Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Road Map Kita, Road Map Anak Kita

4 Juli 2020   13:12 Diperbarui: 23 November 2020   05:05 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Miarti Yoga

Mengkiblati Kisah Sukses Inspirator

Mencermati kisah sukses seorang CEO, seorang dirut perusahaan terkemuka dan atau sejenisnya. Kita dibuat takjub, kagum, dan tentunya merasa terinspirasi. Atau meminjam filosofi pujian orang Sunda, "Hade pisan euy".

Namun ternyata, di balik kehebatan mereka sebagai inspirator, ada jalan juang yang tak kita ketahui. Dan ternyata pula, sukses mereka tak tiba-tiba ada di puncak, melainkan melalui terjal-terjal pengorbanan. Dan satu khas yang dimiliki oleh mereka adalah MENTAL PETARUNG alias tahan banting alias tangguh menghadapi beban-beban.

Istimewanya lagi, selain faktor mental yang dimiliki, juga ada sebuah ROAD MAP (baca: peta hidup) yang bisa dilihat dari perjalanan kehidupan. Artinya, mereka yang hari ini jago bisnis dan menjadi direktur utama di sebuah perusahaan bergengsi, ternyata melewati masa kecil di mana ia tak sungkan menawarkan barang dagangan, cermat memilih jurusan pendidikan, tak sungkan untuk memutuskan berhenti dari pekerjaan yang tak sesuai "chemistry", dan seterusnya.

Pun saat mencermati kisah inspirasi para pejabat. Sebut saja, Anies Baswedan. Jauh sebelum beliau menjabat sebagai menteri, lalu tertakdir menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, ternyata beliu telah mengukir aneka PRESTASI maupun PRESTISE.

Di setiap fase pendidikan yang ditempuh, ternyata memang telah ternobatkan sebagi siswa atau mahasiswa prestatif. Tak heran bila jejak foto berharganya terekam hingga kini. Saat beliau berfoto bersama seorang menteri di zamannya, saat beliau mendapat kehormatan bertemu tokoh di zamannya, aktif di berbagai organisasi menjadi pimpinannya, dan lain-lain.

Sederhananya, itulah sebuah peta hidup dari seorang gubernur DKI. Sebuah road map yang membuktikan betapa tidak instannya sebuah proses menempuh impian.

Dan tentunya lagi, di luar ketekunan yang dimiliki, orang tuanya pun tentunya sudah membuat proyeksi. Proyeksi agar anaknya normatif, punya dedikasi, tanggung jawab terhadap akademik, dan seterusnya.

Persis kehidupan para ulama. Bagaimana jalan dakwah para ulama itu diwariskan secara estafet kepada anak, cucu, menantu atau kerabat di sekelilingnya. Dan regenerasi seperti ini, jelas sebuah road map untuk tetap menjaga keutuhan nilai Islam, untuk menjaga keutuhan sebuah sekolah atau pesantren supaya tetap dapat mendidik anak bangsa hingga waktu yang tak terbatas.

Tafakur Salah Jurusan

Selanjutnya, bukan tak ada, kita atau orang-orang di sekeliling kita yang aktivitas atau karier yang kini ditempuh adalah sebagai "korban" salah memilih jurusan. Sebagai contoh, memilih jurusan keguruan itu relatif terpaksa dan dianggap penyelamat atas ketidaklolosan kita memilih jurusan lain. Atau kita yang hari ini terlibat dalam keseruan berjualan online, dianggap sebagai obat kemengangguran diri akibat menjadi "full time mother", atau dianggap sebagai sebuah kondisi "kepepet" untuk turut menyelematkan kebutuhan.

Namun di luar itu. Dengan berbedanya takdir perjalan setiap kita, secara umum ada dua tipe orang dalam menyikapi perjalanan yang ada. Ada yang meratapi alias menyesali, dan ada pula yang "easy going" dan sangat realistis menghadapi dinamika.

Yang termasuk golongan "meratapi", biasanya akan kesulitan untuk "move on" dan selalu mengulang impian masa lalu. Tentang impiannya untuk masuk sebuah perguruan tinggi tertentu, tentang impiannya untuk dipersunting lelaki dengan kriteria tertentu, tentang kisah pilu saat tak lolos pada fase pantokhir (istilah kepolisian dan TNI di masa lalu), dan lain-lain.

Namun bagi tipe "realistis", meski pekerjaan tak sesuai dengan jurusan pendidikan, meski aktivitas yang kini dijalani tak sesuai ekspektasi masa lalu, justru akan terus berenergi melakukan inovasi, menciptakan perubahan, melahirkan gagasan. Karena baginya, berinovasi adalah bagian dari SENI MEMPERTAHANKAN HIDUP.

Sejarah Kegalauan Yang Tak Boleh Terulang

Bukan tak ada, kita atau orang di sekeliling kita yang bingung setengah mati saat harus memilih jurusan. Ketika hendak lulus dari SMP, relative asal "ngikut" permintaan orang. Terserah SMP seperti apa yang akan menjadi sejarah pendidikan kita.

Saat berseragam putih abu, lalu hendak naik ke kelas 3 dan diminta untuk memlih jurusan (IPA, IPS, Bahasa), pun kita malah dibuat TERCENUNG alias bingung memilih. Bahkan diri kita sendiri tak MENGENALI keunggulan kita, tak tahum jurusan yang pas, tak paham dengan kaitan jurusan yang harus dipilih dengan arah masa depan.

