yang sifatnya pragmatis, dan bukan sesuatu yang sifatnya "asak dikarbit" (matang karbitan).
Dan ini sangat filosofis dengan dunia pengasuhan. Sebuah dunia di mana kita menghadapi anak-anak dengan segala perniknya.
Maka betapa wajar bagi kita untuk memberikan sokongan ketangguhan bagi anak-anak. Anak-anak dengan bekal ketangguhan, dengan bekal kesabaran menempuh proses, minimal mereka mampu mengelola EKSPEKTASI. Mengelola agar harapan-harapannya berada dalam tujuan yang lurus.
Bayangkan. Sesederhana anak kita diancam "Nanti Papa marah" saat dirinya sedang memainkan benda milik ayahnya, tanpa sadar, kita sedang mengantarkan rasa takut yang salah. Artinya, anak kita bukan diantarkan untuk khawatir jika bendanya rusak atau berbahaya, melainkan diantarkan untuk takut pada manusia. Dan rasa takut atau khawatir yang salah pun bagian dari tujuan yang salah.
Atau sesederhana kita mempersilakan (membolehkan) anak untuk mencontek saat tengah ujian, ini pun praktik pengawalan pola pikir yang tak ramah. Mengapa? Karena dengan konteks mereka boleh membawa dan melihat kertas contekan, itu setara dengan mengarahkan tujuan yang salah. Itu langkah pragmatis. Dan tentu saja tak diharapkan.
Pun dalam hal perlombaan. Ketika anak kita haruskan untuk "menjadi juara", tetap saja termasuk sikap pragmatis. Karena idealnya adalah, mereka (anak-anak kita) diarahkan untuk "mempersembahkan yang terbaik" atau "berjuang optimal" atau istilah lain yang mengarak pola pikir mereka untuk mengeluarkan "effort" terbaik. Sebaliknya, ketika mereka hanya berharap menang, hanya berharap menjuarai, hanya berharap dipanggil untuk tampil menerima piala, ini belum tentu berbanding lurus dengan usaha yang ditempuh.
Jadi, ketika hari ini anak diarahkan sebuah tujuan yang salah, bukan tak mungkin bila kelak dewasa nanti mereka "keukeuh" harus menang tanpa menimbang sisi-sisi kekurangan yang ada.
Demikian pula, saat anak kita berhasil meraih sesuatu atau berhasil menempuh sebuah capaian. Maka sangat boleh bagi kita untuk membiasakan pengenalan amanah. Artinya, saat mereka berhasil menjadi nomor satu, wajar bagi kita untuk mengajaknya menjaga prestasi yang ada dengan berbagai upaya. Dengan tetap konsisten belajar, dengan tetap menjaga talenta, dengan tetap menjaga sikap.
Kenapa hal demikian penting? Karena lagi-lagi, bahwa naik kelas adalah untuk bertambah tanggung jawab.
Persis anak kita yang hari ini baru saja mendapat barang baru. Saat dia memiliki tas baru, wajar baginya untuk mulai belajar mencucinya saat tas tersebut telah masuk jadwal dicuci. Saat dia mendapat alat musik baru (gitar, keyboard, dan lain-lain), wajar baginya untuk memperbanyak intensitas latihan. Dan bagi anak kita yang baru saja secara definitif memiliki kamar atau ruangan baru, wajar pula baginya untuk mulai berlatih membereskan dan merapikannya.
Bismillaahi tawakkaltu 'alallah. Berharap hanya kepada Allah Yang Satu. Semoga kita dimudahkan segala urusan. Dihindarkan dari segala ketergelinciran niat. Termasuk dijaga dari sikap tak representatif saat kita NAIK KELAS.