Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pendidikan Keluarga

Menjalani Peran Pengasuhan Berkesadaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Kita dan "Rumput Tetangga"

2 Juli 2020   07:35 Diperbarui: 3 Juli 2020   01:39 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang atau seringkali kita merasa minder atau bahkan merasa iri terhadap kesuksesan atau kehebatan anak-anak orang lain.

Mohon maaf sebelumnya. Bila istilah "rumput tetangga" biasanya dikonotasikan dalam kehidupan tergodanya seorang suami atau istri saat melihat keberadaan pasangan lain, namun dalam hal ini, saya mengonotasikan "rumput tetangga" sebagai gambaran rasa iri orangtua terhadap anak atau keluarga lain.

Melihat anak orang yang sukses sebagai hasil homeschooling, maka kita pun ingin mengikuti jejak tersebut. Melihat satu keluarga secara kompak berhasil menjadi penghafal qur'an, kita refleks berharap prestasi yang sama. 

Atau menyaksikan anak orang lain secara beruturut-turut dinobatkan sebagai juara sebuah kecakapan tertentu, kita auto dibuat "mules" ingin seperti demikian. Atau kita melihat gaya pengasuhan keluarga tertentu, lantas kita merasa harus "jebles" seperti keluarga tersebut.

Namun kadang dan seringkali juga, kita "terlupa" untuk menakar seberapa besar "effort" atau jalan juang yang dikeluarkan oleh keluarga tersebut.

Artinya, kita terinspirasi habis-habisan oleh salah satu keluarga, tetapi kita tak menyadari tentang seberapa besar daya tahan yang dimiliki oleh keluarga tersebut dalam menempuh proses demi proses, dan betapa tak berbanding dengan usaha yang kiita lakukan.

Maka wajar, jika rasa gereget yang ada, cukup atau baru sampai batas "kabita" (baca: tergoda).

Pun dengan warisan feodalisme (efek menghadapi otoritas kaum penjajah) masyarakat bangsa kita, tanpa sadar membuat banyak di antara kita memiliki budaya mengekor atau membebek atau dalam istilah Sunda, "bring ka ditu bring ka dieu" (ramai-ramai mengikuti pola atau gaya tertentu).   

Pola demikian, pada akhirnya membuat kita terbatas gagasan atau menjadi sempit atas kemungkinan-kemuingkinan. Padahal kalau kita coba "obrak-abrik", teori kreativitas, itu sebetunya sangat terbuka kemungkinan kecakapan anak kita. Mereka bisa hebat di bidang A, di bidang B, di bidang C, dan seterusnya.

Nah, selanjutnya. Paling tidak, kita perlu paham tentang faktor suksesnya keluarga orang lain, yang bisa jadi sangat kuat alasannya, sehingga keluarga tersebut menjadi keluarga yang sangat inspiratif, keluarga yang unik, keluarga yang "extraordinary".

Pertama adalah, faktor keunikan. Faktor ini memang tak dimiliki oleh pada umumnya keluarga.

Alasannya bisa jadi karena luar biasa kompaknya suami-istri dalam keluarga tersebut. Bisa jadi karena sisi perjuangan atau perjalanan hidup yang tak dimiliki orang lain. Bisa jadi pula karena faktor kekuatan ayah dan ibunya yang memang sudah inspiratif sebelum membangun keluarga dan melahirkan anak-anak.

Kedua adalah faktor nature dan nurture. Nature itu, terkait gen atau keturunan.

Tanpa sadar, anak-anak cerdas dan memiliki bakat atau potensi tertentu, karena memang ayah, ibu, atau siapapun yang termasuk NASAB (bisa dari paman, bibi, uwa, kakek, nenek, dan hubungan darah lainnya), memiliki potensi yang sama.

Pun untuk bab nurture (budaya, kebiasaan, lingkungan pendukung), bisa jadi, hal ini memberi pasokan yang kuat dalam membentuk anak-anak.

Artinya, ayah dan ibu yang memiliki budaya kuat menghafal atau bertilawah Al-Qur'an secara disiplin di lingkungan rumah. Maka sangat wajar, bila budaya tersebut menjadi input tersendiri.

Demikian pula dengan anak-anak yang semakin hari semakin terlihat DNA tukang jualan. Karena memang ayah dan ibunya pun begitu kencang untuk urusan berjualan. Gesit, cerdas menangkap peluang, tak canggung menawarkan, bersedia "riweuh" menyuiapkan barang dagangan, negosiasi ke sana-sini, dan seterusnya.

Lalu, anaknya dengan sangat refleks dan percaya dirinya menawarkan barang jalan kepada teman, kepada pihak sekolah, dan seterusnya. Ini bagian dari pasokan faktor nurture yang sangat alamiah dilihat dan didapat dari ayah dan ibunya sendiri.

Faktor ketiga adalah faktor visi-misi. Saat pasangan suami-istri begitu kuatnya memiliki cita-cita untuk meluskan jangkauan kemanfaatan, untuk berbuat kebaikan untuk banyak orang, untuk berdakwah di jalan Allah, untuk menginspirasi peradaban, maka secara tidak langsung, energi visi misi orang tua akan menghunjam pada diri anak.

Dan menjadi wajar jika kemudian anak-anaknya inspiratif. Karena ada sugesti-sugesti positif yang mengalir dari obrolan, dari harapan, dari petuah-petah orang tuanya yang mengalir alamiah dalam setiap harinya.

Sebagai contoh, ada seorang bapak (termasuk tokoh pendidikan). Setelah menikah, dikaruniai sejumlah kurang lebih 12 putra-putri. Keduabelas putra-putrinya berhasil lolos memasuki pergurua tinggi negeri terkemuka. Tak terkecuali.

Padahal jika dihitung dari bekal finansial yanhg dimiliki, keluarga tersebut adalah keluarga biasa-biasa saja alias bukan keluarga yang berkecukupan. Namun konteks "manjadda wa jada" dalam hal ini, menjadi sangat terbukti. Dalam istilah orang Sunda, "namun keyeng tangtu pareng".

Dan kesuksesan menyekolahkan anak-anaknya bisa jadi disokong oleh kesungguhan yang kemudian didukung pula oleh harapan untuk menginspirasi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Pada akhirnya, kita tak cukup dengan hanya "kabita" melihat keberadaan anak atau keluarga lain. Kita perlu belajar realistis melihat jalan juang yang sudah kita tempuh.

Kita tak harus merasa ingin mengikuti sebuah pola secara jebles dan "copy-paste", karena kekuatan kita berbeda, komitmen kita juga berbeda, dan disiplin kita juga berbeda.

Bismillah, mari menggali kekuatan anak kita masing-masing dan tetap bersandar pada budaya mencintai agama serta kitab sucinya. Sebab bagaimanapun, kecintaan anak kita terhadap agamanya adalah jalan sukses dan jalan berkah kehidupan, baik dunia maupun akhirat.

Selanjutnya, mari bertobat dari membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Apalagi ketika kita dibuat "kesal" saat anak kita yang hari ini banyak menjadi "kaum rebahan" sedangkan anak orang lain begitu produktif berkarya.

Atau saat melihat anak kita yang masih gampang sekali tersulut oleh masalah sehingga masih ada "acara" nangis heboh hingga guling-guling, sedangkan anak orang tertibnya luar biasa.

Bismillah. Setiap faktor masalah, itu bisa digali.

Dan mari kembali untuk mengencangkan skill yang paling dasar untuk anak-anak kita, yakni "general life skill". Skill yang menjadi fondasi. 

Kesadaran dan kemandirian beribadah, membantu pekerjaan kerumahtanggaan dari mulai merapikan tempat tidur hingga mencuci piring, belajar berbicara dengan baik dan benar, betumbuh rasa percaya dirinya, sopan santun, dan seterusnya.

Kenapa penting, sebelum skill yang lainnya? sebab general life skill adalah dasar. Dasar untuk mereka hidup dengan benar. Dasar bagi mereka untuk mengampu mentalitas yang baik. Bukan kemudian menjadi pengampu mentalitas "lebay" dan mudah mengeluh.

Dan untuk skill selanjutnya sepert "Vokasional Skill", yuk mulai dari hal sederhana. Yuk berikan ruang untuk mereka berkarya. Anak kita yang jago menggambar atau desain, mari berikan perlatan untuk mereka menggambar atau komputer alakadarnya untuk mereka berlatih grafis.

Bagi kita yang memiliki aktivitas berjualan, kenapa tidak ajak mereka untuk melakukan pencatatan kas sederhana, untuk membantu pengepakan barang, untuk cek ricek jasa pengiriman, untuk membalas "chat" pelanggan. Ini vokasional skill sederhana namun memiliki efek yang membumi.

Bagi kita yang sering mendapat undangan mengisi acara, kenapa tidak jadikan anak kita sebagai sekretaris. Mereka membantu kita mengatur jadwal, dan sterusnya.

Untuk kita yang berprofesi guru, sangat mungkin mengajak anak kita untuk menjadi contoh (role model).

Bismillah. Allah limpahkan peran unik pada masing-masing kita sebagai orang tua. Allah juga persilakan ruang dan potensi terbuka bagi anak-anak kita untuk menjadi pengemban peradaban.

Allah Maha Mengawal azzam-azzam kita. InsyaAllah rumput kita bisa lebih hijau daripada rumput tetangga. Anak kita dapat berdaya dengan "chemistry"-nya.

Ditulis oleh: Miarti Yoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun