Namun ketika jejak disiplin kita saat OPSPEK, jejak kesungguhan kita saat menuntaskan skripsi, jejak ketaatan kita kepada para guru dan dosen, hingga kini masih teradapitasikan pada hampir setiap segmen kehidupan kita. Itu artinya, kita masih memiliki JEJAK BELAJAR.
Contohnya, kita adalah lulusan bahasa ingris atau jurusan matematika, dan atau sejienisnya. Kita hari ini, tak berada di bidang itu, melainkan menjadi pegiat bisnis online, misalnya. Namun dalam perjalanannya, kita duplikasikan mental yang pernah kita dapat di bangku kuliah ke dalam aktvitas yang kita garap.Â
Mulai dari cara berkomunikasi dengan baik (sebagai ikon orang terdidik), cara memperhitungkan untung rugi, merencanakan, membuat jurnal catatan sederhana, semangat mengukuti pelatihan hingga seni memenuhi target-target. Sesungguhnya adalah jejak belajar. Lebih tepatnya, jejak mental atau jejak karakter.
Jauh berbeda dengan orang yang konon melewati masa sekolah, melewati masa sekolah, bahkan berulang mengikuti pelatihan plus seminar ini dan itu, namun hampir tak mengamalkan hasil yang didapat, baik dari sisi wawasan keilmuan, maupun dari sisi mental (mental tangguh, mental sabar, mental tekun, mental semangat belajar, mental bereksplorasi).
Nah, untuk tipologi demikian, secara sarkasitis adalah bisa dikatakan sebagai orang tak memiliki jejak belajar. Atau kalau meminjam sebuah pribahasa, ibarat air di daun talas. Versi orang Sunda, kurang lebih "asup tina ceuli katuhu, ka luar tina ceuli kenca". Singkatnya, tak berjejak, tak berbekas. Alias nol.
Hal tersebut, tentu akan sangat bertolak belakang dengan mereka yang memang secara utuh (komprehensif) mengamalkan keseluruhan input-nput yang didapat dari bangku tempat belajar, baik dari keilmuan maupun dari sisi mental (pembiasaan positif).
Jadi, jika kemudian kita mencoba mengklasifikasikan tipologi orang-orang dalam merespons hasil belajar adalah;
Pertama, orang dengan jejak belajar pengetahuan dan mental
Kedua, orang dengan jejak belajar mental
Ketiga, orang tanpa jejak belajar
Mari kita sepakati, bahwa kita tak perlu mempermasalahkan poin kedua. Yang perlu kita hindari adalah bagaimana kita dan anak kita jangan sampai berada di level ketiga. Level di mana kita tak punya jejak belajar.