Dan bukan taka da, saat harus memilih jurusan di sebuah perguruan tinggi, dengan motof atau alasan yang tidak relevan. Misalnya, kita memilih jurusan computer atau informatika hanya karena SADAR DIRI bahwa diri ini tak pandai bicara. Sehingga pilihan tersebut dianggap cocok bagi orang-orang yang mahal kata-kata. Hmmmmm.

Membukakan Gerbang Impian untuk Anak Kita

Nah, kaitannya dengan anak kita. Kadang atau seringkali kita terjebak dengan "output" dan "outcome" yang didapat oleh anak-anak kita dari hasil mereka menempuh belajar.

Jika kita hanya berharap agar mereka cakap dan lihai dalam urusan akademik, maka hal ini bisa dibilang gagasan yang masih sagat normatif. Artinya, setiap orang tua pun pasti berharap agar anaknya prestatif. Selain itu, bab penguasaan kurikulum akademik, seharusnya menjadi sebuah auto penguasaan alias menjadi sebuah Skill dasar yang memang harus diampu.

Namun yang penting kita tafakuri, bagaimana anak kita berdaya dengan modal akademik yang dimiliki. Bagaimana mereka menjadi brilian dengan kapsitas wawasan yang diampu. Bagaimana mereka menjadi sosok yang kita harapkan dengan kekuatan mental yang kita latihkan setiap harinya.

Mental tekun, mental, fokus, mental, mental kompetitif, mental disiplin, dan tentunya mental kecintaan terhadap Tuhannya. Bagaimana mereka menyandarkan segala harap, kepada Allah SWT. Dan AQIDAH semacam ini, menjadi sebaik-baik modal dalam mengawal ROAD MAP (peta hidup) mereka.

Saat Anak Kita Menjadi Korban Model

Tak bisa dipungkiri. Setiap kita, tak terkecuali anak-anak maupun dewasa, sangat butuh ROLE MODEL untuk dapat "mengeksekusi" sebuah aktivitas dan baik dan benar. Wajar jika kita butuh belajar ke sana sini, wajar jika kita megejar zoom meeting sana zoom meeting sini hanya untuk mememnuhi HAK PENASASARAN kita terhadap model-model yang pas untuk usaha yang kita emban.

Nah, hari ini, tak sedikit anak yang cita-citanya adalah "ingin menjadi youtuber". Sekelebat, ini wajar dan sangat lumrah. Namun perlu kita gali motifnya. Apakah keinginan mereka untuk menjadi youtuber itu hanya karena terjebak oleh model-model yang ada yang jumlah subscriber-nya sangat menggoda dan hasil monetisasi yang jumlah rupiahnya sangat aduhai.

Atau, keinginan mereka untuk menjadi youtuber itu, murni sebagai harapan untruk berkarya dan bermanfaat untuk sebanyak-banyak orang. Jika alasannya adalah ini, maka perlu dong kita mendorong dan mendukungnya.

Dan bukan tak terjadi salah kaprah pemahaman pada diri anak-anak. Di sebuah kampung antah berantah, terdapat banyak pedagang dan pengusaha di bidang jual beli besi, onderdil mobil, dan sejenisnya.

Dengan melihat profil mereka yang kuat secara finansial, yang terlihat kasat mata dari rumah besar dan kendaraan bagusnya, maka tanpa sadar, anak-anak di kampong tersebut tersugesti dan terhipnosis untuk menggeluti bidang yang sama.

Dan sayangnya, anak-anak tersebut memiliki pola piker yang terlampaui sederhana.

  • "Aku mah mau jadi pedahang besi aja ah. Soalnya orang-orang juga pada kaya raya dari jualan besi"
  • "Aku mah gak usah sekolah yang tinggi-tinggi aja. Jadi tukang besi juga udah cukup."
  • "Jadi tukang besi itu keren. Sekolah itu belum tentu hasilnya keren".

Sejenak, saya dibuat mengurut dada. Namun itulah kenyataan. Dan itulah salah satu WARISAN PARADIGMA.

Tafakur Diri

 Kembali harus mengencangkan keyakinan  tentang "the power of ngobrol". Kita bisa merancang masa depan anak-anak, melalui kekutan mengobrol. Ngobrol tentang impian. Ngobrol tentang harapan.

Bahkan kita wajib CURIGA saat anak kita "terlihat keranjingan" terhadap sebuah kebaikan. Misalnya, saat anak kita begitu semangatnya menghafal Al-Qur'an tanpa kita minta dan tanpa kita arahkan. Kita bisa menggali motifnya, tentang apa harapan dirinya dengan begitu semangatnya bercengkrama dengan Al-Qur'an.

Kenapa harus digali motifnya? Karena dalam semangat anak itu, terdapat logika sebab akibat. Artinya, saat dirinya begitu senang membantu kita memasak di dapur, bukan tak mungkin ada "chemistry" yang menghunjam di dasar pikirannya. Demikian pula saat dirinya keranjingan meggambar, keranjingan bermusik, keranjingan mendesain, dan seterusnya.

Kita dan anak kita sesugguhnya dilahirkan bukan untuk menjadi "siapa", melainkan dihadirkan ke dunia ini untuk MEWAKAFKAN APA.

Mari berlomba, menciptakan APA yang akan kita dan anak wakafkan untuk dunia. Kita buat petanya. Kita cipatakan ROAD MAP-nya. Bahkan dari sesederhana obrolan dengan anak-anak dan para siswa.

Maka apalah lagi bagi kita yang berada dalam kehidupan lembaga pendidikan. Mari berikan kelas khusus untuk para siswa. Untuk memberikan motivasi terbaik untuk arah hidup mereka.

Wallohu'alam bishshowaab.

Terima kasih dan salam pengasuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun